Hidup tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ada kalanya kita dihadapkan pada situasi yang penuh tekanan karena persoalan atau kesulitan yang muncul di luar kendali. Entah dalam keluarga, pekerjaan, maupun sisi-sisi hidup yang lain. Bahkan ketika suatu saat tekanan psikologis meningkat, beban terasa begitu berat, kondisi akan membawa pada ketidakstabilan emosi yang jika tidak dikelola dengan tepat akan berdampak panjang ke sekitar, termasuk anak.
Mengingat siapapun akan mungkin mengalaminya, maka usaha untuk terus memperkuat kemampuan dalam mengelola emosi adalah langkah yang penting dilakukan oleh setiap orangtua. Tujuannya tentu agar anak seminimal mungkin terkena dampak permasalahan orangtua; kita menjadi pribadi yang semakin tangguh, yang mampu menghadapi setiap tantangan hidup dengan baik; sekaligus menjadi contoh bagi anak-anak agar nantinya mereka juga mengembangkan kekuatan personal yang serupa, bahkan jika mungkin lebih baik.
Berkait itu pula, saya terkadang meluangkan waktu untuk sejenak menoleh ke belakang. Mencoba mencari hikmah dari perjalanan hidup yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa antar waktu, antar episode itu seringkali saling berkait, ada benang merahnya. Pengalaman yang lebih dulu terlewati seolah memberi bekal untuk mampu menghadapi yang kemudian datang.
Barangkali skenario Allah juga kenapa sekian tahun yang lalu saya begitu tertarik untuk mulai mempelajari dan kemudian mendalami resiliensi, sebuah konsep yang menjelaskan tentang ketangguhan dalam hidup. Boleh jadi, itu bagian dari proses bagaimana Allah menyiapkan saya agar bisa menjalani garis-garis takdir-Nya yang tidak biasa.
Dan melalui setiap momen ujian (baca: ruang belajar), Allah seolah menghendaki saya tidak hanya sekedar mempelajari dan membagikan pemahaman ke orang lain, tetapi juga menerapkannya secara langsung ketika diri sendiri menghadapi situasi sulit. Walk the talk. Termasuk mengupayakan agar seberat apapun persoalan yang dihadapi, komitmen terhadap pengasuhan anak sedapat mungkin tidak terlalu terdampak.

Bagi rekan yang sudah cukup sering membaca penjelasan tentang resiliensi tentu mengetahui bahwa koping yang efektif adalah proses kunci untuk seseorang mampu mencapai ketangguhan di tengah kesulitan yang sedang dihadapi. Koping merupakan upaya individu untuk mengelola pikiran, emosi, dan perilaku, untuk mengatasi berbagai tuntutan dan menghadapi kondisi baik internal maupun ekstenal yang mendatangkan tekanan. Koping merupakan upaya personal seseorang untuk melakukan berbagai penyesuaian saat berhadapan dengan tekanan dalam hidup, sehingga ia mampu memelihara well-being, baik secara psikologis, fisik maupun status fungsional. Koping yang efektif akan menghasilkan adaptasi positif terhadap situasi.
Pada catatan ini saya ingin sedikit berbagi tentang apa saja langkah koping yang selama ini sering saya gunakan untuk mengelola kondisi emosi saya, menjaga agar tidak terjadi ledakan atau fluktuasi yang berlebih ketika berada di waktu-waktu dengan beban psikologis yang relatif tinggi. Dengan begitu, seberat apapun persoalan yang sedang terjadi, interaksi dan komunikasi saya dengan Damai dapat diupayakan tetap baik, sehingga ia juga terbantu untuk tetap fokus belajar, beraktivitas seperti biasa, dan tidak terlalu terbawa oleh suasana yang pada saatnya sedang tidak kondusif.
Ada lima langkah koping yang bagi saya berfungsi efektif:
Pertama, mengingat sebanyak mungkin hal-hal baik yang masih saya miliki untuk bisa menguatkan syukur. Apapun hal-hal baiknya, mulai dari yang paling sederhana. Semisal, saya menguatkan kesadaran dan ingatan bahwa dalam situasi sulit tersebut kesehatan tetap terjaga, rizqi tetap mengalir, ada keluarga yang menguatkan sehingga saya tidak sendiri, ada anak yang begitu memahami kondisi orangtua, teman yang selalu menceriakan, tetangga rumah yang baik, dan sebagainya. Saya mengingat sebanyak mungkin hal-hal baik untuk mengimbangi dominasi emosi negatif dengan memunculkan emosi-emosi positif. Langkah ini juga menghindarkan diri saya untuk tidak merasa begitu menyedihkan dengan persoalan yang sedang terjadi.
Kedua, saya berusaha menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas untuk memperbanyak waktu bermanfaat, agar semakin sedikit ruang kosong yang pada akhirnya memicu munculnya pikiran ‘ngelangut’ saat menghadapi persoalan. Cara ini menyedikitkan peluang munculnya pikiran-pikiran yang tanpa disadari banyak terpaku pada hal-hal yang membuat sedih, marah, kecewa, dan semacamnya. Menyibukkan diri ini tidak harus dengan pekerjaan. Bisa saja dengan melakukan hal-hal yang disukai (memasak, menulis, berkebun, dll), membantu orang lain, atau apapun yang bisa mendatangkan perasaan bermakna.
Ketiga, tidak menyalahkan diri sendiri. Tidak sedikit persoalan psikologis dalam diri seseorang terjadi begitu sangat karena mereka yang mengalami memperparahnya dengan menyalahkan atau menghakimi diri sendiri, apalagi jika dilakukan secara terus-menerus. Karenanya saya menjaga betul agar diri sendiri tidak ikut melakukan, semisal dengan berpikir bahwa sepanjang semua kewajiban sudah dilaksanakan, tanggung jawab sudah saya penuhi, dan ikhtiar mencari jalan keluar persoalan sesuai kapasitas diri sudah saya lakukan, maka langkah terbaik adalah mengikhlaskan apa yang tidak terjangkau oleh kemampuan. Saya berusaha menghargai diri dan meyakini bahwa lebih dari apapun Allah Maha Mengetahui apa yang sudah kita usahakan.
Keempat, menjaga kontak dan keterhubungan dengan sekitar. Pengalaman yang mendatangkan emosi-emosi negatif kerapkali memicu untuk menarik diri dari interaksi dengan orang lain. Hal ini berisiko membuat kita terjebak dalam kesedihan, kemarahan, kekecewaan, atau khawatir yang berlarut, sehingga pada sejumlah kasus kemudian memunculkan perilaku maladaptif yang makin sulit diatasi. Karena itu, meski memang ada saatnya butuh ruang sendiri, namun saya mengupayakan agar tidak berjarak terlalu jauh dari lingkungan sosial. Saya tetap berkontak dengan sekitar agar manakala ada dorongan tertentu di pikiran yang terbawa oleh emosi negatif, hal tersebut masih relatif mudah untuk dikendalikan.
Kelima, mendekatkan diri pada Tuhan dan menguatkan keimanan. Keyakinan saya pada Allah dan segala rencana-Nya mendorong untuk kemudian menambah waktu ibadah, lebih banyak lagi berdoa untuk memohon kekuatan dan keikhlasan menjalani setiap ujian-Nya. Langkah ini sangat membantu untuk menjaga diri agar tetap tenang setiap kali menghadapi tekanan atau tantangan sesulit apapun.
Dalam buku Resiliensi Psikologis telah dijelaskan pentingnya kita memiliki sejumlah alternatif koping yang dapat diterapkan dalam mengelola stres dan emosi-emosi negatif yang menyertainya. Terlebih karakteristik masing-masing stresor (sumber stres dalam hidup) juga mungkin berlainan. Kadang tekanan yang datang bisa diredakan dengan cara A, sementara di waktu yang lain, kuatnya dorongan emosi dari sumber stres yang berbeda harus dikelola dengan cara B, C, atau bahkan beberapa cara sekaligus.
Koping yang efektif pada seseorang belum tentu akan selalu efektif pada orang lain, termasuk yang menghadapi persoalan serupa. Oleh karena itu, boleh jadi lima langkah koping yang saya tuliskan juga tidak selalu sesuai untuk semua orang. Namun catatan berdasar pengalaman ini setidaknya bisa membantu sebagai pemantik kesadaran agar setiap dari Anda, para pembaca, bisa menemukan cara-cara sendiri dalam mengelola pikiran dan emosi, menjaga kondisi psikologis agar tetap tenang dan sehat di berbagai situasi. Dengan demikian, pengasuhan dan pendampingan tumbuh kembang yang kita lakukan pada anak, sebagaimana tanggungjawab kita sebagai orangtua dapat diupayakan tetap baik, meski sebenarnya secara personal tengah berada dalam keadaan yang kurang begitu baik.
