Empat Catatan dalam Meneliti Resiliensi

Melanjutkan tulisan pertama tentang materi yang saya sampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana beberapa waktu lalu, tulisan ini membahas lebih lanjut empat catatan yang perlu diperhatikan oleh peneliti sebelum melakukan kajian tentang resiliensi di berbagai konteks persoalan.

semnas-ugm

Bersama sebagian peserta yang masih bertahan hingga sesi penutupan seminar jam 5 sore

Pertama, saya memberi catatan tentang pentingnya memastikan 2 prasyarat dalam meneliti resiliensi. Hal ini saya sampaikan karena melihat tidak sedikit dari laporan penelitian mahasiswa yang ternyata belum menempatkan studi resiliensi pada konteks yang tepat. Akibatnya, selain tidak sesuai dengan pemahaman konseptual resiliensi itu sendiri, kajian yang salah tempat ini semakin memancing kebingungan pembaca atau calon peneliti berikutnya tentang apa bedanya resiliensi dengan konsep-konsep lain yang tampak serupa.

Sebagaimana dijelaskan oleh Cicchetti & Rogosh (1997), setidaknya ada dua prasyarat yang harus diperhatikan apakah peneliti dapat melakukan studi tentang resiliensi dalam sebuah fenomena yang menarik perhatiannya. Kedua prasyarat tersebut adalah:
(1) Ada tidaknya stresor atau kesulitan signifikan yang mendatangkan tekanan psikologis cukup berat bagi individu yang mengalami fenomena tersebut, dan
(2) Ada tidaknya adaptasi positif yang mampu dimunculkan oleh individu terhadap significant stressor / adversity di dalamnya.

Ahli lain (Werner, 1995; Luthar, 2000; Rutter, 2005, dsb) menegaskan pula bahwa tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh berbagai situasi tidak menyenangkan dari fenomena yang menjadi fokus kajian harus dalam taraf yang berat. Tekanan tersebut mencerminkan kesulitan yang substansial dan berisiko tinggi, atau berpotensi memunculkan krisis berkepanjangan sehingga tidak mudah diatasi oleh individu. Jadi bukan persoalan-persoalan kecil sehari-hari yang memang mengganggu tetapi relatif mudah untuk diselesaikan. Sila dicermati kembali fokus-fokus riset para ahli resiliensi berikut ini untuk mendapatkan gambaran beratnya tekanan psikologis yang dialami oleh masing-masing subjeknya:

slide10

Kedua, penting bagi peneliti untuk memastikan kokohnya pemahaman teoritik yang dimiliki tentang resiliensi ini. Jangan sampai kemudian hal yang diulas dalam kajiannya justru atribut psikologis lain yang berbeda, namun beririsan. Bagaimanapun sebuah penelitian yang kredibel harus dapat menggali apa yang semestinya digali dan mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Harus jeli, agar tidak terpeleset.

Apa bedanya resiliensi dengan hardiness? Apa bedanya resiliensi dengan adversity quotient? Apa bedanya resiliensi dengan post traumatic growth? Jika yang utama dalam resiliensi adalah unsur adaptasi positif, mengapa tidak menggunakan konsep adaptasi saja? Apa bedanya resiliensi individu dengan resiliensi keluarga? Jika ada model resiliensi yang lebih baru apakah secara otomatis model yang lebih lama akan gugur? Jika senyatanya ada sejumlah tokoh yang memberikan penjelasan teoritik tentang resiliensi, lalu penjelasan siapakah yang tepat digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak yang harus dapat dijelaskan oleh peneliti sebagai konsekuensi ilmiah atas pilihannya meneliti resiliensi.

Lepas dari kajian resiliensi, pada dasarnya kebutuhan pemahaman teoritik/konseptual yang kokoh juga harus dipenuhi peneliti dalam melakukan kajian pada topik apapun. Sebab pertanyaan-pertanyaan klarifikasi serupa di atas juga dapat setiap saat muncul ketika kita akan melakukan penelitian tentang berbagai konsep psikologi yang lain.

slide11

Sebagaimana mungkin disadari, dalam dunia psikologi ini kita kerap berinteraksi dengan sekian banyak konsep yang terkesan memiliki kesamaan pengertian. Batasan antara satu dengan yang lain sangat tipis, begitu miripnya. Semisal antara konsep diri dengan harga diri, antara adaptation dengan adjustment, dan sebagainya.

Dan kebingungan pun semakin bertambah ketika antar konsep yang berbeda tersebut dialih-bahasakan ke Bahasa Indonesia, ternyata tidak sedikit tulisan terdahulu yang menggunakan kata/istilah sama. Sama-sama menggunakan kata “penyesuaian” untuk maksud adaptasi maupun adjustment, sama-sama menggunakan istilah ketangguhan untuk membicarakan tentang resiliensi maupun hardiness, dan sebagainya. Jadilah semakin berpotensi memusingkan. Beberapa orang yang mengabaikan sikap kritis dalam melacak informasi bahkan dengan mudah menyimpulkan konsep-konsep tersebut tidak berbeda, hanya karena melihat istilah terjemahannya yang sama.

Sekali lagi harus jeli memahami sebuah konsep/teori. Begitu kita menyatakan hendak meneliti A, maka mau tidak mau harus disiplin menghasilkan data-data akurat tentang A, bukan terpeleset dengan justru menjelaskan B atau C karena keterbatasan pemahaman konseptual yang dimiliki.

Ketiga, pentingnya pemahaman peneliti terhadap konteks persoalan yang melatarbelakangi penelitiannya. Peneliti yang paham terhadap konteks persoalannya akan memiliki argumentasi kuat saat memutuskan meneliti resiliensi. Ia dapat menunjukkan signifikansi tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh stresor tertentu dalam fenomena yang menjadi fokus penelitiannya (terkait catatan pertama tentang prasyarat kajian resiliensi).

Peneliti yang memahami betul konteks persoalan penelitiannya akan mampu memilih rujukan-rujukan yang sejalan, yang memiliki kesesuaian konteks, baik dari sumber buku, artikel jurnal, maupun laporan berbagai penelitian terdahulu. Semisal ketika akan meneliti resiliensi pada anak, maka ia akan fokus mengumpulkan literatur yang juga bicara tentang resiliensi anak, bukan dari lingkup riset resiliensi nano-nano yang justru dapat melemahkan argumentasinya.

Selain itu, pemahaman terhadap konteks persoalan juga sangat diperlukan untuk memastikan kesiapan peneliti menjalani rangkaian proses lapangan dari awal hingga akhir. Pemahaman ini menentukan bagaimana nantinya peneliti mampu merancang prosedur pengambilan data yang dibutuhkan dan melakukannya dengan benar, serta menganalisis sekian banyak informasi yang diperoleh di lapangan secara tepat. Contoh ketika hendak meneliti tentang resiliensi keluarga yang berbeda konteks dengan resiliensi individu; meneliti resiliensi dalam setting persoalan rumah tangga yang berbeda dinamika dengan persoalan berbasis komunitas, dan sebagainya.

Keempat, pentingnya mengingat bahwa ada peran faktor-faktor risiko dan protektif dalam proses pencapaian resiliensi. Dikemukakan oleh Windle (1999), resiliensi terbentuk dari interaksi yang signifikan antara faktor risiko dengan faktor protektif. Faktor risiko merupakan ”mediator” atau variabel yang memfasilitasi munculnya problem perilaku (Luthar, 1999); sementara faktor protektif adalah hal-hal potensial yang memfasilitasi individu untuk mampu merancang pencegahan dan penanggulan berbagai hambatan, persoalan, ataupun kesulitan dengan cara-cara yang efektif (Hogue & Liddle, 1999).

Pemahaman ini dapat menjadi petunjuk bagi peneliti dalam mengidentifikasi berbagai variabel yang menjadi prediktor atau berfungsi mengantarai kuat lemahnya resiliensi subjek penelitian. Dalam riset yang menggunakan pendekatan kualitatif, pemahaman ini juga mengingatkan peneliti perlunya menggali di lapangan tentang hal-hal apa sajakah yang berkontribusi terhadap pencapaian resiliensi partisipan penelitiannya.

Demikian, semoga empat catatan singkat yang saya berikan dapat membantu menambah kesiapan pembaca yang mungkin akan atau sedang menyusul melakukan berbagai kajian seputar resiliensi.

resiliensi-perspektif-life-span-dan-peluang-dalam-penelitian

Iklan

14 thoughts on “Empat Catatan dalam Meneliti Resiliensi

  1. Ping balik: Resiliensi, Perspektif Life Span, dan Peluang dalam Penelitian (Materi dalam Seminar Nasional Pascasarjana) | Wiwin Hendriani

  2. Ping balik: Selamat Tinggal 2016, Selamat Datang 2017 | Wiwin Hendriani

  3. Ping balik: Menumbuhkan Resiliensi Generasi Z (Materi Seminar Nasional Pascasarjana 2018) | Wiwin Hendriani

  4. bismillah, izin meninggalkan jejak ya author.
    Saya Annisa mahasiswa unsika smst 7. saya sedang dalam proses penyusunan proposal dan judul yang saya ambil resiliensi dan self-esteem dalam bermatematika, karena berasal dari prodi pendidikan matematika.
    apa yang saya baca diatas menguatkan argumen2 penelitian dan apa2 yang mendukung penelitian. jazaakillahu khairaa bu

  5. Assalamualaikum ibu, saya ingin bertanya terkait resiliensi. Seseorang bisa memperoleh atau mengalami resiliensi karena ada beberapa faktor baik dari lingkungan dan diri sendiri yang mempengaruhi. Sebagian besar di pengaruhi dukungan sosial. Ibu saya mau bertanya bagaimana dengan anak yang berada dalam keluarga miskin, dia tidak pernah memperoleh dukungan baik di lingkungan keluarga dan sosialnya. Mungkin ibu bisa memberikan pencerahan 🙏🏼

    • Wa’alaikumsalam.. Faktor protektif itu pada dasarnya sangat beragam, Mbak Farah. Apa yang saya contohkan hanya segelintir saja dari sekian banyak yang bisa digali dari dalam diri dan lingkungan individu. Jadi jika dari 1 eksternalnya lemah, boleh jadi ada area eksternal lain yang kita luput memperhitungkan tapi sebenarnya itu sangat berguna bagi individu. Atau, eksternal lemah, tapi ada faktor protektif internal dari dalam dirinya sendiri yang justru dapat difungsikan. Misal: Kemampuannya berkomunikasi, penerimaan dirinya, religiusitasnya, dsb. Jadi tugas kita adalah menemu-kenali faktor-faktor spesifik yang dimiliki tiap individu yang sedang kita hadapi atau akan kita bantu untuk nantinya bisa difungsikan membantunya resilien.

  6. ASSALAMU ALAIKUM BU WIWIN, TERIMA KASIH BANYAK, SANGAT TERCERAHKAN MEMBACA TULISAN2 IBU TENTANG RESILIENSI.
    Saya mulai membaca dan mengenal resiliensi saat mengembangkan Model Pembelajaran Pencegahan Kekerasan terhadap Anak bagi Guru Kelas Awal SD. Setelah membaca tulisan dna ulsan2 Ibu ternyata Masih sangat banyak yang harus saya pelajari dan baca. Buku Resilensi Psikologis sangat2 membantu, ulasan2 di buku dan tulisan2 di forum ini. Semoga akan ada lagi buku-buku berikutnya tentang resiliensi yang berkaitan dengan anak usia dini. Saya dosen PGPAUD Makassar yang sagat tertarik dengan kajian ttg resiliensi.

    • Wa’alaikumsalam Wr.Wb. Alhamdulillah… senang sekali membacanya Bu. Terima kasih… InsyaAllah sedang disusun buku resiliensi berikutnya yang mudah-mudahan bisa melengkapi pengantar yang telah ada. Semoga Allah memberi kekuatan untuk segera menyelesaikannya di tengah tugas-tugas yang lain.

  7. Assalamu’alaikum Bu Wiwin. Terima kasih tulisannya sangat membantu. Saya mahasiswa semester 6 jurusan psikologi sangat tertarik meneliti resiliensi dan berencana meneliti resiliensi dalam konteks akademik untuk skripsi nanti. Jika ibu mengadakan penelitian saya ingin sekali membantu sebagai asisten peneliti untuk belajar lebih lanjut mengenai resiliensi ini dan juga penelitian :-D.

  8. Terimakasih pencerahannya Bu Wiwin. Saya suka baca tulisan ibu. Mudah dicerna dan aplikatif. Selalu ditunggu tulisan2 berikutnya. Sukses selalu 💐

  9. Terimakasih pencerahannya Bu Wiwin. Saya suka baca tulisan ibu. Mudah dicerna dan aplikatif. Selalu ditunggu tulisan2 berikutnya. Sukses selalu 💐

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s