Refleksi Ibu Belajar (1): Menyimak, Mencermati, Menyesuaikan

Tulisan ini menyambung kembali cerita tentang warna-warni mendampingi proses belajar Damai yang sudah masuk di usia remaja. Ada begitu banyak penyesuaian dilakukan, mengingat tahapan perkembangannya yang sudah beralih dari masa anak. Dan dalam upaya sejauh ini, bersyukur sekali karena kami sangat terbantu oleh program-program sekolah yang turut mengedukasi dan memotivasi orangtua, agar seiring sejalan dalam menumbuhkan setiap potensi baik yang dimiliki anak.

Seperti pernah saya tuliskan di “Sekolah Baru, Value, dan Proses Belajar yang Seru” (sila klik jika ingin membacanya lebih dulu), Damai belajar di Sekolah Cikal Surabaya. Sebuah sekolah yang cukup jauh dari rumah, namun kami pilih dengan sepenuh kesadaran untuk semaksimal mungkin memfasilitasi perkembangan kemampuan Damai, kecintaannya dalam belajar, juga pertumbuhan pribadinya.

Sejak awal ia masuk menjadi siswa Year 7, saya mengikuti sekian banyak kegiatan dilakukan oleh sekolah untuk mengoptimalkan keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak. Mulai dari pertemuan seluruh orangtua dan pihak sekolah di awal tahun ajaran; Workshop pengenalan kompetensi 5 bintang yang menjadi fokus pengembangan dan diharapkan dapat dikuasai siswa selama proses belajarnya; Workshop tentang model asesmen yang dilakukan oleh sekolah dalam mengevaluasi capaian belajar siswa; serta Berbagai kegiatan lain yang melibatkan orangtua sebagai bagian dari komunitas sekolah, yang nyaris tak terhitung jumlahnya. Pendek kata, di Sekolah Cikal iniΒ yang berproses belajar bukan hanya anak, tapi juga orangtuanya. Dan saya adalah bagian dari orangtua itu.

Karena sebelumnya Damai belajar di sekolah yang murni menerapkan kurikulum nasional, dengan pola-pola aktivitas serta relasi antara guru-siswa yang seperti umumnya kita tahu, maka saya bisa merasakan bagaimana perbedaan atmosfernya dengan sekolah yang sekarang. Saya bisa memahami beda desain dan target pembelajaran yang diterapkan. Perbedaan yang menurut saya positif ini akan sayang sekali jika tidak diimbangi dengan dukungan yang sejalan dari sisi rumah. Semisal, akan sayang jika orangtua masih terbawa mindset mengejar nilai rapor, menyeragamkan capaian kemampuan antar siswa, membuat sekat-sekat yang kaku antar materi belajar, dan semacamnya.

Terkait itu, secara berkala saya meluangkan waktu untuk membuat catatan atas apa yang tersimak dan tercermati dari pengalaman belajar Damai di sekolah. Sebagai bagian dari proses refleksi untuk terus menjaga konsistensi dukungan belajar yang saya upayakan untuknya. Di bawah ini adalah beberapa diantara sekian banyak catatan yang pernah saya unggah di laman facebook…

Catatan 5 Desember 2018

Sedang masanya UAS/PAS di berbagai sekolah. Begitu pula di sekolah Damai. Bedanya, penilaian akhir tidak dilakukan dalam bentuk ujian seperti umumnya. Anak tidak duduk mengerjakan serangkaian soal, namun dalam bentuk evaluasi dan penilaian terhadap berbagai project yang dibuat oleh siswa di setiap mata pelajaran.

Projectnya menarik, sekaligus menantang anak untuk belajar lebih banyak dengan mengedepankan proses, bukan semata mengejar hasil.

Di gambar ini, misalnya, Damai sedang menyelesaikan project untuk summative assessment Bahasa Inggris. Jangan dibayangkan karena Bahasa Inggris lalu project-nya akan monoton identik dengan urusan grammar, vocab, dan sejenisnya. Tidak demikian.

Dalam project yang dilakukan secara bertahap ini siswa terlebih dulu diminta untuk mengamati lingkungan sekitar selama 7 hari dan menemukan berbagai isu sosial yang terjadi. Setelah itu, diantara sejumlah isu yang berhasil diidentifikasi, siswa diminta memilih isu mana yang akan dikaji lebih lanjut, berdasar argumentasi yang jelas tentunya.

Damai memilih isu tentang littering, atau perilaku membuang sampah di sembarang tempat yang jadi persoalan super serius di Indonesia. Setelah memilih fokus, siswa diminta untuk melakukan riset ke berbagai literatur untuk merumuskan semacam road map tentang faktor-faktor mendasar yang dimungkinkan menjadi penyebabnya. Kemudian mereka diminta untuk membuat esai yang berisi analisis dan arah rekomendasi penyelesaiannya, dengan isi yang selalu berbasis rujukan dan data.

Jadi, belajar Bahasa Inggrisnya dilakukan simultan dengan mengasah kompetensi yang lain. Senang sekali menyimak proses ini. Kelas memang masih 1 SMP. Tapi kepekaan mereka terhadap fenomena di sekitar, kepedulian terhadap apa yang terjadi di lingkungan, kemampuan untuk berpikir kritis, analitis dan mencari pemecahan masalah secara efektif sudah dibiasakan dalam proses belajarnya sehari-hari.

Littering 1

Catatan 13 Desember 2018

Baru saja sampai kampus setelah menyaksikan acara yang begitu mengesankan buat saya, bagian dari proses belajar Damai di sekolah. Siswa-siswa Middle Year hari ini melakukan Subject Exhibition, mempresentasikan apa saja yang sudah dipelajarinya selama satu semester. Subject Exhibition ini adalah juga bagian dari proses evaluasi belajar siswa. Jika pada umumnya penanda akhir semester adalah pembagian rapor, maka di sini selain rapor juga dilakukan pameran, dengan siswa mempresentasikan segala sesuatu yang telah dipelajari (proses maupun hasil dan refleksinya), baik pada mata pelajaran umum, mapel pilihan, club (ekstrakurikuler), dsb.

Semua anak terlibat, mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan dan menanggapi berbagai pertanyaan. Sementara itu orangtua dapat mengklarifikasi sekaligus mengapresiasi secara langsung untuk menguatkan proses belajar mereka selanjutnya.

Cerita dan dokumentasi lain dari MYP Subject Exhibition 2018 ini juga dapat dibaca di blog ayundadamai.com

Catatan 28 Januari 2019

January Block, kegiatan belajar Damai di bulan pertama masuk sekolah setelah masa libur kemarin. Agak berbeda dari sekolah umumnya yang langsung menjadwalkan pelajaran reguler, di January Block ini proses belajar dilakukan berbasis project. Project terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang ditetapkan oleh PBB sebagai agenda bersama pembangunan dunia yang berkelanjutan.

Menyimak cerita Damai yang antusias, project dikerjakan bertahap, secara berkelompok. Ringkasnya, pertama masing-masing kelompok diminta mencermati 17 goals PBB dalam SDGs, lalu memilih akan memfokuskan project untuk mendukung goal yang mana. Damai dan teman sekelompoknya memilih goal ke-6, tentang air dan sanitasi.

Setelah itu, kelompok diminta untuk meriset, melacak dari berbagai sumber literatur untuk memahami apa isi goal itu dan apa yang hingga sekarang masih menjadi isu di dalamnya, berikut data kondisinya di Indonesia. Hasil telaah literatur ini dituangkan dalam poster yang kemudian dipresentasikan untuk mendapatkan feedback.

Tahapan berlanjut dengan penambahan data-data yang diperlukan, kegiatan fieldtrip ke lokasi tertentu sesuai isu/goal yang dipilih, perbaikan analisis dan perancangan ide solusi. Solusi yang dihasilkan boleh dirupakan apa saja, menggunakan berbagai media yang dapat mengedukasi masyarakat, sehingga bersama-sama dapat memperbaiki kondisi dan mempercepat pencapaian goal tersebut.

Project yang sangat menarik. Padat belajar dengan mengasah kepekaan siswa terhadap isu global dan fenomena di sekitar, sekaligus membiasakan mereka turut berkontribusi di lingkungan sosial.

January Block

Catatan 24 Februari 2019

Sedang apakah saya di video bawah ini?

Ceritanya saya sedang diwawancara oleh Damai, untuk tugas Bahasa Indonesia. Ini saya minta ijin Damai mengunggah dua cuplikan saja dari keseluruhan rekaman yang durasinya cukup lama, dalam perjalanan dari rumah ke sekolah kapan hari. Tugasnya membuat esai, dengan topik yang terkait berbagai value positif dalam hidup.

Esai ini dibuat tidak hanya berdasar common sense saja, namun terlebih dulu siswa diminta untuk mengumpulkan bahan, diantaranya dengan mewawancara orangtua. Isi wawancara tentang value tertentu yang diyakini orangtua dan kemudian disampaikan, berusaha ditumbuhkan dalam diri anak melalui interaksi sehari-hari.

Setelah wawancara dilakukan dan setiap siswa mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang value-value tersebut, tahap berikutnya akan dilakukan diskusi bersama di kelas untuk membahasnya, sehingga ada transfer informasi dan pemahaman value yang beragam juga antara satu siswa dengan yang lain. Baru setelah itu mereka membuat esai masing-masing.

Dan untuk ke sekian kalinya saya bersyukur sekali melihat Damai dan teman-temannya diberikan penugasan ini. Tugas yang tidak hanya semata membuat esai (sebagaimana isi mata pelajarannya), tetapi sekaligus memanfaatkan proses ini untuk siswa juga mempelajari hal lain yang lebih esensial. Memperkaya wawasan agar kelak mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memiliki value dan mampu menjaga prinsip dalam hidupnya. Bukan menjadi individu yang sekedar mahir meniru pola perilaku orang lain atau apa yang sedang menjadi tren di sekitar.

 

Catatan 27 Maret 2019

Salah satu hal yang dikangeni tiap ada tugas luar beberapa hari adalah cerita-cerita belajar Damai yang selalu menarik, membuat ikut antusias merasakan keseruannya.

Dan sore ini senang sekali begitu sampai rumah bisa menyimaknya lagi.

Yang ada di gambar adalah bagian dari belajar Damai lewat project Bahasa Inggris. Ringkas isi projectnya adalah membuat campaign yang dapat membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap berbagai isu sosial di sekitar.

Dalam project ini tiap siswa boleh memilih isu apa yang menjadi perhatian dan kepeduliannya, lalu merencanakan produk/program untuk kampanye tersebut, membuat proposal untuk belajar mencari investor sekaligus mempresentasikannya di depan para calon investor, sampai dengan menyelesaikan prototype produk yang diusulkan.

Damai mengangkat isu bullying. Ia terpikir mempertimbangkan kemampuan bermusiknya dalam mengerjakan project ini dengan membuat satu komposisi musik yang membangun kesadaran untuk bersama mencegah bullying. Jadi di sini proses belajar sesuai penugasan mata pelajaran dilakukannya simultan dengan mengasah bakat. Artinya, satu rangkaian kegiatan belajar di subject tertentu sekaligus menjadi stimulasi juga untuk pengembangan beberapa kemampuannya yang lain.

Bullying Campaign

Berbagai catatan reflektif tersebut merupakan pengingat untuk tidak lagi membatasi ruang dalam mendampingi Damai belajar. Tidak boleh lagi membantu belajar hanya dengan berpatok pada materi dalam buku pegangan wajib mata pelajaran saja seperti dulu. Sebaliknya, diskusi sedapat mungkin harus diperluas mengikuti pola belajar di sekolah, yang selalu memperkaya pengetahuan siswa dengan berbagai macam wawasan.Β Mengecek dan memastikan pemahaman anak akan suatu topik harus pula diimbangi dengan berbagai dialog untuk menguatkan kemampuannya berpikir kritis, juga sikap yang peka, peduli, dan berusaha untuk banyak berkontribusi positif di masyarakat.

Dalam proses ini, saya banyak mengevaluasi diri sendiri yang tanpa sadar masih kerap terbawa mindset dan pola-pola dukungan belajar yang lama. Seperti ketika saya membicarakannya bersama Damai, sepulang dari mengikuti Student Led Conference (SLC) beberapa waktu lalu. SLC ini merupakan salah satu conference yang menjadi bagian dari evaluasi proses belajar di Sekolah Cikal. Di SLC siswa menceritakan bagaimana proses belajar dalam 1 term (3 bulan), bagaimana pencapaian tujuan belajarnya, merefleksikan apa praktik baik yang sudah dilakukan, juga hal-hal yang belum optimal, bersama dengan guru dan orangtua masing-masing.

πŸ‘©β€πŸ’Ό: Kalau dipikir-pikir, mama itu beneran belajar banyak dari mengikuti proses belajarmu sekarang.
πŸ‘©πŸ»β€πŸŒΎ: Tell me, Mam.
πŸ‘©β€πŸ’Ό: Belajar mengelola mindset, juga mengelola emosi sendiri. Ya meskipun secara teoritik sudah paham dari lama, tapi tidak selalu konsisten diikuti dengan perilaku yang benar.
πŸ‘©πŸ»β€πŸŒΎ: Hehehe, misalnya?
πŸ‘©β€πŸ’Ό: Misal, waktu habis SLC tadi kita cek nilaimu di term 2 yang lalu. Sempat sesak napas lihat angkanya, nggak kebayang karena sebelumnya nggak ada angka-angka jenis itu dalam kamus mama. Kita terbiasa dengan tebaran angka-angka tinggi selama ini.
πŸ‘©πŸ»β€πŸŒΎ: Hihihi, I knew it.. Sempat kuatir Mamski mau marah. Tapi ternyata enggak..😁
πŸ‘©β€πŸ’Ό: Pengen sih ngomel, tapi trus kubatalkan. Baik kan mama?Β πŸ˜„
πŸ‘©πŸ»β€πŸŒΎ: Iya, Mamski baaiiik.. Tapi yang di dalam report itu term 2 kok, Mam. Yang semester lalu.
πŸ‘©β€πŸ’Ό: Iya tahu, kita sudah mendiskusikan sebabnya, dan kamu sudah memperbaiki sejumlah ‘PR’-nya di term ini. I appreciate that. Tapi di sisi lain, mama juga jadi merenung ulang. Apa sih maknanya angka? Kita mungkin selama ini sudah terbawa mindset untuk selalu mengejar 8-10. Angkanya yang dikejar, sehingga kalau dapat di bawahnya, banyak sekolah bergegas membuat remidi. Ujian ulang memperbaiki nilai agar rerata nilai murid menjadi naik. Cuma pertanyaannya, apa cara itu lantas membuat mereka lebih paham dengan yang dipelajari? Lebih mahir menguasai skill tertentu?
πŸ‘©πŸ»β€πŸŒΎ: Menurutku enggak..
πŸ‘©β€πŸ’Ό: Yap. Mereka belajar menandai jawaban soal. Tapi apakah benar-benar memahami dan terampil dengan ilmunya, itu tanda tanya besar. Kenyataanya begitu banyak anak yang nilainya di atas kertas tinggi, tapi tidak bisa menjelaskan apa yang sudah dipelajari. Bahkan tidak jarang pengetahuannya menguap begitu saja tidak lama setelah nilai dicapai.
πŸ‘©πŸ»β€πŸŒΎ: Iya. Kayaknya aku dulu juga gitu.
πŸ‘©β€πŸ’Ό: Dan mama juga dulu jaman sekolah, hehehe.. Jadi terpenting sekarang proses belajarmu yang harus dioptimalkan. Dimanfaatkan betul setiap waktu belajar yang sudah terfasilitasi dengan lebih baik ini agar tidak sia-sia. Beberapa nilaimu mungkin tidak menyenangkan dilihat, tapi itu menunjukkan kondisimu senyatanya saat ini. Menandai effort-mu dalam belajar yang masih perlu diperbaiki. Jadi, perbaikilah..
πŸ‘©πŸ»β€πŸŒΎ: I will, Mam. Jadi ingat, ada temanku waktu ditanya sama anak-anak apa ayahnya marah dengan nilainya juga bilang, ayahnya nggak marah. Ayahnya cuma bilang, apapun yang dia dapat, ya itu menunjukkan seperti apa usaha belajarnya sekarang dan bagaimana masa depannya nanti.
πŸ‘©β€πŸ’Ό: Wah, bener tu! Ikut setuju. Kalau dari sekarang belajarnya asal, yang nanggung akibat di masa depan ya kalian sendiri. Trus, apa kata temanmu habis dibilang gitu sama ayahnya?
πŸ‘©πŸ»β€πŸŒΎ: Ya dia mau berusaha lebih baik, demi dirinya sendiri.
πŸ‘©β€πŸ’Ό: Keren banget. Belajar bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri. Bukan untuk sekedar mengejar nilai, tapi untuk benar-benar menguatkan kemampuan, bekal hidup kalian sendiri di masa depan nanti.

*****

1 thoughts on “Refleksi Ibu Belajar (1): Menyimak, Mencermati, Menyesuaikan

  1. Ping balik: Refleksi Ibu Belajar (2): Dialog yang Konstruktif | Wiwin Hendriani

Beri Komentar