Sudah Optimal kah
 Stimulasi Perkembangan
 yang Kita Berikan pada Anak?

Melanjutkan rangkaian psikoedukasi bersama IPPI, kali ini mencoba memberikan infografis yang diharapkan dapat membantu para orangtua dalam mengefektifkan stimulasi tumbuh kembang anak, melalui berbagai macam aktivitas sehari-hari yang dapat direncanakan.

Untuk Ayah dan Bunda di seluruh Indonesia, WFH dan SFH boleh jadi masih akan berlangsung hingga beberapa bulan ke depan. Mari menggunakan setiap waktu yang kita punya bersama anak dengan semaksimal yang bisa diupayakan. Membangun kebiasaan berinteraksi dan memberikan pendampingan bermain dan belajar yang lebih baik, sehingga tercipta atmosfer tumbuh kembang yang lebih positif dan kondusif demi optimalnya perkembangan anak-anak kita.

Baca lebih lanjut

Mengelola Risiko Daring (1): Tantangan Menumbuhkannya pada Anak di Masa Belajar/Bersekolah dari Rumah (SFH)

Salah satu konsekuensi dari kondisi yang mengharuskan anak total belajar / bersekolah dari rumah (SFH) adalah meningkatnya intensitas dan frekuensi penggunaan media teknologi berbasis internet.  Setiap hari anak akan berselancar di dunia maya sebagai bagian dari aktivitas belajarnya, dalam durasi waktu yang rata-rata meningkat, bahkan tidak sedikit yang terbilang cukup tajam dari hari-hari sebelum terjadinya wabah corona ini.

Lantas, apakah situasi demikian tidak memunculkan risiko bagi anak? Tentu ya. Namun demikian, orangtua, guru, dan juga pihak-pihak lain yang terlibat dalam pengasuhan dan pendampingan belajar anak dapat mengantisipasinya dengan langkah-langkah yang cermat.

Catatan infografis singkat ini semoga dapat membantu memberikan petunjuknya.

Baca lebih lanjut

Mengolah Lebih Baik daripada Mengeluh: Lagi, Catatan Kecil untuk Ayah & Bunda

Ini adalah catatan lanjutan dalam bentuk infografis dari yang sudah saya tuliskan dalam unggahan sebelumnya. Masih tetap pula menjadi bagian dari rangkaian edukasi dan dampingan untuk para orangtua selama masa terjadinya wabah corona, dari Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI) yang saat ini saya kelola bersama dengan para pengurus lainnya.

Berawal dari mencermati berita di minggu ke-2 masa-masa total beraktivitas di rumah, tercetus menguraikan dengan ringkas bagaimana mengolah kekhawatiran yang meningkat karena kondisi sekitar yang tampak menyangat, menjadi langkah-langkah konkrit yang bermanfaat.

Daripada cemas yang terasa hanya berhenti menjadi keluhan tanpa solusi, lebih baik menggunakan energinya, menyalurkan rasa khawatir itu untuk melakukan sesuatu yang berarti, sehingga lambat laun cemasnya pun akan tereduksi. Silakan baca lebih lanjut uraiannya di bawah ini:

Baca lebih lanjut

Mengolah Situasi Krisis Menjadi Ruang Belajar Anak untuk Mengelola Diri dan Berperilaku Positif

Pada tulisan sebelum ini saya telah menjelaskan bahwa anak belajar sesuatu dari berbagai situasi, baik yang normal kondusif maupun dari situasi krisis. Setiap kondisi lingkungan berpeluang meningkatkan kemampuan psikologis anak, untuk dapat menumbuhkan berbagai ketrampilan kognitif, emosi, maupun sosial, yang kelak akan berguna untuk membantunya menjadi pribadi yang sehat secara mental, memiliki koping dan adaptasi yang positif terhadap berbagai situasi di sekitar.

Namun tentu saja hal ini akan bergantung pada bagaimana orangtua atau pengasuh yang lain mendampingi anak selama proses belajar tersebut. Apabila orangtua tepat dalam mendampingi, maka penguatan ketrampilan positif lah yang akan terjadi. Sebaliknya, jika orangtua keliru mengambil langkah dan tanpa disadari justru banyak memperlihatkan contoh respon-respon negatif, maka pola ini pula yang akan diperhatikan dan diserap oleh anak, lalu direproduksi pada waktu-waktu berikutnya.

Tentu sebagai orangtua kita tidak ingin salah memberi dampingan bukan?
Maka memperjelas paparan tersebut, dalam catatan ringkas yang dikemas dalam format infografis dan telah dibagikan pula melalui media komunikasi Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI) ini saya menuangkan apa saja yang sebaiknya dilakukan (Do’s) dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan (Dont’s) oleh orangtua, khususnya dalam situasi krisis sekarang selama masa pandemi covid-19, agar anak memiliki kesempatan belajar mengelola diri dan berperilaku secara positif.

Meski ringkas, semoga memberi bermanfaat 🌸🌿

Baca lebih lanjut

Menghadapi Wabah Covid-19: Respon Orangtua dan Ruang Belajar Berperilaku untuk Anak

Kondisi pandemi covid-19 atau wabah corona yang melanda dunia saat ini telah memberi begitu banyak konsekuensi di segala sisi kehidupan. Pun demikian dalam lingkup keluarga. Pola aktivitas sehari-hari yang harus disesuaikan dengan membatasi interaksi sosial demi membantu mengendalikan penyebaran penyakit membawa pekerjaan rumah yang tidak sedikit,

Diperlukan upaya signifikan untuk dapat menjalaninya dengan baik. Tentang bagaimana menyesuaikan ritme tubuh agar tetap terjaga dengan kesibukan yang berubah; Bagaimana membuat pengalihan sekian banyak tugas pekerjaan dari yang sebelumnya biasa diselesaikan dengan interaksi langsung menjadi melalui media daring yang pada kenyataannya tidak selalu mudah diikuti oleh semua orang; Termasuk tentang bagaimana mendampingi anak-anak yang dalam fase perkembangannya perlu banyak eksplorasi di lingkungan luar, juga anak-anak usia sekolah yang biasanya sibuk belajar di ruang-ruang kelas sekarang mendadak harus bertahan sepanjang hari tinggal dan bersekolah dari rumah. Berbagai perubahan situasi yang terjadi simultan ini menuntut orangtua sigap menyikapi dengan langkah-langkah yang tepat.

Membantu mengantisipasi persoalan dalam pendampingan belajar anak, saya dalam kapasitas sebagai Ketua Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI) telah menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orangtua, sebagaimana tercatat secara ringkas berikut ini:

Baca lebih lanjut

UN, Diantara Dukungan dan Kecemasan

Saya tergelitik menulis ini setelah mendapatkan pertanyaan menarik dari Mbak Su, asisten rumah kami setelah melihat berbagai berita tentang usaha-usaha yang dilakukan sekolah menjelang siswa-siswanya mengikuti UN. Mulai dari mengadakan doa bersama yang diiringi isak tangis penuh dengan sesaknya hati dan pikiran, menyarankan siswa berkeliling sekolah untuk meminta maaf atas semua kesalahan, melakukan ritual mencuci kaki guru dan orangtua sedemikian rupa, sampai ada yang meminta siswa untuk minum air tertentu yang sudah diberi doa-doa.

Kok kula mboten sreg nggih, Bu… (kok saya ndak sreg ya, Bu)…?”, katanya.

Saya tanya apa yang membuatnya tidak sreg. Mbak Su bilang, ia merasa justru dengan itu semakin membuat UN menjadi momok untuk siswa, sehingga siswa pun menghadapinya dengan penuh kecemasan, kekhawatiran yang berlebih.

Yak, saya sepakat dengan Mbak Su. Saya pun merasakan hal yang sama sejak beberapa waktu terakhir sering mendengar ritual-ritual yang menurut saya justru menambah beban psikologis anak setiap kali masa UN datang.

Dipersepsikan dengan sederhana, UN sebenarnya hanyalah satu proses evaluasi dari seluruh kegiatan belajar siswa yang dijalani sejak awal masa studinya. Hasil UN sewajarnya akan mencerminkan apakah siswa optimal atau tidak dalam belajar. Jika sekolah sudah melaksanakan proses pendidikan dengan baik, mengikuti kurikulum dan segala ketentuannya, maka siswa akan dapat belajar dengan benar sesuai target capaian pembelajaran. Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran berlebih dalam menghadapi evaluasi yang bernama UN ini.

Kalaupun sekolah akan berusaha keras mendorong seluruh siswa agar dapat melalui UN dengan baik, maka langkah paling tepat menurut saya adalah dengan mengupayakan terlaksananya proses pembelajaran yang sebaik mungkin. Jadi bukan dengan melakukan langkah-langkah yang dinyatakan sebagai bentuk dukungan, namun sejatinya justru menularkan virus kepanikan. Penularan panik dan cemas yang bahkan berantai, dari pihak sekolah ke siswa, juga orangtua. Baca lebih lanjut

Berbagi Materi dari Seminar Nasional “Perempuan Pilar Peradaban Bangsa”

Minggu, 30 Oktober 2016, mendapat kepercayaan untuk menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Nasional Forum Perempuan yang diselenggarakan oleh BEM Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Dalam seminar tersebut, materi yang saya sampaikan secara khusus mengulas tentang perempuan dari sisi perannya sebagai Ibu, sosok yang signifikan dalam menumbuhkan berbagai karakter positif generasi masa depan.

1476356434452Saya mengambil judul:

GENERASI TANGGUH DENGAN ASUHAN IBU YANG TANGGUH

Dengan judul ini, hal yang ingin saya tekankan adalah bahwa untuk mampu menumbuhkan anak-anak tangguh, yang tidak hanya terampil dan berwawasan luas namun juga memiliki pribadi yang baik, maka Ibu sebagai pendamping tumbuh kembang anak harus lebih dahulu menunjukkan kualitasnya sebagai individu yang tangguh. Sebab pengasuhan anak bukan hanya sekedar teknik, bukan sekedar rentetan tugas rutin yang asal bisa dikerjakan sambil lalu. Mengasuh anak memerlukan penghayatan akan peran, kesadaran terhadap setiap hal kecil dari diri pengasuh yang dapat menjadi sumber belajar, contoh bagi bagi anak-anak dalam bersikap dan berperilaku setiap harinya.

slide2Agar pesan dapat tersampaikan secara jelas dan runtut, materi saya susun dalam tiga bagian. Berikut ini ringkasan isinya: Baca lebih lanjut

Kisah Kasih yang Menghanyutkan

Tak terbantahkan lagi bahwa kasih orangtua adalah zat gizi super duper penting yang berpengaruh besar terhadap perkembangan seorang anak. Dengan kasih, anak yang meyakini bahwa sekitar menyayanginya, akan mampu mengembangkan kepercayaan dan sikap yang positif terhadap lingkungan. Sebaliknya, tanpa kasih anak akan mungkin tumbuh menjadi individu yang kering secara emosional, yang dingin dan sulit memahami perasaan baik diri sendiri maupun orang lain.

Akan tetapi, bagaimana dengan kasih dalam kisah-kisah berikut ini? Mari kita simak. Seperti biasa, nama tokoh yang disebutkan bukan nama sebenarnya ya… 🙂 Baca lebih lanjut

Perkembangan Anak Itu… Bukan Sulap, Bukan Sihir

“Mai, selesai main, kamarnya dibereskan ya… Bersih rapi lagi kayak tadi…”

“Ya, Mam…”, sahut Damai sambil bergerak membereskan mainan dan buku-bukunya.

Mendengar jawaban Damai, N, seorang teman yang waktu itu sedang datang ke rumah bersama anak-anaknya pun berkata, “Aduh…coba anakku ini kayak mbak Damai ya…, mau mbereskan mainannya sendiri. Pasti rumah juga jadi enak…”

Pernyataan itu cukup menarik buat saya. Sama menariknya ketika saya mendengar E, seorang teman yang lain berkata pada anaknya, “Kapan ya, kamu mau rajin baca buku kayak Damai itu…?”, atau keluhan V, “Kenapa anakku ini pendiam sekali? Ada apa-apa nggak mau ngomong. Tahu-tahu sudah kejadian sesuatu…”

Hmmm…..kenapa saya bilang pernyataan itu cukup menarik? 🙂 Baca lebih lanjut