Suatu siang ketika makan bersama suami dan Damai di sebuah pusat perbelanjaan, kami duduk bersebelahan meja dengan sebuah keluarga lain yang juga tengah makan bersama dengan anak mereka yang usianya masih lebih muda dari Damai. Kedua orangtua itu begitu asik menikmati makanan yang dipesannya dan hanya sesekali menengok anak mereka yang merengek minta ini-itu pada baby sitter-nya. Di sela-sela makan si ibu justru sibuk dengan telepon genggamnya daripada meluangkan waktu untuk mengurus anak, kecuali hanya memberikan instruksi-instruksi tertentu pada baby sitter, bahkan tanpa sekalipun mengajak bicara anaknya! Lalu bagaimana dengan sikap suami? Ternyata tidak jauh beda dengan istrinya, sibuk dengan ‘BB’.
Cerita lain yang juga sering saya dengar adalah pengalaman ibu-ibu bekerja, teman-teman, saudara atau tetangga di kompleks yang anaknya juga lebih dekat dengan pengasuhnya. Bahkan ada yang ekstrim, dengan ibu sendiri justru merespon seperti sedang berhadapan dengan orang asing. Menolak ketika didekati, tetap mencari pengasuh atau figur lekatnya yang lain, dan sebagainya.
Saya juga seorang ibu yang bekerja. Sekian banyak waktu juga saya habiskan tidak bersama Damai. Tapi kapanpun saya selalu mengingatkan diri sendiri tentang kewajiban yang lebih besar terhadap anak, sehingga sesibuk apapun dengan pekerjaan, saya harus bisa membagi waktu dan perhatian secara adil kepadanya. Terlebih di sisi lain, saya juga tidak rela jika anak yang dengan bertaruh nyawa sudah saya lahirkan justru lebih dekat dengan orang lain. Rasanya aneh, dan sangat tidak nyaman.
Saya sadar betul, di tengah waktu saya yang tidak penuh bersama anak, saya harus berkompetisi dengan perhatian orang-orang lain yang juga menyayangi anak saya, seperti neneknya, budhenya, dan bahkan pembantu saya dulu, yang menemani anak saya di saat-saat saya tidak ada. Tapi saya yakin, ikatan batin antara ibu dan anak tidak akan bisa tergantikan oleh siapapun, asalkan kita mau berusaha memeliharanya. Karena itu, saya berusaha mendisiplinkan diri agar ketika saya sedang bersama Damai, maka perhatian dan waktu saya harus semaksimal mungkin saya berikan kepadanya. Dengan begitu, meski secara kuantitas saya memiliki kekurangan, namun secara kualitas, interaksi kami tetap terjaga dengan baik. Dan yang lebih penting, saya bisa membangun kepercayaan dalam diri anak saya, bahwa saya tetaplah ibu yang menyayanginya, yang akan selalu melakukan yang terbaik untuknya, sekalipun tidak setiap waktu saya selalu bersamanya.
Saya berusaha sebisa mungkin agar segala urusan kampus saya selesaikan di kampus, sehingga ketika di rumah, waktu saya bersama Damai tidak terlalu banyak terganggu. Bukan hal yang mudah memang. Tapi saya tidak mau menyerah. Sekalipun pulang kampus sangat capek, apalagi dengan perjalanan yang cukup jauh (Surabaya-Sidoarjo) setiap hari, saya tetap berusaha mengurus keperluan Damai sendiri, seperti memandikan saat ia masih belum mampu melakukannya sendiri, menyiapkan makan, menemaninya bermain, belajar, atau mengaji, meskipun saat itu mungkin masih ada pembantu yang bisa saja saya mintai tolong untuk menggantikan.
Seperti yang kita tahu, anak akan memunculkan respon-respon perilaku sesuai dengan stimulus yang diterimanya dari lingkungan. Ketika ia mengetahui ibunya sudah ada di rumah, tapi tak kunjung memberikan perhatian yang diharapkannya, dan bahkan tetap pembantulah yang datang untuk mengurus dan menemani, maka tidak salah jika kemudian anak berpikir bahwa ibunya lebih sayang pada pekerjaan daripada dirinya. Apalagi jika saat di rumah, dibanding dengan memperhatikan dan memberikan apresiasi terhadap perilaku positifnya, si ibu justru lebih banyak marah atau menyoroti tentang hal-hal negatif yang muncul. Bayangkan, sudah waktu di rumah terbatas, saat ada pun malah lebih banyak digunakan untuk marah-marah atau ‘mengomel’.
Wah……, kasihan sekali anak saya jika harus mengalaminya. Saya ingin anak saya selalu bahagia dan berpikiran positif terhadap orangtuanya. Bukan semata-mata karena penjelasan-penjelasan yang kami berikan atas tugas-tugas pekerjaan kami yang menyita waktu, tetapi lebih karena ia melihat secara langsung dari perilaku kami, tentang bagaimana komitmen kami sebagai orangtuanya, yang meskipun dalam waktu terbatas tetap memberikan perhatian yang ia butuhkan, dan memenuhi setiap peran serta tanggung jawab kami sebagai orangtua, seperti yang memang seharusnya kami lakukan.
Tantangan untuk para ibu yang bekerja tentunya. Tapi jika kita selalu ingat bahwa anak adalah amanah Tuhan yang tidak semua orang beruntung mendapatkannya, semestinya hal ini akan selalu bisa diupayakan 🙂
Ping balik: Upaya Menjadi Sosok Ibu yang Tangguh | Wiwin Hendriani