Resiliensi dalam Situasi Krisis (3): Tanya-Jawab Seputar Tantangan
 Menuju Resilien di Masa Pandemi

Berbagi secara ringkas pemahaman tentang Resiliensi dalam Situasi Krisis kali ini adalah bagian ketiga, setelah terdahulu diuraikan tentang bagaimana menguatkan ketangguhan personal di bagian pertama, dan ketangguhan keluarga di bagian kedua.

Dalam perjalanan menuju pribadi maupun keluarga yang resilien, kita kerap dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah untuk diatasi, yakni mengelola naik-turunnya emosi diri sendiri. Ada cukup banyak pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh rekan terkait ini, terlebih dalam konteks pandemi seperti saat ini.

Mengingat situasi yang ada dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sedikit dari kita yang juga mengalami, maka saya coba tuliskan beberapa diantaranya untuk dapat dijadikan sebagai sarana belajar bagi lebih banyak rekan yang lain.

(1) Bagaimana mampu mencapai ketangguhan sementara rasanya persoalan dan kekhawatiran yang muncul di masa pandemi ini begitu banyaknya?

  • Dalam situasi yang berpeluang memunculkan banyak kecemasan, kekhawatiran, penting untuk mengidentifikasi, diantara sekian banyak hal yang menjadi ganjalan, mana yang sebenarnya paling mengkhawatirkan, paling urgen untuk segera diatasi. Sebab seringkali problem terasa sulit terselesaikan, seolah buntu mencari solusinya, karena kondisinya tercampur aduk.
  • Maka, cobalah membuat daftar prioritas dari yang paling mendesak ke yang paling bisa ditunda, untuk kemudian diurai dan dicari solusinya satu per satu, berikut pengaturan waktunya. Jadi, di tengah banyaknya kekhawatiran, diurai dulu apa saja tumpukan kekhawatirannya, jangan biarkan menjadi benang kusut. Dengan begitu akan lebih mudah untuk kemudian menyelesaikannya.

(2) Bagaimana menumbuhkan resiliensi keluarga sementara keluarga sendiri dalam kondisi tidak harmonis?

  • Pertama, rasanya semua orang tentu menginginkan bahwa keluarga selalu berada dalam kondisi positif selama masa pandemi ini. Namun sepositif apa, seharmonis apa nantinya bisa diupayakan, tentu juga tidak bisa mengabaikan kondisi sebelumnya. Jika di awalnya sudah tidak baik, tentu hasilnya juga akan sulit jika diharapkan dapat berbalik 180 derajat. Setidaknya yang penting dilakukan adalah mengupayakan untuk lebih baik dari sebelumnya.
  • Kedua, sadari bahwa ini memang proses yang menantang, membutuhkan komitmen untuk mengusahakannya, perlu waktu dan tidak bisa instan. Pada banyak kasus, ketika sama-sama menyadari adanya ancaman eksternal dari luar keluarga, umumnya konflik antar pihak internal dalam keluarga bisa ditangguhkan, disisihkan lebih dulu. Nah peluang ini dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk membangun kerjasama dan komunikasi yang lebih baik, agar perlahan resiliensi/ketangguhan dapat ditingkatkan.
  • Tentu harus ada salah satu dari anggota keluarga yang mau mengawali. Entah dimulai dari siapa, harus ada yang menjadi penggerak, mengajak anggota keluarga yang lain untuk sejenak menyisihkan dulu perselisihan yang mungkin terjadi, lalu fokus bersama-sama menciptakan suasana rumah yang nyaman selama masa pandemi ini. Sambil berharap dan terus mengupayakan agar pola baiknya terus bertahan di waktu-waktu berikutnya.

(3) Bagaimana meminimalisir konflik antara laki-laki dan perempuan dalam merespon pandemi yang sedang terjadi?

  • Jika ini bermula dari adanya sikap yang menyepelekan berbagai himbauan untuk menjaga diri, umumnya orang berpikir menyepelekan sesuatu karena kurang menyadari bahwa dampak dari perilakunya juga akan sampai pada orang lain. Mereka beranggapan perilaku cerobohnya tidak akan terlalu berefek, atau hanya akan berefek diri sendiri. Mengatasinya, memang perlu penyadaran bahwa hal tersebut keliru. Pihak yang lain perlu mencoba untuk mengajak bicara kembali tentang efek-efek perilaku yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Nah, untuk melakukan ini, perlu juga dengan mempertimbangkan perbedaan mendasar dari gaya komunikasi laki-laki dengan perempuan.
  • Umumnya laki-laki lebih mengedepankan rasio, perlu data-data, sementara perempuan kerap melibatkan unsur emosi. Maka jika posisinya sebagai perempuan, dalam berkomunikasi dengan lawan bicara yang berbeda jenis akan lebih baik jika juga mengedepankan hal-hal konkrit, penjelasan logis, berikut data-data yang membantu pesan untuk lebih mudah diterima.

(4) Bagaimana mengajak lansia untuk ikut patuh memperbaiki perilaku sehatnya?

  • Pertama kita pahami dulu karakter lansia. Beliau-beliau di tahap perkembangannya ini adalah sosok-sosok dengan pengalaman hidup yang sudah panjang, sehingga menjadi wajar jika kemudian tanpa disadari merasa lebih tahu daripada yang muda. Kadang bahkan tidak bisa menerima ketika diingatkan, atau diberitahu. “Ah, anak kecil, pengalaman masih sedikit…” dsb, mungkin begitu yang ada di benak para lansia.
  • Jika sudah memahami karakter khas lansia ini, maka, kalau akan memberikan informasi tertentu, atau menghimbau tertentu, hindari melakukan dengan bahasa yang menggurui, mengoreksi, apalagi menyalahkan. Kalimat-kalimat seperti itu akan sulit diterima, apalagi jika yang menyampaikan adalah anak/cucu sendiri. Akan lebih mudah misalnya dengan sedikit berputar, berkomunikasi menggunakan analogi sosok-sosok yang setara pengalaman dengan beliau.
  • Misal, memberitahu dengan mencontohkan bahwa Bpk/Ibu yang lain (mungkin tetangga/saudara/kenalan/siapapun yang sama-sama sudah sepuh) juga melakukan hal yang diminta, demi kebaikan dan kesehatan semua. Jadi apa yang kita harapkan beliau lakukan, sampaikan bahwa itu juga dilakukan oleh lansia yang lain demi tujuan kebaikan.
  • Alternatif cara lainnya, coba mengingatkan atau mengajak beliau-beliau melakukan sesuatu dengan penekanan alasan demi kebaikan cucu. Sebab cucu adalah kata kunci penting bagi banyak lansia.

(5) Bagaimana cara mengatasi diri yang ingin resilien namun rasanya sulit sekali?

  • Waspadai pikiran Anda. Pola pikir kita sangat menentukan bagimana emosi kita, yang berujung pada bagaimana perilaku kita kemudian. Mengapa sulit mengatasi diri sendiri, biasanya ini karena masih banyaknya pikiran negatif yang tanpa sengaja kita pertahankan. Pikiran-pikiran ini tanpa disadari lalu menghalangi kita untuk berusaha. Sebagai contoh, berbagai kekhawatiran, bayangan-bayangan tidak menyenangkan yang ada di kepala seperti kegagalan, kesia-siaan, bahwa usaha yang akan dilakukan itu terlalu berat dan tidak mungkin akan berhasil, dsb. Pikiran-pikiran yang sedemikian harus diatasi, disingkirkan lebih dahulu.
  • Kemudian, coba untuk melakukan beberapa hal ini:

1. Self-talk dan refleksi positif, mulai dengan banyak mengapresiasi diri dan sekitar, mencari hal-hal baik yang ada di sekeliling untuk mengurai kebiasaan untuk lebih banyak melihat yang bermasalah

2.Membangun sugesti positif dalam diri, misal, bahwa tidak apa sesekali keliru, tidak apa tidak sebaik orang lain, tidak apa sebagai manusia mengalami persoalan, dsb, tergantung konteks situasi yang sedang dihadapi.

3.Memotivasi dan meyakinkan diri dengan lebih banyak mengingat contoh dan inspirasi baik dari sekitar, inspirasi yang dilakukan atau dialami oleh orang lain yang kondisinya lebih sulit dari kita tapi mampu lebih mensyukuri keadaan.

4.Melakukan relaksasi untuk meredakan tekanan emosi.

5.Melatih emosi-emosi positif dengan mencari sisi baik dari situasi yang dihadapi.

(6) Bagaimana mengatasi kejenuhan, bosan yang dirasakan anak selama di rumah, karena aktifitas mereka hanya sekitar gadget, tv dan mengerjakan tugas-tugas sekolah yang menumpuk?

  • Mengatasi hal tersebut, penting dilakukan dengan membuat variasi aktivitas. Banyak kekeliruan di masa SFH terjadi karena guru maupun ortu berpikir bahwa dominasi aktivitas harus pada kegiatan daring, padahal tidak. Kadang memang ada kasus sekolah yang kurang tepat dalam memberikan penugasan dan monoton hanya tugas-tugas yang menghendaki aktivitas dengan gadget.
  • Nah, fungsi orangtua di sini membantu menyeimbangkan. Penting untuk tahu apa saja tugas-tugas anak, lalu melihat porsi alokasi waktunya, dan mencoba mengajak anak melakukan aktivitas lain di waktu-waktu tertentu di sela aktivitas belajar online-nya. Hal ini bisa didiskusikan dan disepakati bersama agar anak juga terlibat dalam mengambil keputusan dan kemudian belajar bertanggung jawab. Kalau anak masih usia pra sekolah, orangtua bisa lebih leluasa membantu untuk mengatur jadwal sehingga lebih imbang. Sementara jika anak sudah lebih besar, mereka dapat diajak berdiskusi untuk menstimulasi anak mandiri dalam mengelola waktu dan aktivitasnya, sehingga tidak monoton dan membosankan.

*****

Iklan

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s