Memenuhi permintaan rekan yang terlewat belum membaca artikel opini saya tentang Ibu dan Peran Pencegahan Radikalisme di Jawa Pos (18 Mei 2018), berikut saya tuliskan kembali untuk blog ini:
Tulisan A. Safril tentang Teror Surabaya, Pola Lama Tren Baru (Jawa Pos, 15 Mei 2018) terkait rangkaian serangan bom bunuh diri di Surabaya telah mengulas arah baru tindak terorisme yang sekarang melibatkan seluruh anggota keluarga. Disebutkan bahwa jika pada kasus-kasus sebelumnya pelaku bom bunuh diri lebih bersifat perorangan, atau melibatkan sekelompok orang yang tidak terikat pertalian darah, kini aksi teror sudah mulai bergeser. Pelaku adalah satu keluarga utuh yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak mereka.
Pelibatan keluarga yang ditemukan dalam beberapa aksi teror sebelumnya di Indonesia masih sebatas pada saudara kandung, seperti tiga bersaudara pelaku bom Bali (Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron), atau pada operasi teror Jamaah Islamiyah yang dikendalikan oleh Hambali dengan dibantu oleh adik kandungnya, Gun Gun Gunawan. Namun demikian mereka dalam aksinya tidak melibatkan istri dan anak. Hal ini tidak lepas dari adanya pembedaan peran antara laki-laki dengan perempuan dalam aksi yang umumnya terjadi pada kelompok-kelompok teroris.
Peran untuk terjun langsung dalam medan tempur (jihad besar) untuk kemudian mati sebagai syuhada (begitu klaim teroris) adalah untuk laki-laki. Sedangkan perempuan berperan di jihad kecil yang mendukung jihad besar. Salah satunya dengan mempunyai anak sebanyak mungkin terutama laki-laki, yang akan menjadi kader penerus jihad. Perempuan dalam hal ini memang bukan pemeran utama, namun tetap memberi pengaruh signifikan terhadap keberhasilan jihad.
Munculnya beberapa kasus perempuan yang belakangan memutuskan maju berjihad membawa sendiri bom bunuh diri, lalu sekarang mengajak serta anak-anak untuk turut bersama melakukannya menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan peran aktif perempuan dalam aktivitas teroris serta penyebaran radikalisme. Terutama dalam lingkup keluarga terhadap anak-anak mereka.
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam tumbuh kembang anak. Sebagai bagian dari sistem sosial, keluarga memiliki fungsi untuk melakukan sosialisasi nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan memfasilitasi proses belajar anak terhadap peran-peran sosialnya (Olson & DeFrain, 2003). Jika keluarga memegang teguh nilai-nilai yang bersumber dari kelompok tertentu, maka dapat dipastikan bahwa nilai-nilai tersebut lah yang sejak kecil akan disosialisasikan dan mewarnai tumbuh kembang anak-anak mereka. Pun demikian dengan ajaran radikal yang diyakini oleh orangtua selaku sosok kunci dalam keluarga.
Peran orangtua dalam sosialisasi ini akan berbeda antara laki-laki (ayah) dengan perempuan (ibu), mengingat perempuan memiliki kelebihan pada aspek sensitivitas emosional jika dibandingkan dengan laki-laki. Kelebihan perempuan membuat ibu umumnya lebih dekat dengan anak, disamping karena pembagian peran dalam pandangan tradisional yang memang masih menekankan bahwa ibu bertanggung jawab terhadap berbagai keperluan domestik, termasuk di dalamnya pengasuhan terhadap anak-anaknya.
Dengan semakin aktifnya keterlibatan ibu sebagaimana tampak saat ini, penyebaran radikalisme pada anak memiliki jalur yang semakin kuat. Terlebih, ikatan antara ibu dan anak sudah terbentuk sejak anak masih berada dalam kandungan. Ibu sebagai pengasuh primer adalah sumber informasi pertama proses belajar anak. Hal ini telah dijelaskan oleh Bowlby sejak Tahun 1969 dalam kajiannya tentang bagaimana perilaku pengasuh primer dapat mempengaruhi baik pola pikir, respon emosi, maupun aspek sosialĀ anak.
Tidak hanya dari apa yang disampaikan secara langsung kepada anak, segala sikap dan perilaku ibu sehari-hari adalah contoh yang akan diinternalisasi, menjadi rujukan sikap dan perilaku yang pada saatnya nanti akan turut dimunculkan oleh mereka. Sebab anak adalah pembelajar aktif. Mereproduksi contoh perilaku yang mereka cermati sehari-hariĀ dari orang-orang terdekat adalah salah satu mekanisme belajar yang dilakukan selama masa tumbuh kembangnya.
Ibu dengan demikian adalah sosok kunci bagi keberhasilan penyebaran radikalisme dan kaderisasi kelompok radikal sejak dini. Perannya tidak boleh lagi diabaikan. Mari kita bayangkan situasi dalam keluarga Dita Oepriarto (47). Ketika misalnya ide melakukan aksi bunuh diri datang dari suami yang merupakan ketua Jamaah Anshorut Daulah (JAD) Surabaya, mungkin jalan cerita akan berbeda jika sang istri, Puji Kuswati (43), memiliki pendirian yang kuat untuk menolak atau keberatan dengan keinginan suaminya. Minimal, akan ada empat anak yang terhindar dari keterlibatan dalam aksi terorisme: Yusuf Fadhil (18), Firman Halim (16), Fadhila Sari (12), dan Famela Risqita (9). Pengandaian serupa juga berlaku pada keluarga pelaku serangan bom di Mapolresta Surabaya.
Dalam keluarga, ibu memiliki peran sebagai penjaga benteng bagi kemungkinan tumbuhnya bibit radikalisme pada anak. Pertanyaannya kemudian, bagaimana menguatkan ibu untuk mampu menjadi penjaga benteng yang tangguh dalam keluarganya? Sebab akan begitu berat beban yang harus ditanggung apabila ibu diharapkan mampu berjuang sendiri. Bagaimanapun, ibu memerlukan dukungan sosial untuk bisa menjadi tangguh.
Setidaknya ada beberapa hal yang dapat diupayakan oleh seluruh elemen masyarakat untuk membantu. Pertama, meningkatkan kepedulian keluarga besar untuk saling mengingatkan dan menguatkan. Pada beberapa kasus, jarak emosional dan problem komunikasi yang terjadi antara individu dengan keluarga besar merupakan faktor risiko yang kerap menyangatkan problem perilaku yang muncul kemudian. Sebaliknya, keterikatan yang baik dengan keluarga besar akan dapat menjadi faktor protektif yang menguatkan individu ketika harus mengambil sikap yang tepat terhadap segala pengaruh yang ada pada keluarga intinya.
Kedua, meningkatkan atmosfer positif dan kepedulian lingkungan terhadap sesama warga. Benar bahwa seringkali keluarga yang terlibat jaringan terorisme bersikap menarik diri dan tidak mau berbaur di masyarakat. Namun dalam kondisi demikian, sikap masyarakat di sekitar yang juga kurang peduli dan membiarkan juga turut mempertebal jarak antara individu dengan lingkungannya. Padahal lingkungan sekitar semestinya dapat menjadi sumber penyeimbang informasi yang mungkin diperoleh dari suami atau anggota keluarga lain yang telah lebih dulu menjadi anggota jaringan.
Ketiga, mengoptimalkan pendidikan di masyarakat melalui keterlibatan berbagai unsur, seperti PKK, Karang Taruna, dan komunitas lain untuk lebih aktif merangkul seluruh warga, mengadakan berbagai kegiatan yang membantu meningkatkan kesadaran hidup bersama, sekaligus memberikan informasi berkelanjutan yang dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap pengaruh paham radikal. Dengan keterlibatan semua pihak, upaya menyelamatkan generasi dari pengaruh radikalisme akan dapat berjalan dengan jauh lebih efektif.
Assalamualaikum wr wb selamat menunaikan ibadah puasa di bulan ramadhan sahabat indonesia