Obrolan sambil nemani Damai sarapan beberapa hari yang lalu, tergelitik oleh berita arak-arakan penghargaan kebersihan yang sungguh menarik bagi kami.
“Do you think that this city deserve to get adipura?”, tanya saya.
“Emmm…, no. I don’t think so..” jawab si anak sambil mengunyah telur ceploknya.
“Why?”
“Duh Mam, di banyak tempat umum dan pinggir jalan itu lho sampahnya banyak. Termasuk di alun-alun tu, tiap kita kesana semua juga bisa lihat gimana kotornya”
“Yup. Warga juga belum semua sadar untuk njaga kebersihan. Sampai kahuripan yang sudah dibangun bagus pun taman-tamannya, giliran sudah kena anak-anak nongkrong, sampahnya langsung bertebaran dimana-mana. Eman. GOR, taman pinang juga, dan banyak tempat yang lain. Keluar pintu tol aja, tiap lirik taman kecil yang ada di tengah jalan itu, tumpukan kertas bukti bayar tol juga berserakan. Kok bisa dapat adipura itu asli mama nggak paham..”
“Aku juga. Mungkin yang menilai perlu diberi masukan, menilainya jangan di waktu tertentu yang jadwalnya diberitahukan.”
“Betul. Soalnya di hari itu pasti serba disiapkan, sementara hari-hari lainnya kembali ke kondisi semula yang bikin geleng-geleng kepala”.
Pembicaraan terhenti sampai di sini karena Damai harus segera mandi dan berangkat ke sekolah.
Pagi berikutnya, obrolan pun berlanjut dengan masih berteman telur ceplok.
“Yuk nglanjutin diskusi kemarin, mencermati sekitar kita..”
“He’eh…” mengangguk sambil asik mengunyah si telur.
“Mama pengen tahu ni, kalau menurut pendapatmu, pendapat anak-anak, kalau sebuah penghargaan itu nggak sejalan dengan kondisi sebenarnya…”
“Ya nggak ada artinya.”
“Tapi trus dibangga-banggakan, sampai diarak-arak. Dan itu terjadi di banyak tempat.”
“Iya. Nggak cuma di sini. Padahal orang-orang sebenarnya juga tahu, merasakan gitu aslinya gimana”, sahut Damai.
“Kenapa ya itu terjadi? Fenomena ini menurut Mama terjadi di banyak hal. Nggak cuma urusan lomba kebersihan.”
“Emmm… sepertinya orang-orang masih senang dengan juara-juara.”
“Terjadi juga di sekelilingmu?” tanya saya.
“Iya.”
“Orientasi prestasi. Memburu gelar juara, hasil-hasil yang dinilai prestisius meskipun kadang sebenarnya nggak sesuai kenyataan. Kalau prosesnya jujur, sportif, fair, dan tidak berlebihan menyikapinya menurut Mama masih nggak apa-apa. Tapi kenyataannya nggak semua begitu..”
“Aku mikirnya malah akhirnya nggak sedikit yang menang juara pakai suap.”
“Eh, kok kamu tahu soal suap? Menarik ini…” tanya saya penasaran.
“Ya tahu aja. Ada banyaklah cerita-cerita begitu.”
“Apa pendapatmu?”
“Ya nggak bener. Cuma kadang di anak-anak itu aku lihat juga terjadi”, kata Damai.
“Oya?”
“Misalnya ni ya yang paling sederhana aja, minta contekan pas ujian, trus nanti kalau yang dimintai contekan itu mau ngasih, sesudahnya ia bakal dibalas dengan dikasih imbalan apa gitu. Menurutku itu juga bakal jadi kebiasaan nyuap nantinya”.
“Wah… daebak! 😍 (sila buka kamus Korea ya!) Kamu mencermati banyak hal di sekitar. That’s good! 👍 Mampu menganalisis dan berpikir kritis terhadap hal-hal yang kita temui itu baik. Penting malah. Biar nantinya punya sikap dan tidak membeo saja dengan apa yang terjadi di sekeliling.”
Saya sangat setuju sekali dengan isi diskusi ringan seperti diatas. Memang, kita tidak bisa mengelak kalau masyarakat kita sekarang lebih berorientasi pada prestasi, tujuan akhir dan tidak pada prosesnya yang akan memberikan hasil yang dapat bertahan lebih lama. Kenikmatan dan kesenangan sesaat lebih menggoda dibandingkan pengorbanan untuk kenikmatan yang bertahan lebih lama. Tentu saja ini hanya pendapat saya pribadi..hehehehe.
Terima kasih banyak atas tulisannya Ibu, saya senang sekali bisa mampir disini.
Salam.
Terima kasih juga, Mba Ayu Frani. Salam kenal ya..