Satu pengalaman baru yang sangat berkesan belum lama terlewati. Pengalaman pertama kalinya Damai mengikuti World Scholar’s Cup (WSC) untuk Surabaya Regional Round.
WSC adalah sebuah ajang kompetisi akademik tingkat internasional yang diselenggarakan oleh DemiDec, berpusat di Los Angeles Amerika Serikat. Sebuah proses belajar melalui rangkaian aktivitas debat, tes dan kuis, unjuk bakat, berbagai permainan, serta kompetisi menulis individual maupun kolaboratif bersama tim, yang terdiri dari siswa-siswi sekolah menengah pertama dan atas. Melalui berbagai aktivitas tersebut WSC berfokus untuk membawa para pelajar dari berbagai budaya yang berbeda untuk bersama-sama mendiskusikan isu-isu dan ide-ide yang relevan untuk kondisi masyarakat saat ini.
Para peserta WSC saling berinteraksi dengan ribuan pelajar yang lain, dari beragam budaya dan latar belakang. Pada dasarnya rangkaian kegiatan dalam WSC tidak hanya menekankan pada aspek akademis, melainkan juga pada aktivitas-aktivitas lain yang menyenangkan dan memperkaya pengalaman. Apabila peserta dinyatakan lolos kualifikasi di tahap regional round, maka mereka dapat melanjutkan ke global round. Dan apabila kembali lolos di global round tersebut, maka peserta akan masuk ke Tournament of Champions yang dilaksanakan di Yale University.
Di pengalaman pertamanya ikut World Scholar’s Cup ini, capaian belajar Damai cukup baik. Di luar dugaan, dia mampu memperoleh 4 silver medals untuk team writing, champion scholar, individual speaker in debate champion, dan champion team; serta 3 gold medals untuk team bowl, challenge subjects award in science, and individual writing champion. Dengan hasil tersebut, Damai lolos kualifikasi untuk masuk ke global round.
Bersyukur sudah tentu. Apalagi ketika mengingat Damai belum genap satu tahun belajar di sekolah yang pengantarnya menggunakan Bahasa Inggris. Hanya dalam waktu yang relatif singkat ia mampu beradaptasi dengan bahasa tanpa bantuan les (kalau pernah membaca tulisan-tulisan saya terdahulu tentu masih ingat bahwa saya bukan penggemar les-lesan akademik). Melihatnya lancar berdebat, memberikan berbagai penjelasan dengan menggunakan Bahasa Inggris secara aktif pada WSC kemarin hingga akhirnya memperoleh tujuh medali bagi saya adalah perkembangan yang luar biasa (proud of you, Damai..).
Ingatan saya kembali pada waktu-waktu sebelum hari-H WSC Surabaya datang. Tiap malam di sela mengerjakan tugas sekolah, saya lihat Damai serius belajar untuk menyiapkan dirinya, dengan mengakses sekian banyak sumber informasi / literatur. Jam tidurnya pun bergeser semakin malam. Dia membuat berbagai macam catatan untuk membantu mengingat apa saja yang sudah dibaca dan dipelajari. Semua dilakukannya dengan inisiatif sendiri, tanpa harus menunggu saya arahkan. Dia tahu apa yang harus dilakukan, lalu berusaha melakukannya tanpa diminta.
Tarik mundur ke belakang, mungkin ini juga karena kami (saya dan suami) selalu mengajak dan membiasakan Damai untuk memiliki kesadaran akan tujuan ia melakukan sesuatu, dan bertanggung-jawab atas apapun yang dipilihnya. Semisal, ketika menyampaikan ingin mengikuti WSC, Damai harus menjelaskan terlebih dulu ke bapaknya untuk apa ia ikut, akan belajar apa di dalamnya, dan apa yang harus diupayakan untuk mencapai tujuan itu. Tidak akan diijinkan jika ia hanya sekedar mengikuti teman.
Dalam hal menjaga tujuan ini suami cukup keras memberi penekanan, sebab tidak ada kata “ikut-ikutan” dalam kamusnya. Prinsipnya, segala sesuatu harus dilakukan dengan sepenuh kesadaran, ada tujuan belajar dan manfaat yang bisa dijelaskan oleh Damai. Sejak SD pun kebiasaan berdiskusi seputar ini sudah dibangun di rumah. Apalagi sekarang saat Damai sudah ada di usia remaja, fase peralihan menuju periode dewasa yang akan semakin menekankan kemandirian dan tanggung jawab penuh.
Saya sendiri sepakat dengan ini mengingat proses mengasuh, mendampingi tumbuh kembang anak adalah tentang bagaimana membangun kebiasaan baik, menumbuhkan berbagai karakter yang positif. Dan itu butuh waktu yang panjang, bukan instan. Demi mendidik Damai agar memiliki determinasi diri, punya prinsip hidup dengan nilai-nilai yang baik, dan tidak hanya membeo pada apa yang jamak dilakukan di sekitarnya.
Jika anak tahu apa yang akan dituju, apa alasan positif dia melakukan sesuatu, maka hal ini akan menjadi pendorong untuk mau dan mampu berusaha dengan maksimal. Kalau dalam terminologi Islam, akan menjadi penggeraknya dalam berikhtiar. Itulah kenapa di berbagai urusan yang lain saya juga sesekali mengingatkannya untuk berikhtiar dengan penuh ketika memiliki keinginan tertentu. Niat dan tujuan yang sebaik apapun tidak akan pernah akan terwujud jika tidak diikhtiarkan dengan sungguh-sungguh. Ikhtiar adalah juga bentuk tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang sudah diambilnya.
“Tapi ikhtiar itu ada pasangannya: Tawakal. Keduanya harus berjalan beriringan”, kata saya pada suatu pembicaraan. Kadang hasil yang kita peroleh memang sejalan dengan besarnya ikhtiar yang sudah dilakukan. Tapi ada kalanya tanpa kita sadari, orang-orang yang lain ternyata usahanya sekian kali lebih keras dari yang kita lakukan, sehingga hasil mereka lah yang lebih baik.
Atau, mungkin juga ikhtiar kita memang sudah maksimal. Tetapi Allah punya kehendak berbeda dengan memberikan hasil yang lebih baik justru pada orang yang ikhtiarnya masih di bawah kita. Kenapa demikian? Mungkin karena Allah bermaksud agar kita belajar sesuatu yang lain. Jadi, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Karena itu mengimbangi ikhtiar dengan do’a dan tawakal atau berserah pada Allah itu amat sangat penting. Tawakal akan membantu untuk meminimalkan emosi-emosi negatif atas hasil usaha yang di luar harapan. Tawakal membantu untuk mampu bersikap sportif, pulih dari kekecewaan, dan selanjutnya tidak patah arang untuk terus berikhtiar kembali dengan gigih.
Pernahkah Damai mengalami hasil yang tidak menyenangkan dari apa yang sudah diusahakannya? Tentu pernah, beberapa kali di berbagai kegiatan. Ada banyak lomba-lomba tertentu yang dia kalah. Mengalami kegagalan waktu tampil piano juga pernah. Tapi dari sana dia belajar untuk menerima apa yang di luar harapan tersebut, lalu saya bantu untuk mengevaluasi ikhtiarnya, dan memperbaiki di kesempatan berikutnya.
Kembali ke WSC, setelah lolos ke global round ini, kami sempat bertanya lagi ke Damai, mau berangkat atau tidak. Untuk global round, peserta yang lolos dapat memilih untuk mengikutinya di salah satu dari beberapa kota/negara perwakilan penyelenggara, yakni: Beijing, Manila, Sydney, Astana, Durban, dan The Hague. Dan sesuai prediksi, dengan antusias dia menjawab “Ya”.
Bapak yang baru pulang dari Semarang ikut bersemangat menyimak cerita anaknya. Tidak berapa lama bapak pun tampak sibuk di depan deretan rak buku kami. Memilih-milih lalu menurunkan setumpuk dan menyodorkan ke Damai: “Ni, selesaikan baca ini dulu sebelum nanti berangkat ke global round. Buat tambahan bekal. Nanti kalau kurang papski pilihkan lagi yang lain..”
Saya meringis menatap Damai. Beberapa dari tumpukan itu saya saja tidak selesai membacanya karena cukup rumit dipahami. Seolah paham apa yang saya pikirkan, Damai pun berkata, “Gak papa kok mam, aku ya sudah lama pengen baca buku-buku di rak depan yang dipilihin papski itu..”.
“Oh, okey.. Semangat ya! InsyaAllah ini bagian dari ikhtiarmu..”, jawab saya lega 🙂
Melengkapi catatan ini, berikut beberapa video singkat yang sempat diambil saat pelaksanaan WSC Regional Round di Sekolah Ciputra dan Universitas Ciputra Surabaya kemarin, yang melibatkan lebih dari 300 orang peserta. Video-video ini mulai dari momen pembukaan, cuplikan sangat pendek dari sebagian sesi debat Damai bersama teman timnya, dan saat talent show dimana Damai ikut tampil menyanyi.