Semester gasal selalu membawa energi tersendiri buat saya. Salah satu hal menyenangkan di dalamnya adalah memandu mahasiswa S1 kami untuk belajar tentang riset, melalui Matakuliah Metode dan Analisis Data Penelitian Kualitatif (MADPK). Meski sebenarnya saya juga mendampingi belajar kualitatif mahasiswa magister dan doktoral, namun proses yang terjadi di kelas mahasiswa junior ini menurut saya yang paling menarik untuk disampaikan, karena mereka pemula dalam mengenal kualitatif namun progres belajarnya luar biasa.
Berturut-turut dalam dua tahun terakhir saya sudah menceritakan bagaimana proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam matakuliah ini. Jika ada yang ingin membacanya kembali, sila klik dua tulisan berikut: Rupa-rupa Proses Belajar Kualitatif (2015) dan Catatan Belajar Kualitatif (2016).
Berbeda dari dua tahun sebelumnya dimana mahasiswa secara berkelompok dibebaskan untuk memilih topik dan area riset yang akan dilakukan, tahun ini kelas yang saya pandu menyepakati untuk mengambil satu tema besar yang memayungi judul-judul penelitian yang mereka pilih. Tema besar yang dimaksud adalah: Memahami Perilaku di Media Sosial. Mengapa? Karena kami menyadari, social media is a social life. Orang-orang ‘zaman now‘ menghabiskan begitu banyak waktu hidupnya di media sosial, sehingga memahami aneka ragam perilaku di dalamnya menjadi hal penting untuk juga dilakukan oleh mereka yang belajar psikologi.
Nah, kali ini saya lebih ingin menceritakan secara ringkas berbagai temuan yang diperoleh masing-masing kelompok dari hasil analisisnya. Total ada 12 kelompok. Karena cukup banyak, cerita hasil penelitian mereka akan saya bagi dalam 3 tulisan. Saya mulai dari 4 kelompok yang pertama dulu, sesuai urutan mereka melaksanakan seminar hasil penelitiannya.
Kelompok pertama mengambil judul penelitian: “Motif Penyebaran Ujaran Kebencian di Media Sosial”. Sebagai pembuka rangkaian seminar hasil, kelompok ini mampu memberikan stimulasi dan acuan baik bagi rekan-rekannya untuk juga menyajikan hasil penelitian masing-masing dengan sebaik mungkin.
Kelompok ini mengawali penelitiannya dengan keprihatinan terhadap maraknya penyebaran ujaran kebencian di media sosial yang dilakukan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang. Data awal yang mereka kumpulkan menunjukkan bahwa pelaku penyebaran ujaran kebencian juga berasal dari kalangan terpelajar yang semestinya dapat bersikap lebih arif, dimana pengetahuan akan informasi dan pemahamannya terhadap situasi sosial juga disertai dengan kematangan dalam berpikir dan mengambil keputusan bertindak. Kenyataan bahwa apa yang terjadi di masyarakat berbeda dari apa yang seharusnya, mendorong kelompok untuk mempertanyakan tentang motif penyebaran ujaran kebencian tersebut.
Partisipan penelitian kelompok ini adalah influencer di media sosial. Partisipan merupakan individu yang secara aktif menyebar ujaran kebencian (hate speech), dan profilnya telah berulang diberitakan di berbagai media massa. Karakteristik yang kuat dari partisipan memungkinkan peneliti memperoleh data yang kaya dan berbagai informasi menarik, meski harus ditebus dengan sekian banyak kesulitan dalam proses penggaliannya.
Hasil analisis kelompok ini menemukan adanya lebih dari satu motif yang dimiliki oleh pelaku dalam penyebaran ujaran kebencian. Motif tersebut berkembang dari yang awalnya murni bersifat pribadi, berupa dorongan (drive) untuk merespon situasi konflik interpersonal yang dialami, menjadi motif sosial yang bersifat ekonomis (incentive) untuk memperoleh penghasilan dari penyebaran ujaran kebencian yang dilakukan. Perubahan motif tersebut diantarai oleh munculnya kesadaran akan adanya keuntungan dari perilaku, yang diikuti oleh upaya membangun personal branding sebagai seorang influencer.
Sebagai hasil kerja dari sekelompok mahasiswa yang baru mulai belajar meneliti, capaian hasil analisis ini tentu wajib saya apresiasi. Mereka cukup mampu mensintesakan temuan, tidak hanya sekedar mendeskripsikan kembali bagian perifer dari cerita partisipannya.
Berpindah ke kelompok kedua, meneliti tentang “Eksistensi Diri Pengguna Aktif Instagram”. Ide penelitian berawal dari pengamatan kelompok bahwa sekian banyak pengguna aktif instagram dalam kesehariannya ternyata lebih dikenal sebagai sosok-sosok yang introvert dan tidak banyak berinteraksi dengan orang lain.
Hasil telaah literatur yang dilakukan menunjukkan bahwa individu yang introvert memiliki kecenderungan untuk mengalihkan kekurangmampuannya berinteraksi secara langsung dengan menunjukkan eksistensi yang lebih di media sosial. Berdasarkan penelitian terdahulu, hal tersebut diketahui memiliki keterkaitan dengan pemaknaan individu terhadap eksistensi dirinya di media sosial (instagram). Kelompok kemudian ingin mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana makna eksistensi diri pengguna aktif instagram yang selama ini dikenal sebagai individu introvert.
Hasil penelitian menemukan adanya keterkaitan antara bagaimana individu memaknai eksistensi dirinya di instagram dengan pemaknaan terhadap instagram itu sendiri. Partisipan penelitian memaknai instagram sebagai: (1) Ruang sosial untuk mempertahankan interaksi dengan teman tertentu yang dipandang memiliki kedekatan emosional; (2) Wadah untuk mampu mengekspresikan diri; dan (3) Tempat untuk melakukan pelepasan tekanan psikologis yang dirasakan.
Pemaknaan terhadap instagram ini memunculkan pemaknaan terhadap eksistensi dirinya di instagram sebagai langkah pembuktian diri untuk menunjukkan bahwa secara sosial individu introvert ini tetap memiliki banyak kemampuan, meski tidak banyak ditampakkan dalam kesehariannya bersama orang lain.
Kelompok ketiga meneliti tentang “Presentasi Diri Pemilik Akun Ganda di Instagram”. Kelompok ini memulai kajiannya dengan ketertarikan terhadap semakin banyaknya orang yang merasa tidak cukup apabila hanya memiliki satu akun di media sosial yang sama. Sekian banyak orang di masyarakat ternyata merasa masih kekurangan ruang untuk mengekspresikan diri meski sudah memiliki satu akun.
Kesulitan yang sempat dihadapi kelompok dalam menunjukkan data fenomena tentang gambaran jumlah pemilik akun ganda diatasi oleh mereka dengan berinisiatif membuat survei online mengenai hal ini. Ternyata ada lebih dari 200 orang responden bersedia merespon survei tersebut. Hasilnya, 64.4% responden menyatakan memiliki 2 akun di instagram, dan terdapat 25.5% responden yang bahkan memiliki lebih dari 2 akun. Anyway, luar biasa memang warga planet bumi ini di jaman sekarang. Sangat sosial media 😀
Argumentasi yang dibangun oleh kelompok menggunakan sejumlah literatur menyatakan bahwa bagaimana seseorang mempresentasikan diri secara sosial akan mencerminkan kondisi psikologisnya. Cara seseorang mengemas dan menampilkan dirinya di depan orang lain akan menunjukkan karakter diri yang sebenarnya. Sekali lagi cara mengemas atau menampilkan diri, bukan wujud dari tampilannya itu sendiri. Agak sedikit ribet ya? Harus diresapi pelan-pelan… 😀
Ketika kemudian individu memiliki banyak ruang dalam mempresentasikan diri, kelompok ini menjadi tertarik untuk menggali lebih lanjut tentang mengapa dan bagaimana presentasi diri pada akun ganda tersebut dilakukan.
Analisis data memperoleh hasil bahwa ternyata individu mempresentasikan dirinya secara berbeda pada masing-masing akun yang dimiliki. Salah satu akun dengan pengikut yang luas (beragam) difungsikan untuk menampilan diri sebagaimana diidealkan. Sementara akun yang lain dengan segmentasi pengikut yang dibatasi difungsikan untuk menampilkan diri apa adanya.
Presentasi diri yang berbeda tersebut terdorong oleh adanya perasaan tidak aman (insecure) dalam berelasi dengan orang lain, kekhawatiran yang besar terhadap pandangan negatif atau tidak menyenangkan dari orang lain. Terlebih individu menyadari bahwa karakter masyarakat saat ini semakin reaktif terhadap segala sesuatu yang ditemui.
Tak kalah menarik dari tiga kelompok sebelumnya, kelompok keempat menyampaikan hasil risetnya tentang “Motif Pelaku dan Pengunggah Foto Vulgar di Instagram”. Berawal dari kesadaran akan semakin maraknya perilaku mengunggah foto dan video vulgar di berbagai media sosial, kelompok memiliki kekhawatiran bahwa fenomena tersebut akan semakin meluas di kalangan anak muda. Hal ini dikarenakan dari hasil bacanya terhadap berbagai hasil penelitian terdahulu, kelompok mengetahui kuatnya pengaruh sebuah perilaku kontroversial yang mendapatkan banyak respon terhadap munculnya kecenderungan peniruan perilaku serupa oleh individu lain dengan beragam tujuan.
Kelompok mencermati bahwa mereka yang melakukan dan mengunggah foto vulgar bukan individu yang tidak paham tentang norma sosial. Individu tersebut memahami bahwa perilakunya tidak sejalan dengan batasan baik-buruk perilaku yang selama ini diyakini di masyarakat. Mereka mengetahui jika unggahannya dapat mendatangkan efek negatif, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Namun demikian pengetahuan tersebut tidak membuat mereka urung melakukan.
Kelompok kemudian tergerak untuk menggali mengapa fenomena tersebut terjadi. Alasan yang dibangun adalah bahwa mengetahui motif perilaku tersebut akan memberi kontribusi terhadap upaya menanganinya, sekaligus mencegah agar pola perilaku tidak tepat ini tidak semakin meluas di kalangan remaja.
Hasil penelitian menemukan bahwa perilaku berulang untuk mengunggah foto vulgar yang mempertontonkan bagian personal tubuh secara eksplisit muncul karena adanya motif sosial untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Motif ini terkait dengan body image individu dan banyaknya respon sosial yang di luar dugaan justru mendukung dan menguatkan perilaku tersebut. Respon sosial yang sedemikian menandakan adanya pergeseran norma yang diasumsikan telah terjadi di masyarakat.
Sampai di sini, terasa menarik bukan hasil-hasil riset dari para peneliti pemula ini? Tunggu kelanjutannya, saya akan ceritakan temuan 8 riset yang lain dalam tulisan berikutnya.
… to be continued …
Ping balik: Cerita dari Ruang Kuliah: 12 Riset Kualitatif untuk Memahami Perilaku di Media Sosial (Bagian 2) | Wiwin Hendriani
Ping balik: Cerita dari Ruang Kuliah: 12 Riset Kualitatif untuk Memahami Perilaku di Media Sosial (Bagian 3) | Wiwin Hendriani
Pembahasan yang menarik 👍
Terima kasih.. 🙂