Memahami Benang Merah Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) dan Resiliensi

Berjeda sejenak dari rangkaian video webinar, dalam unggahan kali ini ingin membagikan satu tulisan bersama salah seorang kolega, yang pernah bekerjasama menjadi pembicara di Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas PGRI Semarang tahun lalu. Catatan mengenai kegiatannya serta materi yang saya sampaikan dapat diakses dalam tulisan: Menumbuhkan Resiliensi Remaja di Era Digital: Peran Praktisi Bimbingan dan Konseling (silakan di-klik).

Ringkas kata, kami menindaklanjuti kerjasama penyampaian materi dalam seminar nasional tersebut dengan menuliskan benang merah antara SFBC dan Resiliensi, untuk membantu para peneliti khususnya peneliti pemula mendapatkan dasar pijakan mengapa SFBC tepat digunakan sebagai pendekatan untuk menumbuhkan resiliensi individu pascatrauma. Dalam artikel telaah literatur yang kami tulis dan publikasikan di Islamic Guidance and Counseling Journal (sila klik untuk mengunduh versi pdf dari artikel ini), terdapat pokok-pokok kesesuaian yang menegaskan relevansi penggunaan SFBC dalam pemulihan psikologis setelah individu mengalami situasi menekan.

Telaah ini sedikit banyak menguatkan landasan teoritik bagi penerapan SFBC dalam upaya meningkatkan resiliensi individu di berbagai konteks persoalan, termasuk pada lingkup yang lebih spesifik seperti resiliensi online (online resilience), resiliensi di tempat kerja (workplace resilience), resiliensi akademik (academic resilience), resiliensi orangtua (parental resilience), resiliensi keluarga (family resilience) dan sebagainya.

Baca lebih lanjut

Iklan

Resiliensi dalam Situasi Krisis (3): Tanya-Jawab Seputar Tantangan
 Menuju Resilien di Masa Pandemi

Berbagi secara ringkas pemahaman tentang Resiliensi dalam Situasi Krisis kali ini adalah bagian ketiga, setelah terdahulu diuraikan tentang bagaimana menguatkan ketangguhan personal di bagian pertama, dan ketangguhan keluarga di bagian kedua.

Dalam perjalanan menuju pribadi maupun keluarga yang resilien, kita kerap dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah untuk diatasi, yakni mengelola naik-turunnya emosi diri sendiri. Ada cukup banyak pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh rekan terkait ini, terlebih dalam konteks pandemi seperti saat ini.

Mengingat situasi yang ada dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sedikit dari kita yang juga mengalami, maka saya coba tuliskan beberapa diantaranya untuk dapat dijadikan sebagai sarana belajar bagi lebih banyak rekan yang lain.

Baca lebih lanjut

Resiliensi dalam Situasi Krisis (2): Menguatkan Ketangguhan Keluarga

Melanjutkan bagian pertama yang telah ringkas memberi catatan tentang bagaimana menguatkan resiliensi individual, maka di tulisan kali ini fokus penjelasan adalah pada bagaimana menguatkan ketangguhan keluarga di tengah situasi krisis seperti masa pandemi sekarang. Materi ini sekaligus sebagai bahan bacaan awal yang akan diperdalam kupasannya saat seminar daring Kesehatan Mental Keluarga, yang akan dilaksanakan lusa (Jumat/17 April 2020) sebagai bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Dies Natalis Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang ke-37.

Baca lebih lanjut

Resiliensi dalam Situasi Krisis (1): Menguatkan Ketangguhan Personal

Kembali membagikan isi pikiran tentang ketangguhan psikologis ini secara ringkas, senyampang tepat sesuai kondisi saat ini dimana masyarakat tengah dihadapkan pada situasi krisis akibat pandemi. Mudah-mudahan meski terambil dari ppt yang sudah lama dibuat, namun kontennya masih tetap bisa memberikan manfaat.

Baca lebih lanjut

“Ibu Ingin Pulih Kan?” (Catatan Mendampinginya Berjuang Menuju Sembuh)

Boleh dibilang tahun ini adalah tahun yang penuh warna buat saya. Tahun yang meriah dengan segala kesempatan untuk merasakan pengalaman-pengalaman baru yang menyenangkan (akan saya tulis bagian menyenangkan ini dalam catatan penutup tahun), sekaligus di sisi lain merasakan berbagai tantangan hidup yang dengan tegas saya katakan “tidak mudah”. Salah satunya yang akan saya ceritakan di sini, tentang bagaimana mendampingi Ibu yang atas kehendak Allah harus teruji dengan kanker.

Ya, Ibu saya di luar dugaan dinyatakan mengalami kanker payudara, yang membawanya harus menjalani serangkaian treatment medis yang berat di usia lanjutnya ini, mengingat Ibu sudah lebih dari 70 tahun. Diawali dengan operasi, lalu disambung kemoterapi sebanyak 6 kali, dengan serentetan tahap pemeriksaan berulang diantara waktu-waktu treatment tersebut yang membuatnya harus bolak-balik pergi ke lab dan rumah sakit. Melelahkan sudah tentu buat Ibu, baik fisik maupun psikis. Hingga hari ini, kemo Ibu sudah berjalan 4 kali. So, two more to go!

Baca lebih lanjut

Menumbuhkan Resiliensi Generasi Z (Materi Seminar Nasional Pascasarjana 2018)

Jumat, 23 Maret 2018, kali kedua dipercaya untuk kembali menjadi salah satu pemateri dalam Seminar Nasional Pascasarjana yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Psikologi UGM. Bahagia dan bersyukur sudah tentu. Bisa kembali pulang ke ‘rumah’ yang memberi saya pondasi ilmu psikologi, berbagi sekaligus mengulang momen belajar bersama para guru yang sungguh saya teladani.

Baca lebih lanjut

Tanya-Jawab Singkat Seputar Resiliensi

Selama beberapa waktu baik melalui blog ini maupun email, saya menerima cukup banyak pertanyaan dari rekan mahasiswa S1-S3 yang bermaksud memperjelas pemahaman tentang seluk-beluk resiliensi. Melihat adanya sejumlah pertanyaan yang berulang antar waktu, maka saya terpikir untuk merangkum beberapa rekaman tanya-jawab tersebut untuk membantu rekan-rekan lain yang mungkin masih membutuhkan informasinya.

Tanya: Bisakah kita meneliti resiliensi pada persoalan X / Y / Z?
Jawab: Mengacu penjelasan dari Cicchetti & Rogosh (1997), setidaknya ada dua komponen yang harus ada untuk memastikan bahwa kita bisa meneliti tentang resiliensi di dalamnya, yaitu: (1) Adanya stresor/adversity yang signifikan (hal-hal/kondisi yang mendatangkan kesulitan dan tekanan yang cukup berat), dan (2) Adanya adaptasi positif yang mampu dimunculkan individu terhadap stresor/adversity tersebut. Melengkapi pernyataan Cicchetti & Rogosch, beberapa ahli lain (Werner, 1995; Luthar, 2000; Rutter, 2005, dsb) telah memperjelas pula bahwa stres atau adversity yang ditimbulkan oleh berbagai situasi tidak menyenangkan harus dalam taraf yang berat, mencerminkan kesulitan yang substansial dan berisiko tinggi, atau berpotensi memunculkan krisis yang berkepanjangan. Jadi bukan persoalan-persoalan kecil/sehari-hari yang memang mengganggu tapi relatif mudah untuk diselesaikan.
Nah, alangkah baiknya sebelum memutuskan untuk mengidentifikasi lebih dahulu, apakah pada topik X/Y/Z yang akan diteliti kedua komponen yang disebutkan oleh Cicchetti & Rogosh memang ada di dalamnya?
Pastikan terlebih dahulu apakah sebenarnya yang menjadi stresor/adversity signifikan dalam persoalan tersebut, dan bahwa kesulitan yang ada di dalamnya memang kesulitan-kesulitan yang substansial, sangat berat, dan tidak mudah diatasi oleh individu.

Tanya: Apa beda mendasar antara resiliensi keluarga dengan resiliensi individu?
Jawab: Tentang resiliensi keluarga, sepanjang pemahaman saya letak beda mendasarnya dengan resiliensi individu adalah karena di dalam keluarga terdapat sejumlah individu yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Mereka adalah orang-orang dengan karakter beragam, dan tidak selalu seluruhnya tangguh menghadapi beban persoalan yang signifikan. Resiliensi keluarga ditentukan oleh interaksi antar individu tersebut. Bagaimana antar mereka yang berbeda karakter dapat menemukan satu koping dan adaptasi yang saling menguatkan. Karena itulah modelnya menjadi lebih rumit, tidak seperti resiliensi individu. Baca lebih lanjut

Resiliensi, Perspektif Life Span, dan Peluang dalam Penelitian (Materi dalam Seminar Nasional Pascasarjana)

Sabtu, 26 November 2016. Satu lagi proses belajar telah dilalui, kali ini sebagai narasumber dalam Seminar Nasional Pascasarjana yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Psikologi Universitas Gadjah Mada. Ini pengalaman yang sangat berkesan bagi saya karena bisa ‘pulang’ ke rumah, melakukan sesuatu untuk fakultas yang sekian tahun lamanya menjadi tempat saya menimba ilmu semasa S1-S2 dulu.

img_7964 Baca lebih lanjut

Resiliensi Anak Berkebutuhan Khusus

Membaca judul ini mungkin agak terasa aneh. Sebagaimana pernah saya kutipkan dalam posting terdahulu, resiliensi adalah koping efektif dan adaptasi positif terhadap kesulitan dan tekanan (Lazarus, 1993). Individu yang resilien akan menunjukkan kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami (Masten dan Coatsworth, 1998). Lalu bisakah seorang anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan dalam perkembangannya dibantu untuk mampu menumbuhkan resiliensi? Apakah mungkin itu dilakukan? Jawab saya, mengapa tidak? Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari simak video berikut ini terlebih dahulu:

Sakti adalah salah satu dari sekian banyak anak berkebutuhan khusus yang menarik. Tak hanya terkait kemampuan seni dan ketrampilannya dalam berkomunikasi dengan orang lain, pemahaman dan penerimaannya terhadap ketunanetraan yang tersirat dari beberapa bagian penuturan adalah hal luar biasa yang mampu dimiliki oleh ABK seusianya. Ia mampu merespon dengan lugas bahwa ia memang tidak bisa melihat, dan menggambarkan bagaimana kondisi penglihatannya yang hanya bisa menangkap cahaya.

Penuturannya disampaikan dengan ceria, tanpa ekspresi yang menampakkan kesedihan maupun rendah diri. Apa yang tampak dalam diri Sakti merupakan contoh dari kapasitas anak berkebutuhan khusus untuk mampu merespon secara positif berbagai kondisi yang menimbulkan tekanan, baik yang terkait langsung dengan kekhususan yang dialami maupun hambatan sosial lain yang menyertai. Sakti menjadi bukti bahwa resiliensi dapat ditumbuhkan dalam diri anak-anak yang istimewa ini. Gambaran lain dari anak berkebutuhan khusus yang resilien juga dapat dibaca dalam tulisan 15 Stories of Resilience from Children with Disabilities. Baca lebih lanjut

Resiliency dan Resilience

Dalam sejumlah literatur, terdapat perbedaan titik penekanan dari beberapa ilmuwan dalam memandang resiliensi. Sejumlah peneliti mengasosiasikan resiliensi dengan faktor-faktor internal individu yang bersifat bawaan. Beberapa peneliti yang lain lebih memandang resiliensi sebagai suatu proses yang dapat dilalui oleh siapapun, yang tidak semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor bawaan, melainkan juga berbagai faktor lain yang bersifat eksternal. Baca lebih lanjut