Tulisan ini dibuat karena rasa gerah mengetahui sepak terjang sosok-sosok tertentu yang mengambil keuntungan atas ketidaktahuan orang lain. Entah sengaja maupun tidak, berawal dari satu kejadian, lalu terus berulang ke kejadian-kejadian berikutnya, mereka menawarkan jasa ke sekolah-sekolah dan berbagai lembaga dengan mencatut nama perguruan tinggi terkemuka yang bukan institusi mereka sebenarnya. Nama sebuah institusi negeri yang diakui tentu akan mendorong daya jual, membuat lebih banyak pihak menaruh kepercayaan kepada mereka. Dan ketika suatu saat ada yang mengklarifikasi, dengan gampangnya mereka mengatakan bahwa itu terjadi karena kesalahan pihak penyelenggara acara atau media yang salah menuliskan. Pendek kata, begitu ketahuan mereka pun lepas tangan.
Menurut saya, mendiamkan orang lain terjebak dalam kesalahan pemahaman, apalagi bertahun-tahun selalu demikian, itu sama saja dengan kita sendiri yang melakukan kebohongan. Padahal, bukan sesuatu yang sulit untuk menyampaikan misalnya, “Mohon maaf, ada baiknya saya menginformasikan bahwa saya bukan alumni ataupun staf di Universitas A/B/C seperti yang diberitakan di beberapa tempat”, pada saat memulai pembicaraan dengan pihak-pihak yang akan menggunakan jasanya. Katakan bukan, jika memang bukan. Tak perlu berbohong hanya untuk membangun branding, image, atau mendapatkan kepercayaan dari orang lain.
Bukankah jujur itu lebih mulia? Bukankah akan menjadi berkah apabila rizqi yang diterima adalah hasil dari jerih payah yang dilandasi oleh kejujuran? Dan bukan sebaliknya, sebenarnya sudah menyadari bahwa orang lain salah mengira tentang diri kita, lalu membiarkannya karena khawatir jika menyampaikan kebenaran akan membuat kesempatan yang datang jadi menghilang. Sungguh iman yang dangkal.
Terlepas bahwa mungkin memang yang bersangkutan memiliki kemampuan yang luar biasa, memiliki kepakaran pada bidang ilmu tertentu, namun jika dalam bekerja tidak dilandasi oleh sikap-sikap yang berintegritas, maka sepatutnya sepak terjang mereka ini dipertanyakan.
Namun demikian, harus pula disadari bahwa tidak jarang para ahli, trainer, konsultan pendidikan atau apalah yang bekerja di balik identitas bukan sebenarnya ini mendapatkan keuntungan justru dari masyarakat yang gegabah, tidak mengecek betul informasi yang diterima, dan tidak selektif sebelum mengambil keputusan untuk menggunakan jasa mereka.
Karena itu, sebelum kemudian terjebak, akan lebih baik jika membiasakan diri bersikap jeli. Tidak ada salahnya untuk selalu meminta curriculum vitae kepada siapapun yang akan dimintai bantuan profesionalnya, atau memastikan secara langsung di laman instansi yang disebutkan menaunginya. Bukan sekedar mempercayai kata orang atau informasi sekilas dari pihak-pihak tertentu, apalagi jika kemudian harus membayar mereka dengan harga yang signifikan. Sebab sangat penting di jaman begitu banyak orang berlomba memanfaatkan setiap kesempatan ini untuk menjadi konsumen yang cerdas dan mengedepankan kehati-hatian.
Saya menulis ini dengan prihatin. Prihatin melihat banyaknya lembaga pendidikan, instansi pemerintah dan sebagainya ternyata tidak menyadari bahwa mereka telah mengambil keputusan atas dasar pertimbangan yang tidak akurat. Lebih prihatin lagi jika mencermati ‘kesibukan’ para ‘ahli’ yang kurang jujur ini untuk sekedar memperoleh keuntungan pribadi. Semoga segera dibukakan kesadarannya.