Setelah cerita 8 riset di tulisan bagian 1 dan bagian 2, saya akan melengkapinya dengan 4 lagi hasil kerja mahasiswa yang sedang berlatih meneliti dengan pendekatan kualitatif ini. Kita mulai dengan kelompok sembilan. Kelompok ini mengambil judul penelitian: Aktualisasi Diri Individu dengan Karakter Androgini di Media Sosial.
Kelompok ini tertarik dengan topik yang dipilih setelah mengamati bahwa unggahan yang menampilkan sosok individu berkarakter androgini sedang menjadi salah satu tren di instagram. Androgini merupakan istilah yang menunjukkan adanya karakter maskulin dan feminin yang setara dalam diri individu. Seorang androgini adalah individu yang tidak dapat sepenuhnya menampilkan diri sesuai dengan peran gender maskulin atau feminin yang tipikal di masyarakat, sebagaimana jenis kelaminnya. Mereka memilih melakukan pencampuran dari ciri-ciri maskulin dan feminin dalam penampilannya.
Kajian literatur yang dilakukan kelompok mencatat bahwa seorang dengan karakter androgini umumnya menyadari bahwa masyarakat secara jamak masih cenderung memandang mereka sebelah mata. Tidak jarang orang melabel mereka ‘banci’ atau menyamakannya dengan individu transgender. Namun dalam kondisi demikian, cukup banyak individu androgini yang tetap berani mengaktualisasikan diri sebagai sosok androgin melalui berbagai macam unggahan foto di media sosial. Kelompok peneliti berusaha menggali lebih lanjut mengenai fenomena ini.
Hasil analisis data menjelaskan bahwa aktualisasi diri individu androgini dalam penelitian ini terdorong oleh besarnya kebutuhan untuk mencapai kebahagiaan hidup, dengan menjadi diri sendiri dan bebas menggeluti passion yang dimiliki. Aktualisasi diri partisipan juga dikuatkan oleh kesadaran bahwa media sosial merupakan ruang yang potensial untuk dapat mempromosikan kemampuan dan mendapatkan keuntungan finansial dari orang yang menghargai kemampuannya. Individu menyadari berbagai risiko dari setiap unggahannya di media sosial, sehingga aktualisasi diri yang dilakukan juga disertai upaya mengembangkan koping yang efektif terhadap tekanan dari lingkungan yang setiap saat dapat ditemui.
Berikutnya adalah presentasi kelompok sepuluh, yang meneliti “Fenomena Obsesif Like: Studi Tentang Low Frustration Tolerance pada Pengguna Instagram”. Dari judulnya, kita tentu sudah dapat membayangkan bahwa kajian ini terkait dengan kecenderungan banyak pengguna media sosial untuk berburu nilai tanda (like, love, dan tanda reaksi positif yang lain) atas unggahan atau status yang dituliskan.
Keprihatinan peneliti terhadap fenomena tersebut ditindaklanjuti dengan melakukan pelacakan data dari berbagai sumber, yang hasilnya semakin menegaskan persoalan yang diangkat. Obsesif ‘like‘ dialami oleh pengguna media sosial dari berbagai usia, dan memunculkan beragam efek. Karena besarnya dorongan untuk mendapatkan apresiasi, individu tidak segan melakukan rekayasa atau manipulasi terhadap unggahannya, semata-mata untuk mengumpulkan nilai tanda sebanyak mungkin. Tidak jarang jika apreasiasi yang diperoleh tidak sebanyak yang diharapkan, individu merasakan tekanan yang semakin mendorong untuk melakukan berbagai koping negatif. Fenomena ini pun ditangkap oleh sejumlah pihak untuk mengembangkan bisnis jasa tambah ‘likes‘ dan ‘autolikes‘ di instagram dan berbagai media sosial yang lain.
Studi literatur yang dilakukan kelompok memperoleh penjelasan bahwa mereka yang menunjukkan perilaku obsesif terhadap nilai tanda di media sosial adalah individu-individu yang mengalami low frustration tolerance (LFT). LFT merupakan konsep yang menggambarkan rendahnya toleransi individu terhadap tekanan, frustrasi, ketidaknyamanan, dan emosi yang menyakitkan ketika kenyataan yang dihadapi tidak sesuai dengan harapan. Kelompok kemudian memfokuskan risetnya untuk menggambarkan lebih lanjut LFT pada pengguna instagram yang mengalami obsesif ‘like‘.
Hasil penelitian memaparkan bahwa partisipan penelitian selama bertahun-tahun telah mengalami keterikatan dengan instagram, dan memaknai instagram sebagai bagian dari hidup yang tidak dapat lagi ditinggalkan. Umpan balik orang lain terhadap segala sesuatu yang ditampilkan partisipan di instagram menjadi tolok ukur dalam menilai dirinya.
LFT pada partisipan tampak dari berbagai ungkapan kecemasan yang berulang manakala respon positif yang diterima tidak sesuai harapan. Kecemasan berlanjut dengan munculnya irrational belief, bahwa ketika sedikit yang memberikan tanda suka berarti orang lain tidak menganggap dirinya ada, orang lain mengucilkannya, segala sesuatu dalam dirinya buruk, dan sebagainya. Tidak jarang yang dilakukan kemudian adalah memberikan respon balasan yang sama kepada orang lain, semata-mata berdasarkan pemberian ‘like‘-nya, dan bukan benar-benar sebagai respon terhadap unggahan yang ditampilkan. Temuan ini secara tidak langsung telah menggambarkan pula bagaimana motif penggunaan media sosial saat ini yang pada banyak individu telah bergeser dari motif sosial ke motif personal/pribadi.
OK, cukup cerita tentang hasil riset kelompok sepuluh, sekarang berpindah ke kelompok sebelas. Judulnya adalah tentang “Rasionalitas Pelaku Public Display of Affection di Media Sosial”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan semakin banyaknya pengguna media sosial berusia remaja yang tidak segan mengunggah foto kemesraan dengan lawan jenis secara terbuka di ruang publik. Fenomena ini telah diulas oleh sejumlah riset terdahulu, dinyatakan sebagai bentuk perilaku negatif yang memberi pengaruh buruk terhadap sesama pengguna media sosial, baik yang berusia remaja hingga anak di bawah umur.
Melihat bahwa pelaku PDA bukanlah individu yang tidak memahami risiko atas perilakunya, bukan pula individu yang tidak memahami norma sosial yang berlaku di masyarakat, maka kelompok peneliti memfokuskan penggalian datanya pada rasionalitas pelaku PDA tersebut.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan, rasionalitas pelaku PDA dalam penelitian ini lebih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan protektif dan preventif terhadap hubungannya dengan pasangan. Tindakan individu yang secara konsisten berusaha menunjukkan kemesraan di media sosial merupakan representasi dari sifatnya yang posesif, tidak ingin kehilangan pasangan yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan emosionalnya.
Terakhir, presentasi kelompok dua belas yang melakukan penelitian tentang “Help Seeking Behavior Remaja Broken Home di Media Sosial”. Kelompok ini membangun latar belakang penelitiannya dari fenomena meningkatnya angka perceraian di Indonesia, yang berdampak pada semakin banyaknya jumlah anak dan remaja yang berada dalam keluarga broken home.
Anak-anak dari keluarga broken home dalam berbagai literatur disebutkan memiliki risiko tinggi untuk mengalami berbagai persoalan psikologis, ditandai oleh munculnya beragam perilaku bermasalah, termasuk di dunia online. Namun begitu kelompok juga menemukan data lain dari berbagai sumber, bahwa hal yang demikian tidak selalu terjadi. Terdapat remaja broken home yang mampu menunjukkan perilaku online baik, termasuk di media sosial.
Alih-alih menggunakan media sosial untuk menampilkan sikap dan perilaku negatif, atau menunjukkan emosi-emosi negatif di ruang publik, sejumlah remaja justru menggunakan media sosial sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan dengan melakukan help-seeking behavior. Peneliti bahkan menemukan adanya grup dalam media sosial yang beranggotakan anak-anak dari keluarga broken home. Grup ini difungsikan sebagai wadah dukungan sosial bagi anggota, yang memfasilitasi para anggotanya untuk mendapatkan pertolongan saat menghadapi berbagai situasi sulit.
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa partisipan mencari pertolongan dengan sikap membuka diri, baik untuk menceritakan persoalan maupun menerima saran dan masukan dari orang lain. Menyadari adanya keterbatasan kontak dalam media online, maka pertolongan yang diharapkan oleh partisipan juga cukup berupa kesediaan teman untuk menyimak dan memberikan saran yang dapat membantu mengatasi situasi tidak menyenangkan, sehingga partisipan mampu menemukan solusi dari persoalan yang dihadapi. Meski sederhana, bantuan ini diakui partisipan sangat berarti untuk menjaga agar psikologisnya tetap dalam kondisi baik.
Sampai di sini, saya sudah menuliskan secara ringkas seluruh hasil riset yang dilakukan oleh mahasiswa peserta matakuliah ini. Harusnya cerita selesai sampai di sini. Tapi sepertinya saya berubah pikiran. Saya akan menambahkan satu tulisan lagi tentang pokok-pokok penting yang saya tekankan pada mahasiswa dalam memahami riset kualitatif. Siapa tahu isi di dalamnya dapat membantu pembaca yang juga sedang berkutat mempelajari pendekatan penelitian ini.
So, tunggu tulisan keempat terbit ya…