Boleh dibilang tahun ini adalah tahun yang penuh warna buat saya. Tahun yang meriah dengan segala kesempatan untuk merasakan pengalaman-pengalaman baru yang menyenangkan (akan saya tulis bagian menyenangkan ini dalam catatan penutup tahun), sekaligus di sisi lain merasakan berbagai tantangan hidup yang dengan tegas saya katakan “tidak mudah”. Salah satunya yang akan saya ceritakan di sini, tentang bagaimana mendampingi Ibu yang atas kehendak Allah harus teruji dengan kanker.
Ya, Ibu saya di luar dugaan dinyatakan mengalami kanker payudara, yang membawanya harus menjalani serangkaian treatment medis yang berat di usia lanjutnya ini, mengingat Ibu sudah lebih dari 70 tahun. Diawali dengan operasi, lalu disambung kemoterapi sebanyak 6 kali, dengan serentetan tahap pemeriksaan berulang diantara waktu-waktu treatment tersebut yang membuatnya harus bolak-balik pergi ke lab dan rumah sakit. Melelahkan sudah tentu buat Ibu, baik fisik maupun psikis. Hingga hari ini, kemo Ibu sudah berjalan 4 kali. So, two more to go!
Kondisi Ibu sendiri yang sempat naik-turun syukur Alhamdulillah berangsur menguat. Bahkan saat terakhir kami berbincang beberapa hari lalu dengan bersemangat beliau mengatakan, “Pokoknya sudah kutekadkan, aku harus sembuh!” Terharu sekali mendengarnya…
Tekad ini bisa terucap bukan tanpa proses. Ibu sempat berada pada titik kecemasan yang begitu tinggi karena tekanan psikologis signifikan yang dirasakannya. Kekhawatirannya tidak terbendung demi mendengar kata kanker, sehingga di luar kendalinya kerap terbayang berbagai hal buruk yang seringkali diketahui menjadi konsekuensi dari penyakit ini. Bahwa kanker sulit disembuhkan, bahwa pengobatannya begitu menyakitkan dan menghabiskan biaya, dsb…dsb…
Kadang di waktu-waktu tertentu tampak psikologis Ibu menguat, namun di saat yang lain goyah kembali karena efek kelelahan menjalani treatment medis, atau karena menyadari mulai menyangatnya efek-efek samping dari treatment, seperti mual, kerontokan pada rambut, rasa sakit pada bagian-bagian tubuh tertentu, dan sebagainya. Dan dalam kondisi ini berdasar apa yang saya amati, bagaimana respon orang di sekelilingnya akan ikut menentukan fluktuasi emosi Ibu.
Peran kita menjadi determinan, apakah akan memperkuat, atau justru semakin memperlemah. Jika meminjam penjelasan dinamika resiliensi, apakah respon kita akan menjadi bagian dari faktor protektif yang membantu meredakan tekanan dan menggeser pola emosi dari negatif ke positif; atau justru menjadi faktor risiko yang semakin memperlemah karena menambah/menyangatkan emosi negatif yang dirasakan. Satu tantangan juga buat saya untuk bisa mendampingi Ibu agar bisa resilien dengan apa yang tengah dihadapi. Tantangan untuk menerapkan ilmu pada keluarga sendiri.
Mencatat bagaimana membantu menguatkan kondisi psikologis Ibu sejauh ini, setidaknya ada beberapa hal yang kami (saya, Bapak, dan kakak-kakak) upayakan untuk menguatkan faktor protektif Ibu. Saya coba bagikan dengan ringkas, mungkin sedikit banyak dapat membantu rekan-rekan yang berada dalam situasi sama, menjadi pendamping para pasien kanker.
1.Mengaktifkan faktor protektif internal.
Hal pertama yang berusaha kami upayakan adalah bagaimana mengaktifkan penguat-penguat internal dari dalam diri Ibu sendiri. Sebab bagimanapun motivasi yang terbaik untuk bisa konsisten mengikuti tahapan penyembuhan, sepanjang dan selelah apapun adalah dari diri sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari sumber internal akan bertahan jauh lebih lama dan memberi energi lebih untuk terus berusaha.
Di berbagai kesempatan berdialog, saya kerap menyelipkan kalimat-kalimat yang membangkitkan kemauan Ibu untuk sembuh. Seperti dengan sesekali bertanya, “Ibu ingin sembuh kan? Ingin pulih? Biar bisa keliling lagi nengok lama cucu-cucu..”. Tidak jarang kemudian saya sambung dengan kalimat-kalimat yang menyatakan betapa kehadiran Ibu selalu kami butuhkan dan sangat berarti buat kami. Di waktu yang lain, upaya membangkitkan kesadaran bahwa beliau sangat dibutuhkan ini pun sering saya rangkai dengan cerita-cerita inspiratif dari para survivor kanker, yang menguatkan keyakinannya bahwa penyakit ini memang bisa disembuhkan.
2.Mengaktifkan faktor protektif eksternal.
Selain faktor internal, sudah pasti penguatan faktor pendukung eksternal dari lingkungan terdekat Ibu juga kami lakukan. Diantaranya:
- Mengupayakan satu kata antar bagian dari support system. Satu katanya antar orang yang berada di sekitar Ibu, agar tidak menambah kecemasan dan beban pikirannya. Satu kata terkait apapun, semisal prosedur pengobatan, asupan, pengambilan keputusan tentang hal-hal yang terkait upaya penyembuhan, dsb. Kalaupun terjadi perbedaan pendapat, kami berusaha untuk membahasnya di tempat terpisah, dan tidak menyisakan ekpresi yang bisa membuat Ibu tidak nyaman, apalagi ikut memiikirkannya. Hal ini penting, terlebih pasien umumnya sangat sensitif, mudah menangkap hal yang mengkhawatirkan, lalu kemudian tanpa disadari informasi yang ditangkap tersebut kemudian diserap, diinternalisasikan sehingga menambah sangat kekhawatirannya.
- Memberi ruang bicara dan membiasakan diri sebagai penyimak yang baik. Kami menyadari, kecemasan yang Ibu rasakan harus dibantu diredakan, dikurangi. Salah satunya dengan memberi ruang untuk Ibu menyampaikannya, agar tidak terus memendamnya, menjadi ganjalan yang panjang, sehingga lambat laun menjadi bongkahan gunung es di dalam hati yang akhirnya membuat kondisi psikologis semakin memburuk. Memberikan ruang bicara bagi Ibu juga tidak akan lengkap jika tanpa disertai kesediaan kita untuk menyimak dengan baik, dan memberi respon tanpa mengecil-artikan apa yang disampaikan. Menyimak segala sesuatunya, tetap respek karena bagaimanapun beliau lah yang merasakan kondisinya sementara kita tidak, lalu menyampaikan tanggapan dengan tetap menjaga rasa hormat.
- Tidak menampakkan emosi negatif. Ini hal yang sejak awal selalu saya ingatkan pada semua saudara, termasuk cucu-cucu Ibu yang juga bagian dari support system. Sekhawatir apapun, di depan Ibu tIdak boleh menampakkan emosi yang negatif, entah lewat kata-kata maupun sekedar ekspresi wajah atau bahasa tubuh. Semua harus berusaha mengendalikan diri, menjaga tenang, meski tetap dengan perhatian penuh. Bukan tenang yang kemudian cuek lalu tidak mempedulikan. Kepada para cucu juga diingatkan untuk kerap mengontak Ibu, Utinya, meski hanya lewat telepon. Buat seorang nenek, bisa berkomunikasi dengan cucu selalu menjadi hal yang berarti, bisa menambah perasaan positif dan dorongan untuk berusaha sembuh.
- Memberi penguatan berulang. Menguatkan orang yang sedang mengalami sakit yang serius tidak bisa hanya dilakukan sekali dua kali. Harus kontinu, berulang sepanjang masa penyembuhannya. Terlebih seperti sudah saya ceritakan, pengobatan yang panjang dan melelahkan seringkali akan membuat tekanan emosi mereka naik-turun. Kadang tampak sudah baik, tapi kadang drop kembali dan mengeluhkan berbagai hal dengan sangat khawatir. Kita harus bisa memahaminya karena memang begitu banyak ketidaknyamanan yang dirasakan. Sebab itulah, tidak boleh lelah untuk setiap saat menguatkannya kembali.
- Memperlakukan tetap sebagai individu yang berdaya dan memberi ruang untuk mengurangi kejenuhan. Penting pula untuk terus menjaga agar Ibu tetap merasa positif dengan dirinya sendiri. Bahwa beliau tetap mampu melakukan berbagai hal, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk membantu orang lain. Karena itu selama memungkinkan, kami tidak banyak melarang jika Ibu ingin melakukan hal-hal yang disukai, seperti memasak, menyelesaikan berbagai keperluan domestik yang lain, termasuk untuk bepergian ke tempat saudara atau menengok cucu dengan tetap ditemani. Aktivitas ini membantu juga agar Ibu terhindar dari kejenuhan yang membuat tidak nyaman, lalu membuka ruang untuk menambah keluhan atas kondisinya.
Hingga saat ini, kami masih terus berproses, melanjutkan ikhtiar. Namun efek baik pada Ibu yang sudah terasa telah turut berbalik menguatkan semangat dan keyakinan kami bahwa apa yang kami upayakan adalah langkah-langkah yang tepat. Semoga Ibu pun terus menguat, baik secara fisik maupun psikologis, dan mampu menyelesaikan tuntas tahap demi tahap pengobatannya hingga sembuh sepenuhnya.