Kisah Kasih yang Menghanyutkan

Tak terbantahkan lagi bahwa kasih orangtua adalah zat gizi super duper penting yang berpengaruh besar terhadap perkembangan seorang anak. Dengan kasih, anak yang meyakini bahwa sekitar menyayanginya, akan mampu mengembangkan kepercayaan dan sikap yang positif terhadap lingkungan. Sebaliknya, tanpa kasih anak akan mungkin tumbuh menjadi individu yang kering secara emosional, yang dingin dan sulit memahami perasaan baik diri sendiri maupun orang lain.

Akan tetapi, bagaimana dengan kasih dalam kisah-kisah berikut ini? Mari kita simak. Seperti biasa, nama tokoh yang disebutkan bukan nama sebenarnya ya… 🙂

Kisah 1

Kania saya kenal saat melakukan pendampingan di salah satu sekolah menengah inklusif yang ada di Surabaya. Gadis pintar ini memiliki gangguan pendengaran sejak masih bayi, dan saat ini sehari-harinya ia menggunakan alat bantu dengar untuk membantunya mengakses informasi dan komunikasi dengan orang lain. Tapi seperti yang disayangkan oleh guru dan teman-temannya, kepintaran Kania rupanya tidak cukup diikuti oleh ketrampilan sosial yang juga baik. Ia dikenal sebagai siswa yang sangat egois, yang ingin semua permintaannya dituruti, dan akan menunjukkan ekpresi marah yang berlebihan jika tidak demikian. Sementara siswa-siswa dengan gangguan pendengaran yang lain di sekolah itu tidak menunjukkan perilaku yang serupa.

Ketika saya telusur bagaimana cerita dalam keluarganya, dua orang guru yang cukup dekat dengan Kania menuturkan bahwa kedua orangtua Kania konon memiliki rasa bersalah yang cukup besar atas kondisi yang dialami oleh anak mereka. Dan singkatnya, rasa bersalah itu membuat mereka selalu ingin memberikan “yang terbaik” untuk Kania. Sejak kecil, semua kemauannya selalu diikuti. Terlebih Kania adalah anak mereka satu-satunya. Segala benda yang dimiliki, baik untuk bermain, keperluan sekolah maupun hal-hal yang dikenakan sehari-hari adalah benda-benda pilihan yang berharga mahal. Penyesalan yang mereka rasakan membuat kedua orangtua Kania tidak sampai hati untuk menolak keinginan anaknya, sekalipun itu adalah sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Sayangnya kasih mereka yang sedemikian besar pada anak harus diwujudkan dengan mengesampingkan pendidikan karakter, pengajaran ketrampilan bersosialisasi, mengelola emosi, dan lain sebagainya yang jauh lebih penting untuk bekal hidup Kania kelak.

Kisah 2

Kisah ini sering terjadi pada banyak orangtua. Saya pun pernah hampir mengalami. Tapi beruntung kata-kata anak saya sendirilah yang kemudian mengingatkan saya. Adalah hal yang wajar sebenarnya jika orangtua punya banyak kekhawatiran terhadap anak-anaknya. Tapi jika kekhawatiran yang berlebihan itu justru berdampak pada kurangnya kemandirian anak, saya rasa kita perlu untuk bisa mengelola perasaan itu sedemikian rupa, agar anak-anak kita tetap mampu tumbuh sebagai anak-anak yang mandiri.

Sebagai contoh, saya pernah bertanya pada beberapa teman, yang selama minggu pertama anak mereka masuk menjadi murid SD tetap menunggui anak-anaknya di sekolah hingga jam pelajaran berakhir. Jawaban yang muncul umumnya adalah karena anak-anak mereka masih belum mau ditinggal, karena memang belum mandiri, takut nanti nangis, khawatir nanti nggak berani ke kamar mandi sendiri kalau mau buang air kecil, dan sebagainya…dan sebagainya…

Bahwa anak-anak butuh waktu untuk mampu melakukan segala hal secara mandiri, 100% saya sepakat. Tapi proses itu tetap butuh stimulus. Jika stimulus tidak optimal diberikan, bagaimana mungkin proses yang diharap akan bisa berjalan? Padahal tidak sedikit orang tua lain yang mampu mengusahakannya dalam waktu yang lebih dini. Melakukan pembiasaan mandiri yang lebih awal, sejak masa pra-sekolah atau bahkan sebelumnya.

Selain itu, khawatir yang berlebihan seringkali juga membuat anak menjadi tidak percaya diri untuk melakukan berbagai aktivitas, pemalu, pencemas, ragu-ragu untuk menunjukkan kemampuannya karena takut salah atau hal-hal lainnya. Kenapa? Karena setiap hari mereka justru terpapar oleh stimulasi dan contoh kecemasan yang tanpa sadar selalu ditunjukkan oleh perilaku orangtuanya.

Kekhawatiran berlebih dari para orangtua ini agaknya sejalan dengan hal menarik lain yang saya lihat saat mengunjungi keponakan saya yang sudah SMP, yang mengikuti kegiatan perkemahan pramuka di sebuah lokasi perkebunan. Waktu itu saya datang saat istirahat sore. Hal pertama yang membuat saya agak bingung adalah di lokasi perkemahan itu semua serba menggunakan listrik. Bahkan di tenda-tenda para siswa pun tidak ada yang membawa lampu ting atau petromaks, lampu khas setiap kali berkemah seperti yang saya kenal dulu. Jadi penerangan untuk masing-masing tenda pun dengan menggunakan lampu neon atau bohlam. Wow! 😀

Hal kedua, soal kompor. Hampir semua regu membawa kompor gas dengan tabung LPG 3 kg. Dan semakin aneh ketika melihat perlengkapan masak itu hanya menjadi pajangan karena ternyata untuk tiap kali makan banyak orangtua datang mengirimkannya. Masih terkait dengan hal kedua, hari itu saya sempat menyaksikan acara lomba masak yang mengharuskan tiap regu memasak menu tertentu di tenda masing-masing, dan selanjutnya akan dinilai oleh kakak pembina. Coba tebak, pemandangan apa yang asik? Tidak sedikit aksi masak di tenda-tenda yang ternyata dilakukan oleh para ibu! Sementara anak-anaknya hanya jadi supporter, atau malah pergi mandi sore. Weeelhadalah! SMP lho ini… Sudah cukup besar untuk diajar bertanggung jawab dan mampu melakukan hal-hal itu sendiri. Bukankah (sekali lagi) di Pramuka harusnya justru jadi tempat mereka lebih banyak belajar untuk bisa mandiri dan survive dengan perlengkapan yang seadanya?   …*Geleng-geleng kepala*…

Kisah 3

Orang Indonesia banyak yang kormod (korban mode) dan kortrend (korban trend)? Itu sudah jadi rahasia umum. Lagi musim rebonding, banyak orang me-rebonding rambutnya. Lagi trend gamis dan kaftan, berjuta ibu-ibu mendadak sering pakai gamis dan kaftan kemana-mana. Sementara anak-anak perempuannya dibelikan “hot pant” yang lagi booming juga, hehehe… Dan ini tidak hanya terjadi di kalangan menengah ke atas aja lho… Serius! Tapi sempat tidak mengamati jalur merajalelanya sifat ini hingga ke anak-anak? Kebetulan saya sempat 🙂

Salah satu jalur itu dimulai saat ibu yang umumnya lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak memiliki kebiasaan yang sangat responsif terhadap perubahan mode, baik untuk diri sendiri maupun untuk anak. Saat ibu begitu cepatnya mengakses hal-hal yang sedang trend, misal rajin membeli barang yang sedang in, tidak pernah absen berburu pernik-pernik penunjang penampilan agar selalu tampak modis dan tidak ketinggalan jaman, padahal apa yang diburu kadang jauh dari kemampuan.

Lambat laun, kebiasaan itu akan sangat mungkin menjadi contoh yang dengan mudah bisa ditiru oleh anak. Kuncinya lagi-lagi di modeling, baik secara sadar maupun tidak, terhadap perilaku tertentu dari orangtua yang selalu dilihat dan diakses oleh anak setiap harinya. Jadi tidak salah apabila semakin hari, seiring dengan bertambahnya usia, sejalan dengan semakin lamanya waktu dalam mengamati dan merasakan, semakin tertanam pula dalam pikiran anak bahwa selalu mengikuti mode, membeli barang-barang baru agar tetap trendi adalah hal yang perlu untuk dilakukan. Meskipun sebenarnya itu bukan sesuatu yang penting dan justru bertolak belakang dengan kondisi keuangan keluarga. Bahkan tidak heran jika kemudian anak menjadi kurang mampu membuat prioritas atas kebutuhan-kebutuhannya sendiri, antara yang memang perlu, dengan yang tidak.

Nah, jadi ribet kan akhirnya? Padahal semuanya berawal dari kasih… 😀

Iklan

1 thought on “Kisah Kasih yang Menghanyutkan

  1. Ping balik: Hari Pramuka dan Upaya Menumbuhkan Kemandirian Anak - Portal Bakat Anak

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s