Insight dari Ruang Kuliah: Orangtua yang Tak Boleh Berhenti Mengelola Diri

Salah satu bagian menyenangkan dari sebuah proses belajar adalah ketika melihat mahasiswa menemukan insight dalam belajarnya. Sebuah pemahaman mendalam dari apa yang sedang dipelajari, yang membuatnya mampu melihat keterkaitan antar objek, peristiwa, atau perilaku, serta menjelaskan apa maknanya. Insight membantu individu untuk dapat menerapkan segala sesuatu yang telah dipelajarinya secara tepat. Nah, insight yang akan saya ceritakan ini muncul di kelas Positive Parenting, salah satu mata kuliah yang saya ampu di Magister Psikologi Profesi.

Hari itu saya memulai pertemuan dengan mengajak mahasiswa terlebih dahulu merenungkan bersama, bagaimana perkembangan anak-anak di tengah perubahan jaman yang begitu dinamis seperti saat ini. Adakah perubahan pola perilaku dibandingkan sekian waktu yang lalu? Tanpa berpikir lama, serempak seluruh mahasiswa mengatakan YA, lalu menyambungnya dengan serangkaian data yang mereka tangkap dari sekitar tentang perubahan yang dimaksud.

Sebagaimana pernah saya tuliskan, setiap jaman dengan segala kondisinya memang membawa berbagai konsekuensi bagi individu yang hidup di dalamnya. Baik konsekuensi positif dengan meningkatnya kemampuan-kemampuan tertentu, maupun negatif dengan munculnya berbagai permasalahan perilaku yang baru. Ketergantungan terhadap teknologi, adiksi terhadap gawai, pergaulan bebas, kecenderungan menurunnya ketrampilan sosial, serta problem kemandirian adalah beberapa diantara tantangan yang harus dihadapi oleh pada orangtua saat ini terkait perkembangan anak. Tantangan yang semakin menempatkan pengasuhan sebagai suatu proses yang tidak mudah untuk dilakukan.

Saya mengajak mahasiswa lebih jauh mencermati berbagai kejadian di sekitar yang seringkali kita alami dan memberi petunjuk penting bahwa perubahan kecenderungan berperilaku pada anak sangat terkait dengan banyaknya perubahan dalam diri orangtua saat ini.

Satu contoh, saya bercerita tentang suatu hari saat naik taksi pulang dari kampus, pak supir mengeluhkan tentang penghasilannya yang minim dan cenderung berkurang beberapa waktu terakhir karena berbagai sebab. Ia dan istri harus ekstra mengatur keuangan yang terbatas agar cukup untuk memenuhi berbagai keperluan keluarga. Selang beberapa menit kemudian, pak supir tiba-tiba menanyakan apakah saya tahu kisaran harga sebuah tablet. Saya tanya untuk apa, ia mengatakan untuk membelikan anaknya.

Jawaban ini kontan membuat saya berpikir, bukankah beberapa menit yang lalu ia mengeluhkan tentang kondisi keuangannya yang cukup sulit? Seolah mendengar apa yang saya pikirkan, pak supir kemudian menjelaskan bahwa ia tidak tega menolak permintaan anaknya yang masih SD untuk juga memiliki tablet seperti teman-teman sekolahnya. “Kasihan Bu, soalnya teman-temannya pada punya, dia ndak punya sendiri”, tuturnya tentang alasan dari pilihan sikap yang diambil.

Mendengar ini, mahasiswa saya geleng-geleng, ada yang tersenyum penuh arti. Saya menyampaikan bahwa kejadian lain yang serupa cerita pak supir taksi ini cukup banyak terjadi di sekeliling kita, dalam bentuk yang beragam. Saya menanyakan apa yang mereka pikirkan. Beberapa menyampaikan keheranan, mengapa pak supir tersebut tidak memilih untuk memberikan pengertian pada anaknya. Bukankah itu juga bagian dari proses mendidik? Agar anak dapat belajar berempati, peka terhadap kondisi di lingkungannya, dapat belajar mengelola keinginan, belajar tentang bagaimana harus mengatur prioritas dalam pemenuhan kebutuhan, dan sekian banyak pelajaran positif lain yang jauh lebih penting.

Saya tersenyum melihat mereka menyadari bahwa orangtua dalam contoh tersebut sebenarnya punya pilihan lain yang mengandung perbedaan hasil belajar pada anak. Jadi ini memang tentang pilihan sikap dan perilaku orangtua yang menjadi sumber belajar anak kemudian.

Contoh lain, saya meminta mahasiswa untuk mengingat kembali, sepanjang pemahaman mereka apa topik-topik utama yang menjadi obrolan para orangtua di berbagai komunitas sosial, salah satunya dalam group-group whatsapp. Obrolan sederhana yang bermakna, dan memberi petunjuk tentang berbagai pilihan lain dari sikap orangtua dalam pengasuhan putra-putrinya kemudian, apakah serba diliputi dengan kekhawatiran, berbagai bantuan yang serba memudahkan, atau sebaliknya, sikap-sikap yang memandirikan dan lebih menekankan tanggung jawab.

“Ada apa Mam?”, tanya Damai sewaktu melihat saya mengecek WA.
“Ini, bunda-bundanya temanmu nanya PR”
“Lagi?”, tanyanya sambil geleng-geleng.
“Ya biasa seperti ini…”
“Padahal lho kalau di kelas itu juga sudah dijelaskan. Anak-anak juga nyatat”, kata Damai.
“Mungkin para bunda ini kurang yakin sama catatan putranya. Khawatir kalau salah…”, tebak saya.
“Harusnya percaya aja…”, protesnya.
“Ya mungkin bunda-bunda ini sudah hafal kalau putra/putrinya sering kurang memperhatikan kalau ada pengumuman”, tebak saya lagi.
“Mam, justru anak-anak itu kalau tahu bundanya selalu menanyakan ulang setiap tugas, ya mereka tambah nggak memperhatikan. Mereka mikirnya malah buat apa repot memperhatikan penjelasan guru, toh nanti bundanya juga bakalan nanya-nanya di grup ortu”, jelasnya kemudian
 😀

Tulisan lama saya, Karena Kita pun Terlibat, tiga tahun yang lalu telah memberikan catatan bahwa seorang individu memunculkan pola perilaku tertentu, apalagi sampai usia menjelang dewasa tentu bukan tanpa sebab. Perilaku terbentuk karena adanya proses belajar. Dan dalam proses belajar tersebut, banyak pihak ikut berperan menentukan hasilnya. Memang tidak hanya orangtua. Ada teman, saudara, tetangga, media massa dsb yang turut memberi stimulasi perilaku pada anak. Tapi sebagai orang yang terdekat dengan anak, sebagai pendidik utama anak, pilihan sikap orangtua akan memberi pengaruh paling besar dibandingkan yang lain.

Mekanisme dukungan dan kontrol orangtua lah yang pada akhirnya akan dapat mendorong terbentuknya perilaku yang diinginkan sekaligus mengendalikan munculnya perilaku yang tidak diharapkan. Dengan kata lain, pengasuhan orangtua yang efektif tetaplah tameng yang dapat melindungi anak dari berbagai pengaruh lingkungan, sehingga tidak terjebak pada pola perkembangan yang negatif. Hanya saja, tidak semua orangtua menyadari akan hal ini, sehingga tanpa sadar justru memfasilitasi atau bahkan memberi contoh pada anak untuk ikut memunculkan sikap dan perilaku yang kurang tepat.

Catatan tersebut agaknya masih relevan dan mungkin akan terus relevan dalam membahas perjalanan perkembangan seseorang. Kembali ke aktivitas kelas, saya menanyakan apa saja yang kemudian dapat disimpulkan oleh mahasiswa dari ilustrasi-ilustrasi tersebut. Berikut tiga diantaranya:

1. Perubahan pola perilaku anak mengikuti perubahan pola perilaku orangtua

Benarkah demikian? Sebab selama ini yang lebih banyak kita dengar adalah keluhan dari sisi orangtua tentang karakter anak jaman sekarang yang berubah sehingga membuat orangtua harus banyak memaklumi dan mentoleransi. Berbagai sebutan generasi A-B-C kerap dijadikan sumber pembenaran oleh sejumlah orangtua terhadap perilaku pengasuhannya. “Anak-anak jaman sekarang ya begitu itu. Bagaimana lagi…”, kurang lebih seperti ini yang sering diucapkan.

Namun sekian banyak kejadian juga menunjukkan bahwa perubahan karakter anak antar jaman memang mengikuti bagaimana orangtua menstimulasi perkembangan mereka, mendidik dan menekankan berbagai value melalui pengasuhan yang diterapkan, maupun contoh-contoh perilaku yang dihadirkan di depan anak. Anak-anak menjadi cenderung kurang kurang mandiri karena dari kecil terbiasa diberikan banyak bantuan. Anak-anak menjadi kurang peka etika sosial ketika berinteraksi dengan orang lain karena sejak kecil hal ini tidak pernah menjadi perhatian orangtua, yang senyatanya lebih banyak peduli dengan persoalan-persoalan akademik dan sekolah. Jadi ini serupa rumitnya menjawab mana yang lebih dulu ada antara ayam dengan telur.

Saya pribadi meyakini yang kedua, bahwa perubahan pola perilaku anak mengikuti perilaku orangtua yang berubah lebih dahulu karena berbagai faktor: Paparan teknologi, perubahan gaya hidup, kondisi peran ganda, dan sebagainya. Anak tumbuh dan berkembang memunculkan pola-pola perilaku tertentu adalah hasil dari proses belajarnya dari lingkungan.

2. Orangtua sejatinya punya banyak pilihan

Dalam setiap kesempatan bersama anak, setiap dari orangtua mempunyai pilihan-pilihan sikap dan perilaku. Mana yang dipilih akan mengandung konsekuensi masing-masing dan menentukan apa yang dipelajari oleh anak. Duduk santai bersama anak, ada pilihan untuk tetap sibuk sendiri dengan smartphone atau mengajaknya membicarakan berbagai pengalaman yang memperkuat pemahamannya tentang sekitar.

Melihat anak sibuk mengerjakan PR, orangtua punya pilihan untuk memberinya kesempatan belajar mengerjakan tanggungjawabnya sendiri dengan hanya sesekali memberi penguatan, atau memilih untuk banyak membantu dan bahkan mengambil alih agar anak memperoleh nilai bagus.

Ketika anak bercerita tentang teman yang nakal padanya, ada pilihan untuk langsung turun tangan memarahi teman yang dimaksud, atau memilih untuk mendorong anak agar lebih asertif, berani menyampaikan ketidaknyamanannya pada teman dengan cara yang baik agar kelak ia memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan konflik secara mandiri.

Saat berhadapan dengan berbagai macam tren di sekitar, orangtua memiliki pilihan untuk mudah mengikuti apa yang sedang jamak dilakukan oleh orang lain atau memberikan contoh pada anak tentang bagaimana menjaga prinsip dan melakukan segala sesuatu dengan alasan yang tepat, bukan sekedar membeo.

Jadi mengasuh adalah juga tentang memilih sikap dan perilaku yang akan ditunjukkan di depan anak dan menjadi sumber belajar bagi mereka.

3. Pentingnya selalu mengelola diri dengan baik

Jika kita cermati, sekian banyak keputusan orangtua terhadap anak juga diliputi oleh berbagai pengalaman dan kepentingan orangtua sendiri. Memang kenyataannya sangat sulit memisahkan antara apa yang sebenarnya lebih diinginkan oleh orangtua, dengan apa yang diinginkan oleh anak. Justifikasi terhadap kebutuhan anak seringkali lebih didominasi oleh kebutuhan orangtua sendiri.

Tidak jarang kita juga menemui orangtua yang mengatakan “Saya dulu sudah pernah merasakan hidup susah. Kalau bisa sekarang jangan sampai anak saya juga merasakannya”. Positifnya, kalimat ini menunjukkan besarnya kasih sayang orangtua yang tidak menginginkan segala hal buruk menimpa perjalanan hidup anak. Namun apabila tidak dikelola, semangat baik ini pada akhirnya juga bisa menjebak orangtua dalam berbagai pilihan pengasuhan yang justru membuat anak menjadi individu yang tergantung dengan segala pembiasaan yang serba memudahkan. Anak terbiasa memaksakan keinginan, kurang peka terhadap kondisi sekitar, labil secara emosi, menjadi pribadi yang kurang tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan, dan sebagainya.

Di ujung pertemuan, saya menutup kelas hari itu dengan menekankan bahwa untuk dapat mengasuh anak agar kelak menjadi individu handal dan memiliki karakter personal yang baik, langkah pertama yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah mengelola dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebab pengasuhan yang positif bukan semata tentang teknik mendampingi tumbuh kembang anak, tetapi juga tentang bagaimana orangtua mampu menempatkan diri, memilih secara tepat, serta menyadari berbagai konsekuensi dari pilihan demi pilihan sikap dan perilaku selama melaksanakan tanggung jawabnya tersebut.

4 thoughts on “Insight dari Ruang Kuliah: Orangtua yang Tak Boleh Berhenti Mengelola Diri

  1. Selamat siang Bu Wiwin. Saya Dayu, mahasiswi Psikologi Unair. Saya hari ini kebetulan mampir ke blog ibu dan keterusan membaca beberapa artikelnya. Lalu tergelitik untuk menuliskan komentar.

    Saya agak tertohok dan beberapa kali bergumam setuju ketika membaca artikel ini bu. Karena jujur, masih melekat di hati saya ttg bagaimana tidak enaknya ketika orangtua saya secara verbal atau non verbal seolah mengontrol saya. Setiap apa yg saya lakukan selalu dicurigai, bahkan seolah menganggap saya tidak bisa apa-apa. Sehingga saya sering diminta untuk tidak melakukan sesuatu yg menurut mereka hanya akan wasting time, padahal itu hobi saya. Akhirnya saya sering minder duluan dan tidak berani mencoba. Tapi dari dulu saya juga tidak berani terlalu berargumen dengan orangtua saya karena saya berpikir mungkin memang saya yang kurang tangguh.

    Tapi saya bersyukur menemukan blog ini bu. Saya berusaha belajar banyak dan memahami sudut pandang orang lain dari tulisan-tulisan ibu. Dan juga, senang sekali rasanya melihat sosok ibu yang sangat supportif kepada Damai. Terimakasih banyak sudah menuliskan artikel-artikel ini bu, sangat menginspirasi 🙏

    • Dayu, terima kasih banyak responnya.
      Dalam kondisimu sekarang yang mungkin sudah masuk fase dewasa awal dimana pengalaman-pengalaman tersebut sudah terlewati sekian waktu yang lalu, terpenting adalah mencoba memahami dinamika mengapa orangtua bersikap sedemikian mengontrol. Tentu ada sebabnya dari pengalaman dan perjalanan hidup beliau. Apapun, meski sempat menjadi ganjalan, kita olah saja untuk diambil pelajarannya. Entah dari evaluasi terhadap pola pengasuhan beliau maupun pilihan respon kita sendiri yang mungkin juga sempat tidak asertif, sehingga ikut membuat kondisi berlangsung lama.
      Semoga ke depan kita bisa melakukan yang lebih baik… 🙂

Tinggalkan Balasan ke Wiwin Hendriani Batalkan balasan