Menyikapi Kegagalan

Lama tidak memperbarui isi blog. Sudah hampir dua bulan sejak tulisan yang terakhir. Kenapa? Biasalah… riweh dengan berbagai tanggungan di kampus. Dan karena sudah lama tidak bercerita di sini, agar mudah untuk mengawali lagi, saya akan mulai dari menuliskan percakapan ringan dengan Damai di sepanjang perjalanan pulang dari sekolahnya kemarin siang.

Hmmm…, percakapan lagi? Iyes, karena itu memang jurus andalan saya dalam mendampingi Damai bertumbuh dari waktu ke waktu. Saya meyakini bahwa berbagai percakapan positif setiap hari adalah jalan bagi orangtua untuk dapat menyampaikan pesan dan umpan balik dengan cara yang mudah diterima oleh anak. Sekian banyak value penting dalam hidup akan dapat dipahami dan dihayati dengan baik apabila disampaikan dengan komunikasi yang menyenangkan. Value-value tersebut akan menjadi bekal dan panduan berperilaku bagi anak dalam mengembangkan diri hingga kelak menjadi pribadi yang memiliki karakter positif.

Nah, kembali ke sesuatu yang akan saya tulis, ceritanya kemarin Damai bersama teman-temannya mewakili sekolah mengikuti lomba paduan suara untuk seleksi tingkat kecamatan. Pagi sesuai jadwal saya antar dia kumpul di sekolah, lalu siang seusai lomba saya jemput kembali si anak di sekolahnya.

Saya: Gimana tadi?

Damai: Ngeselin intinya, Mam.

Saya: Gimana-gimana?

Damai: Aku sama teman-temanku nggak lolos.

Saya: Oh… ok, berarti tim lain lebih bagus ya nyanyinya?

Damai: Jadi kan sebenarnya aku sama teman-temanku tahunya kami sudah ditunjuk sama dinas untuk mewakili kecamatan, langsung lomba di kabupaten tanggal 10 Oktober besuk. Lha ternyata SD XXXXXX itu protes, kok dinas langsung nunjuk sekolahku.

Saya: Oalah… Itu sebabnya lalu diadakan lomba hari ini untuk tingkat kecamatan?

Damai: Iya

Saya: Pesertanya berapa?

Damai: Ya cuma dua tok. Sekolahku sama SD XXXXXX itu.

Saya: Oalaaaaaahhh……. (lebih panjang dah). Jadi beneran cuma untuk merespon protes itu?

Damai: Kayaknya gitu, lha buktinya pengumuman lombanya ndadak dan memang cuma dua aja yang ikut. Udah gitu ngeselinnya Mam, peserta udah datang, orang dinasnya itu baru datang 1,5 jam kemudian. Jadi kitanya nunggu luuuama.

Saya: Wah… ndak disiplin ya. Trus habis itu…?

Damai: Nah, pas lomba itu sekolahku nyanyi duluan baru SD XXXXXX. Semuanya plus-minus sih, tapi akhirnya mereka yang dipilih (sampai di sini suara si anak agak gemetar. Saya lirik, matanya memerah, mau nangis tapi ditahan).

Saya: That’s ok, nggak apa-apa, kan kalian sudah berusaha… sudah latihan dengan baik… (sambil saya tepuk pelan pundaknya)

Damai: Tapi tempatku itu evaluasinya cuma kurang satu aja padahal, soal suara. Suaranya nggak begitu keras sama yang bagian belakang nyanyinya agak kurang rapi sedikit. Cuma suara aja, sementara mereka nggak ada gerakan, trus dirigennya juga posisinya nutupi juri.

Saya: Hmmm… mama bisa paham kamu kesal banget (sambil saya lirik dia yang mengangguk pelan, tampak menghela napas agak panjang agar tidak menangis). Mama tahu rasanya pasti nggak enak karena kalian sudah berlatih sungguh-sungguh beberapa hari ini. That’s ok, nggak apa-apa kok sedih dikit

Damai: Iya…

Saya: Tapi, kita ndak boleh lupa kalau dalam lomba-lomba itu memang harus siap dengan segala kemungkinan hasilnya. Bisa jadi kita yang menang, tapi bisa jadi juga tim lain yang lebih baik.

Damai: Iya sih memang…

Saya: Mama yakin kamu bisa memahaminya. Hmmm… mama boleh punya pikiran agak lain ndak? (bertanya dulu pelan-pelan, agar nanti dia juga mudah menerima yang akan saya katakan)

Damai: Boleh…

Saya: Jadi mama terpikir dua hal. Pertama soal SD XXXXXX yang memprotes keputusan dinas langsung menunjuk sekolahmu mewakili kecamatan itu. Mama mencoba memahami, memang mungkin masuk akal dan wajar kalau mereka tidak terima. Coba sekarang kalau dipikir, ada berapa SD dalam satu kecamatan ini?

Damai: Ya banyak.

Saya: Betul. Dan dari semua SD yang ada, apakah murid-murid yang pandai menyanyi hanya berkumpul di satu sekolah? (saya toleh, Damai menggeleng). Ya benar, mungkin saja di sekolah-sekolah yang lain juga banyak anak yang pandai menyanyi dan punya paduan suara juga seperti sekolahmu. Nah, kalau dinas langsung menunjuk tanpa memberikan alasan yang jelas, menurut mama wajar jika kemudian sekolah yang tidak ditunjuk berusaha mengupayakan kesempatan yang sama untuk murid-muridnya. Dibayangkan saja misal posisinya berkebalikan, SD XXXXXX yang ditunjuk dan sekolahmu tidak, tanpa diberikan penjelasan yang buat sekolahmu memadai, rasanya fair tidak?

Damai: Enggak

Saya: Nah… bisa memahami maksud mama berarti ya?

Damai: Iya sih, Mam.

Saya: Makanya kalau menurut mama, SD XXXXXX tidak salah kalau kemudian menyampaikan ketidaksetujuannya, lalu meminta dilakukan seleksi.

Damai: Yang nggak asik dinas kayaknya.

Saya: Hehehe…, mama sependapat. Harusnya dari awal sekalian dibuat terbuka aja lombanya tingkat kecamatan. Kalau memang mau pakai jalur kompetisi. Biar sekolah-sekolah yang lain juga bisa ikut. Ada kesempatan yang sama buat anak-anak yang lain. Fair saja, mana yang terbaik dia yang mewakili kecamatan. Atau kalau memang akan menunjuk langsung salah satu sekolah untuk mewakili, ya harus dikomunikasikan dengan jelas dan terbuka dasar penunjukkannya sehingga bisa diterima oleh yang lain.  Atauuuuu… sekalian aja dari dinas pusat nggak usah bikin-bikin acara lomba atau kompetisi. Bikin pentas bersama paduan suara aja antar sekolah yang dikelola masing-masing wilayah.

Damai: Iya bener, nggak nanggung kayak tadi.

Saya: Nah, lalu hal kedua yang ingin mama bahas adalah soal pemenangan padusnya SD XXXXXX itu.

Damai: Gimana menurut Mamski?

Saya: Sekali lagi mama paham betul kecewamu dan teman-teman. Mama pernah juga merasakan kekesalan serupa waktu dulu jaman sekolah. Bisa dibayangkan nggak enaknya… Cuma sepemahaman mama, di lomba-lomba vokal itu, mau solo, duet, maupun paduan suara, hasil penilaian suaranya memang akan menjadi penentu utama. Bobot nilai paling besar ya di vokalnya itu, yang lain sifatnya penunjang. Kamu bisa mengamati dari video-video kompetisi choir yang bagus di youtube, ada banyak juga yang tingkat internasional gitu, biarpun misal ada yang kostumnya lebih keren, koreografinya bagus, tapi kalau nyanyinya kurang, suaranya tidak padu harmonis, ya dia tidak akan menang. Sebaliknya, outfit sederhana, koreo nggak neko-neko asal rapi aja, tapi suaranya unggul, nyanyinya bersih nggak ada yang salah, ya dia yang skornya lebih tinggi. Pernah ngamati kan?

Damai: Iya sih

Saya: Jadi nggak apa-apa hari ini belum berhasil. Kalian tetap hebat dan sudah belajar banyak. Ngomong-ngomong, dari obrolan beberapa menit ini, apa yang kamu rasakan?

Damai: Aku… lebih paham sesuatu yang tadinya nggak kepikiran, Mam. Trus rasanya kesalnya berkurang. Sempat mikir barusan, buat apa juga tadi ngomel-ngomel ya, hehehe

Saya: Good! Pemahamanmu juga bertambah. Ada proses belajar yang lain juga tentang bagaimana mengelola emosi ketika mengalami kegagalan atau hasil yang nggak sesuai harapan. Belajar untuk berpikir dari sudut pandang yang berbeda, belajar tentang berbagai kemungkinan menghadapi penyelenggara lomba yang kadang mengesalkan, belajar tentang bagaimana kriteria penilaian lomba paduan suara, dan yang nggak kalah penting adalah belajar untuk sportif menerima hasil, bukan reaktif lalu emosi terus-terusan, tidak terima karena merasa sudah bekerja keras.

Damai: Hehehehe… iya.

Saya: Masih tetap semangat kan?

Damai: Masih kok. Kita mampir beli burger yuk, Mam.

Saya: Okedeh, buat obat sisa kecewanya ya, hihihi… Nanti kita belok Taman Pinang 😀

Iklan

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s