Saya tergelitik menulis ini setelah mendapatkan pertanyaan menarik dari Mbak Su, asisten rumah kami setelah melihat berbagai berita tentang usaha-usaha yang dilakukan sekolah menjelang siswa-siswanya mengikuti UN. Mulai dari mengadakan doa bersama yang diiringi isak tangis penuh dengan sesaknya hati dan pikiran, menyarankan siswa berkeliling sekolah untuk meminta maaf atas semua kesalahan, melakukan ritual mencuci kaki guru dan orangtua sedemikian rupa, sampai ada yang meminta siswa untuk minum air tertentu yang sudah diberi doa-doa.
“Kok kula mboten sreg nggih, Bu… (kok saya ndak sreg ya, Bu)…?”, katanya.
Saya tanya apa yang membuatnya tidak sreg. Mbak Su bilang, ia merasa justru dengan itu semakin membuat UN menjadi momok untuk siswa, sehingga siswa pun menghadapinya dengan penuh kecemasan, kekhawatiran yang berlebih.
Yak, saya sepakat dengan Mbak Su. Saya pun merasakan hal yang sama sejak beberapa waktu terakhir sering mendengar ritual-ritual yang menurut saya justru menambah beban psikologis anak setiap kali masa UN datang.
Dipersepsikan dengan sederhana, UN sebenarnya hanyalah satu proses evaluasi dari seluruh kegiatan belajar siswa yang dijalani sejak awal masa studinya. Hasil UN sewajarnya akan mencerminkan apakah siswa optimal atau tidak dalam belajar. Jika sekolah sudah melaksanakan proses pendidikan dengan baik, mengikuti kurikulum dan segala ketentuannya, maka siswa akan dapat belajar dengan benar sesuai target capaian pembelajaran. Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran berlebih dalam menghadapi evaluasi yang bernama UN ini.
Kalaupun sekolah akan berusaha keras mendorong seluruh siswa agar dapat melalui UN dengan baik, maka langkah paling tepat menurut saya adalah dengan mengupayakan terlaksananya proses pembelajaran yang sebaik mungkin. Jadi bukan dengan melakukan langkah-langkah yang dinyatakan sebagai bentuk dukungan, namun sejatinya justru menularkan virus kepanikan. Penularan panik dan cemas yang bahkan berantai, dari pihak sekolah ke siswa, juga orangtua.
Sempat saya berpikir, apa sebenarnya yang menyebabkan banyak sekolah saat ini memilih mengadakan kegiatan “menarik” menjelang siswanya menghadapi UN. Fenomena yang sepanjang ingatan saya nyaris tidak pernah terjadi di masa saya sekolah dulu, dari SD hingga SMA.
Dugaan saya yang pertama adalah karena adanya kekhawatiran akan reputasi. Jika rata-rata nilai UN siswa kurang baik, pihak sekolah khawatir jika reputasinya akan turun, sehingga menjadi kurang kompetitif jika dibandingkan dengan sekolah yang lain dan rentetan persepsi terhadap konsekuensinya yang lain. Dugaan pertama ini didukung oleh data tidak sedikitnya sekolah di sekitar yang sangat peduli dan mengagungkan prestasi. Bahkan setiap saat seolah berlomba-lomba menunjukkannya, hingga tak jarang berusaha menggaungkan capaian kecil secara berlebihan. Mengatasnamakan sebuah bentuk apresiasi ke siswa, untuk maksud sesungguhnya mendongkrak kesan baik di masyarakat agar nama sekolah terangkat.
Dugaan kedua, karena faktor kasih sayang dan perhatian berlebih yang justru berefek melemahkan mental. Guru, ujung tombak proses pendidikan di sekolah mayoritas adalah juga orangtua. Putra-putri mereka juga sedang menempuh pendidikan, entah di sekolah yang sama dengan tempat mengajar maupun di sekolah yang lain. Sebagaimana arus kecenderungan orangtua saat ini yang sering memiliki kekhawatiran terhadap tumbuh kembang anak di tengah lingkungan sosial yang beragam, sikap sebagai orangtua tersebut sedikit banyak juga terbawa dalam diri guru saat berinteraksi dengan siswa-siswa didiknya.
Di satu sisi baik, sebab sejatinya guru adalah orangtua siswa di sekolah. Namun di sisi lain, kekhawatiran ini seringkali juga mendatangkan akibat pada sikap guru yang juga diliputi oleh berbagai kecemasan. Jadilah kemudian atmosfer pekat yang membuat UN menjadi sumber ketakutan pada anak. Bagaimana tidak, semakin mendekati masa ujian, suasana rumah semakin terasa tegang dengan sikap dan perilaku orangtua yang tidak biasa, bertambah dengan semakin menguatnya pula pesan dan berbagai wejangan dari guru saat anak berada di sekolah. Tensi terasa naik di mana-mana. Sehingga bagaimana mungkin anak diminta untuk rileks sementara pada saat yang sama lingkungan di sekitarnya sedang menciptakan ketegangan dengan berbagai cara.
Terlepas dari kedua dugaan tersebut, dengan kecemasan yang ada, dapatkah siswa kemudian berpikir jernih dalam mengerjakan soal? Dapatkah memorinya dengan mudah memunculkan kembali sekian banyak tumpukan informasi yang sudah disimpan dalam ruang ingatan selama sekian waktu proses belajar? Tentu akan sulit. Yang ada justru kemungkinan munculnya pikiran-pikiran mencari jalan pintas untuk mencapai tujuan. Apa itu? Kasus mencontek, aksi contek masal, jual-beli soal dan kunci jawaban ujian adalah beberapa diantaranya, hasil dari kolaborasi antara kecemasan sekolah, orangtua, dan siswa sendiri.
Lantas, tidak bolehkah lebih banyak melakukan usaha non akademis seperti memperbanyak doa bersama atau hal lain sejenisnya? Ya boleh-boleh saja, toh itu adalah pilihan karena keyakinan mengajarkan bahwa antara usaha dengan doa memang harus sejalan. Tapi semestinya dibandingkan langkah-langkah yang justru akan dapat menambah kecemasan, sekolah dapat memilih bentuk dukungan yang lebih tepat dalam mengoptimalkan kesiapan siswa, baik dari sisi pemahaman materi maupun kondisi psikologis. Kalaupun melibatkan upaya untuk memperkuat keimanan, menurut saya tidak perlu dilakukan dengan cara-cara yang berlebihan. Sekali lagi mengingat besarnya konsekuensi psikologis yang harus ditanggung oleh siswa hingga masa-masa belajar mereka berikutnya.
Sebagaimana beruntungnya saya memiliki teman sesama orangtua, yang ketenangannya mendampingi anak melewati setiap momen penting dalam hidup sungguh menjadi teladan, saya pun beruntung memiliki teman sesama pendidik, sumber belajar dalam berkarya yang telah memberikan banyak contoh tentang bagaimana sebaiknya menyikapi UN ini dengan cara-cara yang positif. Cara-cara yang menenangkan sekaligus menguatkan bagi siswa-siswanya. Apa yang telah mereka lakukan di sekolah masing-masing dalam hal ini?
Pembedanya ada pada upaya untuk mereduksi bantuan-bantuan yang justru mendatangkan kepanikan. Mereka tetap mengagendakan waktu-waktu tertentu untuk siswa dapat belajar bersama, mengulang kembali materi-materi yang telah lama dipelajari. Namun hal tersebut diiringi dengan berbagai langkah penguatan psikologis melalui proses yang menyenangkan, seperti diskusi minat studi dan rencana perjalanan belajar mereka ke depan, dalam kelompok-kelompok kecil yang dikelola oleh guru atau konselor sekolah.
Diskusi ini sangat membantu siswa menghayati kembali tujuan belajarnya, sekaligus membangun motivasi dari dalam diri untuk berusaha maksimal mencapainya. Suasana diskusi yang intensif dan menyenangkan, membangun persepsi positif dan memberdayakan ini juga membantu siswa untuk mampu menghadapi UN tanpa rasa cemas. Tanpa disadari, kegiatan ini ternyata juga berdampak positif bagi para guru yang turut teredakan kekhawatirannya, dan terhindar dari langkah memberi dukungan yang kurang tepat.
Upaya agar siswa mengiringi ikhtiarnya dengan doa dipesankan oleh sekolah dalam sesi diskusi penguatan psikologis yang lain, untuk dilakukan masing-masing secara mandiri. Kalaupun kemudian ada doa bersama, hal tersebut dilakukan dengan inisiatif dari siswa sendiri, dengan mengelola prosesnya agar tetap dilakukan dalam suasana yang menenangkan dan membangkitkan keyakinan bahwa mereka akan mampu melewati UN dengan baik. Bukan suasana yang justru berefek menyangatkan berbagai emosi dan persepsi negatif.
Melalui pilihan ini, anak-anak lebih memiliki kesiapan secara mental. Kecemasan yang berhasil direduksi berganti dengan pola pikir yang lebih positif terhadap ujian, adanya optimisme yang disertai gambaran kelanjutan proses belajar ke depan. Hasilnya, penampakan wajah-wajah tenang tanpa raut muka khawatir baik pada siswa maupun guru selama menjelang hingga hari-hari ujian berlangsung.
Sekali lagi, pilihan dengan segala konsekuensi panjangnya ada pada sekolah, juga orangtua tentunya. Akan menciptakan atmosfer belajar yang seperti apa dalam menyiapkan siswa-siswanya menghadapi ujian akhir.
Saya menulis ini juga untuk belajar. Memberi pengingat pada diri sendiri agar nantinya bisa selalu menjaga hati dan pikiran, agar tetap tenang setiap saat mendampingi anak menjalani berbagai ujian dalam perjalanan studinya.
Selamat menempuh UN untuk anak-anak semua di manapun berada. Kalian sudah belajar banyak. Yakinlah dengan diri kalian sendiri, tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Fokus saja mengerjakan setiap soal sesuai kemampuan kalian, sebagaimana yang telah kalian pelajari. Terus semangat, tetap bahagia, dan jangan lupa tersenyum… ^.^