Selama beberapa hari di sela maraknya berita seputar Asian Games dan Lombok yang beruntun diguncang gempa, warganet diriuhkan oleh video tentang karnaval TK di Probolinggo, dimana murid-murid salah satu TK berpawai dengan mengenakan kostum hitam bercadar dan membawa replika senjata. Kostum yang sontak mengingatkan pada atribut kelompok teroris, dan pakaian sebagian dari mereka yang terlibat peperangan di Timur Tengah.
Berikut saya tautkan tiga dari sekian banyak sumber berita yang memuat informasinya:
- Polisi: Tak Ada Simbol Terorisme di Karnaval TK Probolinggo (Sabtu, 18 Agustus 2018)
- Karnaval Murid TK di Probolinggo Dikritik, Ini Keterangan Kapolres (Minggu, 19 Agustus 2018)
- 4 Fakta Karnaval Siswa TK “Bersenjata” di Probolinggo (Senin, 20 Agustus 2018)
Hingga berita yang terakhir, pihak sekolah sudah meminta maaf dan memberikan penjelasannya kepada media, bahwa penggunaan atribut kontroversial tersebut karena semata-mata bermaksud merefleksikan perjuangan Rasulullah dan tidak ada maksud yang mengarah kepada simbol-simbol radikalisme atau teroris, kecuali hanya menanamkan keimanan kepada anak didik. Disampaikan bahwa sekolah yang bersangkutan mengusung tema “Bersama Perjuangan Rosululloh Kita Tingkatkan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Allah”.
Turut menyikapi, meski sudah tidak lagi dilanjutkan penyelidikannya, saya melihat bahwa kejadian ini patut menjadi refleksi bersama, baik bagi para pendidik, orangtua, maupun pihak lain yang turut berperan dalam proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa hal yang menarik untuk diulas.
Pertama sebelum ke kostumnya, saya merasa tergelitik dengan tema yang diusung oleh sekolah. Terpikir saja tiba-tiba, ini sebenarnya karnaval peringatan kemerdekaan atau peringatan maulid nabi? Khawatir salah memahami, sempat berulang saya cek ke media yang memberitakan. Dan benar, ini memang karnaval tujuh belasan. Bahkan namanya saja Pawai Budaya Bhinneka Tunggal Ika.
Pertanyaan yang beruntun muncul kemudian: Ini sekolah Islam atau umum? Kalau TK Islam, masih bisa dipahami mengapa sekolah mengusung tema terkait perjuangan Rasulullah, meskipun sebenarnya tidak sejalan dengan acara peringatan kemerdekaan Indonesia. Jauh lebih tepat jika tema tersebut digunakan misalnya dalam pawai maulid atau peringatan Hari Besar Agama Islam yang lain.
Nah, kalau TK ini adalah TK umum, tidak berbasis pada satu agama tertentu, selain temanya tidak tepat konteks lantas bagaimana dengan murid-murid yang beragama selain Islam? Apakah mereka juga diminta mengenakan kostum yang sama? Atau tidak diikutkan dalam karnaval? Lalu bagaimana penghargaan terhadap keberagamannya? Apakah tindakan yang benar jika sekolah mengabaikan begitu saja murid yang jumlahnya minoritas? Dimana value Bhinneka Tunggal Ika-nya, sebagaimana dinyatakan sebagai tema pawai? Tidakkah guru menyadari akan hal ini?
Masih bertanya-tanya juga, dalam suasana Hari Kemerdekaan mengapa sekolah tidak mengedepankan tema yang terkait perjuangan para pahlawan kemerdekaan itu sendiri, atau apapun yang bisa membantu anak belajar mencintai sejarah dan budaya bangsanya yang begitu kaya dengan keragaman? Apakah benar jika ini semata ketidaksengajaan, ketidakpahaman, atau memang penghayatan akan kebhinnekaan itu sendiri sudah semakin luntur, menipis di kalangan sebagian pendidik, tergantikan oleh kuatnya value agama tertentu dan tingginya kebutuhan dakwah?
Sangat menggelitik, apalagi tertulis jelas di berbagai media bahwa ini adalah TK yang berada di bawah binaan Kodim. Satuan yang menjadi bagian dari lembaga pertahanan negara, yang sepemahaman saya selalu berusaha menanamkan rasa cinta tanah air, menanamkan bela negara dengan segala karakter yang menjadi penciri identitasnya. Satuan yang semestinya menghayati betul Bhinneka Tunggal Ika, dan menekankan agar semboyan ini juga dijaga di setiap unit kecil yang menjadi binaannya. Tentu tidak berlebihan jika saya katakan ini kejadian yang ironis.
Tapi sekali lagi tidak hanya untuk guru dan satuan pembinanya, menurut saya rangkaian pertanyaan reflektif di atas juga patut menjadi bahan berpikir bagi para orangtua yang mengiyakan, tidak kritis dan asertif terhadap apa yang sedang ditumbuhkan dalam diri anak-anak mereka, serta masyarakat luas yang memilih untuk mengabaikan.
Terkait kostum, selain bukan budaya Indonesia (cek kembali tema pawai) dan tidak memayungi kebhinnekaan itu sendiri, anak-anak dengan mudah akan mengasosiasikannya dengan atribut khas kelompok radikal. Mengapa mudah? Karena pemberitaan dan pembicaraan tentang terorisme setiap saat dapat mereka akses dari sekitar. Terlebih dengan adanya sejumlah aksi teror yang dilakukan oleh anggota kelompok tersebut di berbagai tempat, hingga belum lama ini.
Dan ketika kemudian dalam pawai anak-anak diminta mengenakan kostum tersebut lengkap dengan replika senjatanya, yang terjadi dalam kognisi mereka adalah familiarisasi terhadap atribut. Jika dikatakan tidak ada simbol radikalisme, justru kostum dan replika senjata tersebut adalah bagian dari simbolnya, meski bukan satu-satunya.
Walaupun anak-anak ini tidak diajarkan tentang isi faham radikal, namun familiarisasi terhadap bagian dari simbol-simbol radikal akan menjadi pintu masuk untuk mempermudahnya di waktu-waktu kemudian. Pintu masuk ini pun akan semakin terbuka lebar manakala anak-anak melihat orangtuanya, figur-figur lekatnya sendiri justru mengiyakan dan tidak menunjukkan sikap yang berbeda. Mereka akan mengasosiasikannya dalam pikiran, bahwa apa yang dikenakan dan yang dilakukan dengan menggunakan pakaian tersebut adalah hal yang baik, hal yang benar, yang disepakati pula oleh orangtuanya.
Tidak terbayang kah potensi persoalannya?
Sampai di sini, saya harus menarik napas panjang penuh prihatin. Prihatin dengan sejumlah orangtua yang menganggap ini hanya lelucon; Prihatin dengan aparat yang kurang menunjukkan kepekaan atas ancaman terhadap nilai kebhinnekaan yang semestinya dijaga; dan Prihatin terhadap respon petinggi negeri yang tak kalah membingungkan ini –> Mendikbud Beri Rp 25 Juta…(Senin, 20 Agustus 2018).
Mungkin sudah saatnya masyarakat di setiap lapisannya diberikan penyegaran kembali tentang identitas bangsa yang majemuk, agar Bhinneka Tunggal Ika tidak semakin kehilangan makna. Sebab senyatanya, kasus karnaval TK ini hanyalah bagian kecil dari sekian banyak kejadian lain di sekitar yang makin menampakkan tipisnya kesadaran bahwa setiap dari kita hidup di tengah lingkungan yang beragam.
***
Baca juga tulisan lain yang terkait: Orangtua, Kata-kata, dan Kebencian yang Diturunkan
Menurut Ibu, tindakan apa yang sepatutnya dilakukan oleh pendidik seperti guru dan orangtua jika anak sudah terlanjur “masuk” dalam pemahaman yang salah akibat simbol-simbol radikalisme tersebut?
Halo Mbak..
Terima kasih atas pertanyaan kritisnya. Ini menarik.
Ketika anak “sudah terlanjur masuk” ke pemahaman yang salah, taruhlah misalnya mereka mulai menunjukkan perilaku dan perkataan yang mengarah pada pandangan radikal, kita tetap harus menyadari bahwa itu tidak terjadi begitu saja. Itu adalah hasil dari belajarnya mereka.
Hal yang harus dicaritahu lebih dulu adalah darimana anak mendapatkan pemahaman itu dan seberapa intensif ia berkontak dengan sumber informasi tersebut.
Jika yang menjadi sumber adalah sekelompok anak-anak lain (teman bermain), selama masih memungkinkan menurut saya kita perlu mencoba mengajak anak-anak ini berdialog bersama untuk mengubah pola pikir mereka. Tentu untuk ini kita harus bisa mendekati dan berbicara dengan bahasa yang mudah mereka terima, bukan asal mengoreksi apalagi memarahi.
Jika ternyata opsi pertama ini sulit terjangkau, alternatif menindaklanjutinya adalah dengan mengajak dialog dan diskusi anak sendiri. Poinnya untuk menumbuhkan kesadaran anak bahwa tidak semua yang dilakukan dan dikatakan teman harus diikuti. Sekalian kita ajak anak untuk memahami bahwa sikap dan perilaku orang di sekitar kita itu memang beragam. Ada yang baik, ada yang tidak, meski mereka teman sendiri. Karena itu harus pandai memilah mana yang baik diikuti dan mana yang tidak.
Namun begitu ada baiknya kita (guru dan orangtua) juga tetap berpikir reflektif. Boleh jadi kita turut andil menyebabkan anak-anak terjebak dalam pemahaman yang tidak tepat. Entah karena kita sendiri juga sempat memiliki pemahaman yang serupa, atau karena lengah, minim komunikasi dengan anak sehingga mereka lebih banyak mendengar dan mengindahkan informasi dari luar.
Jika ini terjadi, maka pertama yang harus dilakukan adalah menyadari dan terbuka menerima kesalahan diri sendiri dulu agar kemudian lebih mudah memperbaikinya, sebelum memperbaiki perilaku anak.
Semoga cukup menjawab ya..
Alhamdulillah, jawabannya memuaskan Bu. Ditunggu tulisan-tulisan menarik lainnya dari Ibu…
Terima kasih banyak..