Tulisan ini melanjutkan penjelasan tentang resiliensi yang telah diuraikan pada beberapa posting sebelumnya.
Model adalah suatu representasi realita, yang melukiskan aspek tertentu dari dunia nyata yang relevan dengan masalah yang diteliti (Kuntoro, 2009). ModelĀ membuat eksplisit hubungan bermakna di antara aspek, dan model memungkinkan perumusan proposisi yang dapat diuji secara empiris berkenaan dengan asal dari hubungan tersebut. Pengujian dimaksudkan agar pemahaman yang lebih baik atas bagian tertentu dari dunia nyata dapat dicapai. Model juga digunakan untuk mengatasi masuknya intuisi ke dalam fenomena yang tidak dapat diamati secara langsung.
GeorgeĀ (1980, dalam Cleveland, 2003) mendefinisikan model sebagai seperangkat konsep yang saling berhubungan, yang dirumuskan untuk mampu memberikan penjelasan terhadap area tertentu dari perilaku manusia. Seperti diketahui, sebuah perilaku akan terbentuk dengan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor baik dari sisi internal maupun eksternal individu. Oleh karena itu, sebuah model akan menunjukkan keterkaitan antar konsep yang dapat membantu memahami bagaimana sebuah perilaku dapat terbentuk. Menurut Masten (dalam Reich, 2009), sebuah model resiliensi harus sedapat mungkin mencakup tiga hal, yaitu prediktor-prediktor positif, proses, dan outcome yang dimunculkan.
Dalam lingkup kajian resiliensi, beberapa model telah dirumuskan oleh peneliti terdahulu, baik dalam konteks individual maupun keluarga. Berikut ini adalah beberapa diantaranya: Baca lebih lanjut →
Menyukai ini:
Suka Memuat...