Damai, Ujian Royal, dan Sebuah Catatan Reflektif untuk Diri Sendiri

Jika ada pembaca yang berteman facebook dengan saya dan online beberapa hari terakhir, tentu pernah membaca percakapan antara saya dengan Damai berikut ini:

Saya: Kamu senang bermain piano ini?
Damai: Lebih dari senang.
Saya: Kalau ujiannya nanti?
Damai: Ya aku memang mau ikut ujian royal.
Saya: Untuk apa?
Damai: Buat pengalaman, apalagi yang nguji orang asing. Trus biar aku tahu juga dari evaluasinya, aku kurangnya dimana, sudah bagusnya dimana.
Saya: Trus buat apa kalau sudah tahu evaluasinya?
Damai: Ya biar aku bisa memperbaiki kalau masih ada yang kurang, jadinya permainanku bisa lebih bagus lagi. Kalau aku main pianonya bagus, orang yang dengar kan juga lebih bisa menikmati.
Saya: Okesip, sepakat. Yang penting belajarnya ya, karena ujian adalah bagian dari proses belajar itu sendiri. Dan tujuan belajar bukan untuk mencari nilai/hasil ujian, tetapi agar kita semakin mahir melakukan sesuatu yang kita pelajari.

Percakapan tersebut adalah salah satu bagian dari rangkaian pembicaraan yang sengaja saya lakukan sebagai upaya untuk mengembalikan semangat dan fokus Damai dalam belajar piano. Setelah beberapa waktu sempat pecah arah karena beberapa hal.

Alarm tanda waspada saya sebenarnya sudah berbunyi sejak lebih dari sebulan terakhir. Tapi kemudian semakin mengeras sekitar 2 minggu yang lalu saat saya melihat Damai yang menjelang Hari-H agenda besar Ujian Royalnya masih banyak melakukan kesalahan dalam berlatih. Bahkan kemampuannya selama ini yang cukup baik dalam menghayati lagu pun tak kunjung tampak. Yang ada hanyalah bermain ala kadarnya dengan lepas konsentrasi, terburu-buru, dan bahkan enggan berinteraksi lama dengan pianonya. Saya amati, ia jauh lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai, entah untuk sekedar mendengarkan musik, mengakses youtube atau instagram. Membaca buku pun senasib dengan piano, berkurang drastis, apalagi menulis di blog.

Kondisi gawat, pemirsa!!!

Awalnya sempat ingin langsung mengajak Damai bicara. Tapi kemudian saya urungkan karena saya tidak mau reaktif. Pengalaman lama mengingatkan bahwa setiap kali saya reaktif, yang keluar adalah kalimat-kalimat bernada emosional. Dan ketika kalimat jenis itu yang muncul, hasilnya bukan perbaikan segera seperti yang diharap, melainkan untaian emosi negatif yang sambung-menyambung baik dari saya maupun darinya 😀

Sebelum mengoreksi yang lain-lain, saya mencoba mencari jawaban atas kondisi Damai ini pada diri saya sendiri lebih dahulu. Saya ingat-ingat, apa yang berbeda akhir-akhir ini pada saya, dalam kaitannya dengan proses belajar Damai. Dan ternyata bukan hal yang sulit untuk menemukannya: Saya kurang meluangkan waktu untuk fokus menemaninya berlatih.

Apakah sebesar Damai masih harus ditemani setiap kali berlatih sesuatu? Tidak, dia bisa melakukannya sendiri. Tapi seoptimal apa proses dan hasilnya tentu akan berbeda antara jika dibiarkan begitu saja dengan ketika anak memperoleh apresiasi dan penguatan yang kontinu atas usahanya. Dan selama beberapa waktu terakhir, tugas pekerjaan saya yang padat ternyata benar-benar menyita energi sehingga sedikit yang tersisa untuk bisa intens menguatkan Damai di setiap waktu-waktu berlatihnya.

Salah pekerjaan? Bukan. Tidak baik membiasakan diri mencari kambing hitam. Salah saya yang tidak imbang dalam mengelola waktu sehingga cenderung berat sebelah di saat anak juga sedang memerlukan perhatian yang lebih. Sewaktu berada di rumah, saya memang ada bersama Damai saat ia berlatih piano. Ada menungguinya, duduk bersebelahan karena posisi piano dengan meja kerja saya memang berdekatan. Tetapi saya sadari kemudian bahwa belakangan saya sering menemani Damai dengan perhatian yang tetap mengarah pada pekerjaan yang sedang saya selesaikan. Saya banyak tidak fokus ke permainan Damai karena menganggap dia sudah makin besar sehingga apa-apa sudah harus bisa mengelola sendiri. Tanpa sadar saat itu saya banyak menekankan padanya untuk semestinya begini dan begitu. Saya hanya memposisikan diri sebagai pengontrol dan komentator.

Duh, apa-apaan ini. Kalau saya dalam posisi Damai tentu juga tidak akan suka jika ibu saya bersikap demikian 😦

Kalau masih ingat tulisan saya tiga tahun yang lalu tentang bagaimana membiasakan diri membantu Damai berlatih piano, ternyata saya tidak lagi optimal pada poin ketiga dan kelima. Sedih sekali ketika menyadarinya. Dengan mata dan pikiran yang seringkali tetap bertahan pada pekerjaan, saya menjadi kurang antusias dalam menyimak bagaimana ia berlatih. Apresiasi yang saya berikan atas usaha Damai pun rasanya hanya sebuah otomatisasi yang saya ucapkan sekedarnya, tidak benar-benar dengan penuh perhatian. Tambah diingat tambah menyesakkan ini sebenarnya. Betapa saya lalai sehingga kurang memberikan suplemen yang ia butuhkan untuk terus mempertahankan dan memompa semangat belajarnya.

Sampai di sini, saya jadi membayangkan, mungkin beberapa waktu terakhir ini Damai juga merasakan bahwa saya tidak sungguh-sungguh memperhatikan apa yang sedang dilakukannya. Bahwa saya lebih seperti mandor yang mengawasi dan mengomeli ketika ia malas belajar/berlatih, yang hanya bertindak manakala proses dan hasil belajarnya tidak sesuai dengan harapan. Sebuah pantangan yang sebenarnya sudah saya tulis sejak empat tahun yang lalu 😦

Jadi simpulannya, terlepas dari beberapa faktor lain yang juga turut menyangatkan perubahan kondisi Damai, saya adalah orang pertama yang harus membenahi diri selagi tepat momen juga dengan adanya Ujian Royal ini. Apa yang kemudian saya lakukan? Tentu memperbaiki kelalaian: Mengembalikan diri untuk bisa bersikap tepat sebagai pendukung utama Damai dalam belajar; Mengajak Damai berbicara dan mendiskusikan apa yang telah terjadi dan bagaimana mengembalikan antusiasme berlatihnya; serta Membahas bersama guru piano Damai tentang hal-hal yang perlu dilakukan untuk mendorong kembali progres belajarnya yang sempat melambat.

Perlahan, situasi membaik. Beberapa hari sesudahnya kesadaran dan semangat Damai untuk berlatih pun pulih. Dan dua hari yang lalu Ujian Royal ABRSM untuk Grade 3 sudah dilewatinya.

Saya: Jadi gimana?
Damai: Wis, lega Mam, hehehe…
Saya: Aman?
Damai: Ada yang aman, ada yang begitulah 😁
Saya: 😄.. Trus, apa yang kamu pikirkan sekarang?
Damai: Aku penasaran banget sama feedbacknya penguji. Pengen tahu apa catatan-catatan masukannya.
Saya: Pengujinya sama dengan yang dulu?
Damai: Beda. Tapi yang pasti aku hepi, Mam. Dan aku masih semangat ikut ujian lagi berikutnya 🤗

I’m glad to hear that. Sebagaimana selalu saya tekankan pada Damai, yang terpenting adalah bagaimana ia menjaga komitmennya. Karena hasil yang baik akan mengikuti proses belajar yang juga baik. Kelak ia sendiri yang akan memperoleh manfaat dari kemahirannya yang terasah dengan ketekunannya dalam berlatih.

Ujian hanyalah alat bantu untuk mengevaluasi kemajuan belajar di setiap tahapannya. Jadi tujuan dari belajar sebenarnya adalah perkembangan kemahirannya dalam melakukan sesuatu. Bukan semata baik-buruknya nilai ujian. Sebab jika nilai yang dikejar, orang akan tidak segan berbuat curang, menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan angka-angka tertentu. Atau memilih bermain jurus-jurus instan dan sistem kebut belajar dalam waktu singkat hanya untuk memaksimalkan capaian hasil seperti yang kerap terjadi di banyak tempat. Akibatnya, hasil yang tertulis di atas kertas seringkali tidak sejalan dengan kemampuan yang sebenarnya. Lalu apa gunanya?

Menutup catatan reflektif ini, di luar kebiasaan yang pernah diikuti Damai sebelumnya, ternyata kemarin web resmi ABRSM sudah merilis nilai peserta yang sudah melalui ujian, meskipun feedback tertulis dari penguji baru akan dikirimkan menyusul. Sangat cepat, tidak perlu menunggu berminggu-minggu.

Saya (dengan wajah datar dan pasrah): Hasil ujian royal sudah keluar, Mai.
Damai: Lho, beneran? Kan baru kemarin ujiannya… (sambil mengamati dengan cermat ekspresi saya)
Saya: Iya. Tadi diberitahu Ms Mita. Dipotretkan nilaimu dari webnya ABRSM.
Damai: Trus gimana Mam? (tampak raut khawatir melihat saya yang datar dan serius, serupa ekspresi tiap kali akan mengajaknya mengevaluasi sesuatu)
Saya: Seperti kita sudah bahas kapan hari, mama menerima apapun hasilnya, baik maupun buruk. Tidak apa-apa, yang penting kamu tidak berhenti belajar.
Damai: Iya Mam… (wajahnya antara tegang dan pasrah, berusaha siap mendengar berita tidak menyenangkan). Jelek ya?
Saya: Prediksimu gimana?
Damai: Mungkin… nggak nyampe ‘merit’. Mungkin hanya ‘pass’…
Saya: Kenapa begitu?
Damai: Aku sadar kemarin beberapa waktu sempat nggak serius belajar. Sempat nggak fokus juga waktu di ujiannya. Ya aku tahu aku kemarin nggak maksimal…
Saya: Kalau memang hasilnya seperti prediksimu, apa yang kamu pikirkan?
Damai: Ya aku kecewa dengan diriku sendiri. Tapi aku mau tetap belajar biar aku bisa ngejar apa yang kurang. Biar progresnya setelah ini lebih baik. Aku tetap senang main piano.
Saya: Baguslah kalau begitu. Ini juga jadi pelajaran penting buat mama.
Damai: Jadi… (tampak ingin menanyakan kepastian hasilnya, tapi ragu-ragu)
Saya: Tetap DISTINCTION.
Damai: HAH?! (sendok yang dipegangnya jatuh)… Yang bener???!!!
Saya: 😀 iya ternyata, masih kayak hasil ujian yang dulu. Alhamdulillah…
Damai: (bengong beberapa saat)… Yaelah Maaaaammm!!! Tiwas aku mikir yang macem-macem…
Saya: Eh taapiiiii……
Damai: Ya ya, aku tauuuu…..

Yes, mari kita tidak berhenti belajar, Memskipi. Terus belajar bersama… 😀 😀 😀

Iklan

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s