Belum lama mendapatkan tantangan kembali untuk berbagi ilmu pada mahasiswa dari negara tetangga. Kesempatan keluar dari zona nyaman yang saya terima dengan antusias, sebab tentu akan sangat memperkaya pengalaman ketika bisa berinteraksi dan belajar bersama dengan mereka yang berbeda latar budaya, juga bahasa.
Tugas ini saya penuhi minggu lalu, di Universiti Utara Malaysia (UUM). UUM berada di Kedah, dari Kuala Lumpur masih harus disambung dengan perjalanan darat selama beberapa jam, atau dengan pesawat kurang lebih 45 menit. Saya berangkat bersama Dekan dan dua orang Wakil Dekan kami yang beragenda membicarakan pula pengembangan kerjasama antar kedua perguruan tinggi ini.
Mengajar di School of Applied Psychology, Social Work, and Policy, saya memfasilitasi mahasiswa untuk lebih jauh memahami tentang resiliensi dan mengapa kemampuan psikologis ini semakin penting dimiliki, di tengah perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat yang sedemikian pesat.
Materi tentang “Developing Resilience in Children: Challenges in Current Parenting Prectices” tersebut saya sampaikan dalam tiga bagian. Pertama, saya mengajak mahasiswa untuk menyadari dinamika sosial yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka saat ini. Saya memaparkan sejumlah data dari situs We Are Social dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menunjukkan bagaimana peningkatan aktivitas masyarakat di internet dan berbagai media sosial di dalamnya. Peningkatan signifikan terjadi setiap tahun, dengan rerata durasi waktu akses internet yang juga cenderung bertambah. Artinya, masyarakat sudah semakin lekat dengan penggunaan media berbasis teknologi. Internet sudah menjadi bagian hidup yang turut berperan besar, memberikan bemacam pengaruh terhadap perkembangan diri individu. Bisa pengaruh positif, bisa negatif.
Jika dulu orangtua, keluarga, teman sebaya dan berbagai interaksi sosial yang bersifat langsung menjadi sumber referensi utama bagi individu untuk berperilaku, sekarang segala sesuatu yang intens dan kontinu diakses melalui internet juga telah bergeser menjadi sumber referensi perilaku yang tak kalah kuat. Kondisi ini memberi tantangan yang tentu tidak mudah bagi anak maupun orangtua yang mendampingi tumbuh kembang mereka.
Menjadi sangat perlu bagi anak untuk selalu mawas dengan keragaman informasi di internet, dari yang baik hingga buruk. Sebab di dalamnya terdapat 3 tipe risiko yang bisa mereka temui setiap saat dalam aktivitas online-nya, yaitu: Content, Contact, dan Conduct.
Sebagaimana pernah juga saya sampaikan dalam tulisan terdahulu, berbagai faktor risiko dunia digital tersebut perlu seawal mungkin diantisipasi, mengingat anak adalah generasi penerus yang akan menentukan baik tidaknya kehidupan masyarakat di masa depan. Menjadi penting bagi orangtua sebagai pendidik utamanya untuk memberikan bekal yang memadai agar anak dapat memanfaatkan teknologi secara tepat.
Membekali anak dengan kemampuan dalam menilai dan memilah secara mandiri berbagai pengaruh dunia online adalah langkah mendasar yang perlu diupayakan, agar dengan bekal tersebut anak cukup memiliki kemampuan untuk membedakan respon terhadap konten-konten bermuatan positif dengan yang negatif. Menurut Byron (2008), membangun online resilience pada anak saat ini merupakan kebutuhan penting untuk dapat dilakukan dalam memperkuat kemampuan mereka mengelola berbagai risiko, disamping juga sebagai upaya untuk mereduksi aksesibilitas anak ke konten-konten yang membahayakan di berbagai jejaring online.
Pada bagian kedua dari kuliah, paparan saya lanjutkan dengan mengupas secara ringkas apa dan bagaimana online resilience tersebut, disambung dengan bagian ketiga tentang bagaimana menumbuhkannya dalam diri anak melalui pengasuhan sehari-hari. Berikut adalah sebagian dari potongan slide yang saya sampaikan.
Senang sekali rasanya dengan momen mengajar di seberang lautan ini. Mahasiswa antusias, aktif bertanya dan membagikan refleksinya tentang apa yang sudah dipahami usai mengikuti perkuliahan. Dan rangkaian kuliah resiliensi ini pun saya tutup dengan memberikan tandamata buku Resiliensi Psikologis yang saya tulis tahun lalu.