“Aku ingin melihat wajah-Mu pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warna”
Siapa yang tak kenal Jalaluddin Rumi? Minimal tentu pernah mendengar namanya disebut atau mungkin beberapa kutipan karyanya. Eh tapi ini bukan Jalaluddin Rumi nama anak salah satu artis itu ya, hahahaha… Konon kabarnya si artis juga pengagum Rumi yang saya maksud.
Saya bicara tentang Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri, seorang tokoh dan penyair Sufi. Nama Rumi dalam bahasa Turki adalah Mawlana Jalal ad-Din Muhammad Balkhi-Rumi, atau yang di sana sering disebut dengan singkat “Mevlana”. Sebenarnya ketika melacak beberapa situs, ada keragaman penjelasan tentang nama lengkap Rumi dari berbagai sumber. Jadi saya ambil salah satunya saja.
Berada di Provinsi Konya (sekitar 717 km dari Istanbul, 491 km dari Bursa, dan 571 km dari Izmir), makam dan museum Mevlana yang megah sekaligus indah ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Mereka yang datang berziarah melampaui batasan usia, suku bangsa, pun latar belakang agama. Mayoritas adalah para pengagum Rumi dan ajaran spiritualnya yang membawa pesan damai, bertumpu pada universalitas dan humanitas.
Kompleks makam dan museum Mevlana ini terdiri dari beberapa bangunan. Bangunan utama berisi makam Mevlana, keturunan dan pengikutnya, juga berbagai benda bersejarah pada jamannya. Di sekitar bangunan utama terdapat deretan bangunan yang lebih kecil, berisi benda-benda peninggalan Mevlana yang lain yang dipergunakan dalam menyebarkan ajarannya, seperti pakaian, alat musik, dan sebagainya.
Selain ajaran Sufi yang tersampaikan dalam berbagai karya puisi penuh kedalaman makna, hal lain yang dikenal luas identik dengan Rumi adalah tarian para darwis atau whirling dervishes yang dipandang sebagai simbolisasi ajaran Sufisme Rumi. Tarian dilakukan dengan memutar badan sesuai ritme perputaran bumi. Tarian ini menjadi ritual khas Tarekat Mevlevi (sebutan bagi pengikut Mevlana) yang menggambarkan kesatuan kosmis secara artistik dan dramatik.
Satu hal saat mengunjungi tempat ini, entah kenapa saya merasa ada desakan emosi yang tak terjelaskan ketika berdiri menghadap nisan Mevlana. Desakan emosi yang begitu kuat hingga membuat air mata tiba-tiba menetes. Boleh jadi pengalaman spiritual ini juga dialami oleh peziarah lain, yang sempat saya lihat beberapa kali mengusap mata di sela doanya.
Lebih lanjut, bersama sejumlah gambar saya kutipkan beberapa karya Mevlana dalam tulisan ini.
DIA TIDAK DI TEMPAT LAIN
Salib dan ummat Kristen, ujung ke ujung, sudah kuuji.
Dia tidak di Salib.
Aku pergi ke Kuil Hindu, ke pagoda kuno.
Tidak ada tanda apa pun di dalamnya.
Menuju ke pegunungan Herat aku melangkah,
dan ke Kandahar aku memandang.
Dia tidak di dataran tinggi
maupun dataran rendah.
Dengan tegas, aku pergi ke puncak gunung Kaf.
Di sana cuma ada tempat tinggal burung Anqa.
Aku pergi ke Ka’bah di Mekkah.
Dia tidak ada di sana.
Aku menanyakannya kepada Avicenna sang filsuf,
Dia ada di luar jangkauan Avicenna …
Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.
Di situlah, tempat-Nya, aku melihat diri-Nya.
Dia tidak di tempat lain.
-
Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.
“Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam.
Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah.
Sehingga kita dapat bertemu pada ‘suatu ruang murni’, tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.”
—
MEMAHAMI MAKNA
Seperti bentuk dalam sebuah cermin, kuikuti Wajah itu.
Tuhan menampakkan dan menyembunyikan sifat-sifat-Nya.
Tatkala Tuhan tertawa, maka akupun tertawa.
Dan manakala Tuhan gelisah, maka gelisahlah aku.
Maka katakan tentang diri-Mu, ya Tuhan.
Agar segala makna terpahami,
Sebab mutiara-mutiara
makna yang telah aku rentangkan di atas kalung pembicaraan
berasal dari lautan-Mu.
LIHATLAH YANG TERDALAM
Jangan kau seperti iblis,
Hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam.
Lihatlah di balik lumpur,
Beratus-ratus ribu taman yang indah!
“Jika kau berputar mengelilingi matahari, maka kau pun akan menjadi matahari.
Jika kau berputar mengelilingi seorang Guru, maka kau pun akan bersatu dengan-Nya.
Kau akan menjadi sebutir permata, jika kau menari mengelilingi-Ku.
Dan kau akan berkelip seperti emas, jika kau menari mengelilingi-Nya.”
—
“Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai.
Di dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi.
Kau senantiasa menari di dalam hatiku, meski tak seorang pun melihat-Mu, dan terkadang aku pun ikut menari bersama-Mu.
Dan “Penglihatan Agung” inilah yang menjadi inti dari seniku.”
Ping balik: Amazing Turkey (5): Cappadocia dan Kota Batu yang Menakjubkan | Wiwin Hendriani
Ping balik: Amazing Turkey (6): Cerita yang Tersisa | Wiwin Hendriani