Happy New Year, temans… Sudah 2014 sekarang. Waktu berlalu, masa berganti, jaman terus berubah. Dan dalam lingkup parenting, akan semakin banyak tantangan yang harus dihadapi oleh orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka.
“Anak-anak sekarang ini tambah susah diatur Mbak… Tambah aneh-aneh kelakuannya…”
“Ya memang jamannya sudah berubah Bu, trend-nya sudah lain, kalau nggak ikut gitu nanti nggak dapat teman…”
“Sudahlah Dek, timbang rame wis opo karepe ae. Jamane pancen wis berubah, jadi kita aja yang ngalah daripada pusing…”
Mungkin itu hanya gambaran kecil dari sekian banyak keluhan orangtua yang pernah saya dengar, terkait pola perilaku anak-anak saat ini. Ceritanya memang beragam, tapi sebagian besar berujung pada kalimat yang menyalahkan perubahan jaman. Jujur saya agak heran, betapa tidak berdayanya manusia jika sudah dihadapkan pada kesaktian sesuatu yang bernama ‘jaman’ ini. Padahal kalau dipikir lagi, siapa yang membuat perubahan itu? Bukankah juga manusianya? Yang membuat perubahan tayangan tv dari tahun ke tahun jelas manusia. Yang menciptakan trend fashion juga manusia. Yang menggeser Bahasa Indonesia menjadi bahasa gaul yang amburadul, manusia pula. Lalu mengapa setelah berhadapan dengan serentetan akibatnya, mereka jadi hilang kendali, terbawa arus sesuatu yang dibuat sendiri?
Dari catatan saya, dua diantara begitu banyak fenomena anak dan remaja yang semakin sering dikeluhkan oleh para orangtua adalah:
– Anak-anak yang cenderung tidak mandiri, lebih banyak tergantung bahkan sampai mereka menjadi mahasiswa, dan
– Kurangnya sopan santun
Seorang individu memunculkan pola perilaku tertentu, apalagi sampai usia menjelang dewasa pasti bukan tanpa sebab. Perilaku terbentuk karena proses belajar, baik disadari maupun tidak. Dan dalam proses belajar tersebut, banyak pihak ikut berperan menentukan hasilnya. Memang tak hanya orangtua. Tapi sebagai orang yang terdekat dengan anak, sebagai pendidik utama anak, sikap dan perilaku orangtua akan memberi pengaruh yang paling besar dibandingkan yang lain. Mekanisme support dan kontrol orangtualah yang pada akhirnya akan dapat mendorong terbentuknya perilaku yang diinginkan sekaligus mengendalikan munculnya perilaku yang tidak diharapkan. Dengan kata lain, pengasuhan orangtua yang efektif tetaplah tameng yang dapat melindungi anak dari berbagai pengaruh lingkungan, sehingga tidak terjebak pada pola perkembangan yang negatif. Hanya saja, tidak semua orangtua menyadari akan hal ini. Bukannya memberi kontrol, tanpa sadar mereka justru memfasilitasi dan bahkan memberi contoh pada anak untuk ikut menjadi korban tren. Ada pula orangtua yang sudah tampak memiliki kesadaran, namun tidak mengimbanginya dengan langkah-langkah pengasuhan yang tepat.
Sekarang mari kita tengok keduanya satu per satu. Pertama, tentang anak/remaja yang tidak mandiri, banyak mengandalkan bantuan orang lain dalam menyelesaikan sesuatu, tidak berani mengambil keputusan sendiri, sedikit-sedikit orangtua, dsb. Pada sejumlah kasus yang saya temui, entah kebetulan atau tidak, anak-anak tersebut memiliki orangtua yang ‘ndilalah’ kok ya tidak tegaan. Misalnya:
– Tidak tega mengganggu belajar anak sehingga memutuskan untuk membebaskannya dari segala tugas rumah,
– Tidak tega jika anak mendapatkan nilai jelek di sekolah akhirnya membuat orangtua memilih untuk membantu, bahkan mengambil alih penyelesaian tugas-tugas sekolah yang seharusnya bisa dikerjakan sendiri oleh anak,
– Tidak tega melihat anak kerepotan, sejumlah orangtua turun tangan memasak dan membersihkan tenda anak-anak SMP-nya yang sedang kemah pramuka, seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan saya terdahulu.
Data lain, kalau saya amati, setiap kali ada ujian masuk perguruan tinggi, semakin banyak orangtua yang ikut datang ke tempat ujian dan menunggui anaknya dengan wajah harap-harap cemas, penuh kekhawatiran. Sangat berbeda dengan saat awal saya masuk S1 dulu, apalagi tahun-tahun sebelumnya. Satu lagi, tidak hanya satu-dua kali saya menyaksikan di beberapa tempat, ada orangtua yang sangat rajin memprotes kebijakan sekolah atau guru (di luar urusan keuangan) hanya karena tidak memperlakukan atau menempatkan anak seperti yang mereka kehendaki. Kalau hanya pada kejadian tertentu yang secara objektif memang beralasan, sebenarnya tidak apa-apa. Tapi kalau sangat sering, sedikit-sedikit protes, menurut saya justru bisa memberi pelajaran yang tidak baik juga untuk anak. Nah, jika memperhatikan kecenderungan perilaku orangtua seperti yang saya ceritakan, maka menjadi wajar apabila anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak mandiri dan manja.
Kedua, soal kurangnya sopan santun. Ini tentang semakin berkurangnya kemampuan anak untuk paham dan dapat menempatkan diri di berbagai lingkungan dan situasi sosial. Nggak usah orangtua atau guru, saya saja sering geleng-geleng melihat perilaku sejumlah mahasiswa di kampus, yang hanya menyapa dosen ketika ada mau tapi melengos buang muka saat papasan jalan, bahkan ketika masih berada di area kampus. Entah sudah berapa kali juga saya menerima sms dari mahasiswa yang menanyakan sesuatu dengan kalimat yang wow (bernada perintah atau sangat bossy), dengan huruf besar-besar, plus lebay penggunaan tanda baca seperti ini: “?????!!!!!!!!”
Well, mampu memilih kata-kata yang sopan saat berbicara maupun menulis sms dengan orang yang lebih tua, bisa mengontrol diri seperti apa harus berperilaku ketika berhadapan dengan orang-orang dan lingkungan yang berlainan adalah hal-hal yang semakin hariย semakinย terasa mahal. Bahkan untuk sekedar tersenyum saja banyak yang tampak kesulitan. Serius! Saya sering geli sendiri melihatnya. Mungkin karena saking beratnya beban hidup yang harus mereka tanggung ya, jadi berefek ke tingkat kekakuan wajah. Mungkin juga karena orangtuanya tipe yang susah senyum, jadi kemudian tanpa sadar mereka contoh hehehe… Kasihan juga… ๐ Padahal seingat saya, hal-hal itu bukan sebatas budaya. Agama pun mengajarkannya sebagai bagian dari adab berperilaku yang baik.
Menariknya, pada sekian banyak kesempatan saya juga melihat orangtua sekarang cenderung mengabaikan tentang muatan adab ini saat mendidik anak-anaknya di rumah. Tak semua dari mereka peduli untuk mengingatkan dan mengajarkan tentang etika pada anak sedari kecil. Bab ini dianggap tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan persoalan akademik (urusan sekolah dan nilai ujian) atau hal-hal lain yang dipandang lebih berbau prestis. Saat mengajar di sebuah kelas saya pernah iseng bertanya pada mahasiswa tentang apa yang umumnya lebih dipedulikan oleh orangtua sejak mereka kecil. Jawaban terbanyak adalah rapor dan les. Saat saya tanya tentang sejauh mana orangtua mendidik hal-hal yang terkait sopan santun dan tata krama, hanya segelintir dari sekian puluh orang di kelas saat survey itu yang bisa menjelaskan dari pengalamannya. Selebihnya hanya diam, senyum-senyum, atau bahkan menggeleng. Jadi… akhirnya tidak aneh jika kemudian banyak anak dan remaja yang tumbuh dengan tidak peka etika ketika orangtuanya memang tidak mementingkan hal tersebut dalam pengasuhannya.
Sampai di sini saya ingin menggarisbawahi bahwa bagaimanapun kondisi anak, seperti apapun perubahan perilaku mereka, pada dasarnya orangtua juga ikut terlibat dalam membentuknya. Keterlibatan yang dimaksud baik berupa minimnya stimulasi perilaku positif sehingga perilaku negatiflah yang kemudian lebih berkembang, mengabaikan saat benih perilaku negatif mulai muncul, atau bahkan tanpa sadar justru memberikan contoh perilaku negatif pada anak. Karena itu, tak perlu menyalahkan jaman karena kitalah yang memfasilitasi anak-anak menjadi seperti sekarang. Jika tak ingin ini berlarut dan semakin menjadi, mari berusaha menjadi orangtua yang lebih baik ๐
lingkungan lebih terlibat dalam hal ini untuk membentuk karakter.
๐
Iya, saya meyakini demikian, tanpa mengabaikan adanya peran ‘nature’ atau faktor-faktor bawaan dalam perkembangan manusia. Ibarat tanaman, sebaik apapun benih, jika tidak dirawat dengan tepat, hasilnya juga pasti tidak akan optimal: Mungkin tidak berbuah, atau mungkin tetap berbuah tapi cepat rontok, mungkin berbuah tapi tidak semanis yang seharusnya, dsb ๐
bisa, tinggal tabur gula aja yg banyak.
๐
Boleh… lalu dikasih tepung, tambah telor, garam sedikit, goreng… jadi deh kue dadar ๐
Assalamualaikum Ibu, saya gk sengaja kesasar ke Blog ini. setelah melihat tulisan ibu, saya suka..menginspirasi..sekaligus “menyadarkan” bhw sbg orgtua (saya:dari 2 org anak) tidak semestinya “menyalahkan” dan sebaiknya banyak introspeksi…oh iya Ibu, mhn ijin utk membaca tulisan ibu yg lain. trimakasih.
Selama ini memang kita harus mengakui bahwa mungkin karena terlalu sayangnya kita kepada mereka, adanya kekhawatiran yang berlebihan, ketakutan yang tidak beralasan sehingga terkadang cara mendidik kita ternyata salah atau kurang tepat, cara kita bukannya mendidik akan tetapi menurunkan segala potensi kemandirian dan kegigihan mereka dalam berbuat dan berkreasi, opini yang bagus bu! sukses selalu buat orangtua!
Betul Pak Andi. Dan karena itulah kadang kita perlu menyisihkan waktu untuk merefleksikan kembali apakah cara-cara pengasuhan kita selama ini sudah tepat, atau ada yang perlu untuk diperbaiki. Matur nuwun Pak..
Wa’alaikumsalam… Terima kasih kembali Pak Seno. Monggo silakan, dengan senang hati Pak… ๐
Ping balik: Berbagi Materi dari Seminar Nasional “Perempuan Pilar Peradaban Bangsa” | Wiwin Hendriani
Ping balik: Menumbuhkan Resiliensi Generasi Z (Materi Seminar Nasional Pascasarjana 2018) | Wiwin Hendriani