Sabtu, 6 Oktober 2018. Kembali berbagi pemahaman tentang resiliensi, kali ini dalam National Conference “Resilience in The World of Competitive, Islamic Perspective” yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Gresik bekerjasama dengan International Institute of Islamic Thought. Selain saya, dua pembicara yang lain adalah Assoc. Prof. Dr. Shukran Abd. Rahman dan Assoc. Prof. Dr. Mastura Badzis, keduanya dari International Islamic University Malaysia.
Konferensi nasional ini di luar dugaan ternyata tidak hanya diikuti oleh para akademisi dan mahasiswa dari berbagai jenjang, tetapi juga praktisi psikologi dan konseling, guru-guru, orangtua, bahkan pelajar SMK yang antusias menguatkan kompetensinya menghadapi tantangan di masyarakat yang semakin beragam. Suasana “gethok tular” ilmu pun terasa menjangkau banyak lapisan. Sangat mensyukurinya.
Sesuai permintaan panitia, saya membawakan materi tentang konsep dasar resiliensi dan perkembangan teorinya, serta gambaran penerapannya dalam pendampingan psikologis. Beberapa bagian dari materi ini pernah saya sampaikan pada saat mengisi Seminar Nasional Pascasarjana di UGM Bulan Maret lalu.
Dengan terus diniatkan untuk memperluas kemanfaatannya, karena menyadari bahwa ilmu adalah milik Allah, berikut saya bagikan pokok-pokok materi yang diringkas dalam beberapa slide presentasi. Semoga memenuhi juga keingintahuan rekan-rekan yang pada hari kegiatan berhalangan untuk turut hadir.
Paparan saya uraikan dalam tiga bagian yang masing-masing saya jelaskan secara padat, mengingat waktu penyampaian yang memang terbatas. Bagian pertama saya awali dengan mengajak peserta mengingat kembali apa itu resiliensi, bagaimana perkembangan kajiannya, serta kedudukannya diantara konsep-konsep lain yang serupa atau sejalan. Penjelasan ini kemudian disambung dengan uraian bagaimana seseorang dapat berproses menjadi individu yang resilien di tengah kesulitan hidup yang dihadapi. Uraian bagian kedua tersebut saya lanjutkan dengan memaparkan bagaimana kemudian penerapannya dalam aktivitas pendampingan psikologis di bagian ketiga dari presentasi.
Kalau saya boleh bertanya, perbedaan mencolok diantara koping, adaptasi, dan resilien apa ya Bu?
Ada saya jelaskan dalam buku Resiliensi Psikologis Mbak. Buku dapat diakses di sejumlah toko buku juga bisa dipesan online melalui web penerbit..
Terima kasih infonya Bu…
Terima kasih juga, Mba’ Ardiana..
Siang ibu.. saya tertarik dengan bahasan resiliensi ini… yang mau saya tanyakan..
1. apakah ada kemungkinan seseorang yang sudah resilien kemudian tidak resilien lagi?
2. apakah seseorang yang resilien juga membuat orang lain dengan kasus yang sama menjadi resilien?
Halo, mohon maaf baru membuka blog kembali hari ini karena sedang banyaknya tugas kampus. Langsung saya jawab ya:
1. Kita perlu ingat bahwa resiliensi dimiliki individu dalam konteks-konteks persoalan yang spesifik. Resilien di satu persoalan, belum tentu resilien di persoalan yang lain. Pada persoalan yang sama, jika seseorang sudah mencapai resiliensi umumnya akan relatif konsisten, karena ada proses belajar juga dalam menghadapi dan beradaptasi dengan persoalan tersebut antar waktu. Namun jika terjadi seseorang “tampak” sudah resilien namun beberapa waktu kemudian drop, stres apalagi depresi, maka “tampak” seolah sudah resilien tersebut besar kemungkinan sebenarnya belum.
2. Tidak. Antar individu yang memiliki persoalan sama tidak mungkin terjadi otomatisasi seperti itu, karena bagaimanapun pengalaman personal masing-masing tentu berbeda-beda.
Semoga jawaban ini membantu…
Alhamdulillah, saya sangat meras terbantu dengan blog ini bu, terimakasih. Terhubung setelah berjodoh dengan buku ibu “psikologi resiliensi”. Mohon ijin menghubungi ibu lebih lanjut untuk keperluan memperkuat disertasi saya mengenai resiliensi. terimakasih sebelumnya bu wiwin, semoga tetap sehat dalam berbagi hikmah dan kebaikan ilmu.
Dengan senang hati, Pak Lalu. Semoga dilancarkan penyelesaian disertasinya ya Pak..