Selama beberapa waktu baik melalui blog ini maupun email, saya menerima cukup banyak pertanyaan dari rekan mahasiswa S1-S3 yang bermaksud memperjelas pemahaman tentang seluk-beluk resiliensi. Melihat adanya sejumlah pertanyaan yang berulang antar waktu, maka saya terpikir untuk merangkum beberapa rekaman tanya-jawab tersebut untuk membantu rekan-rekan lain yang mungkin masih membutuhkan informasinya.
Tanya: Bisakah kita meneliti resiliensi pada persoalan X / Y / Z?
Jawab: Mengacu penjelasan dari Cicchetti & Rogosh (1997), setidaknya ada dua komponen yang harus ada untuk memastikan bahwa kita bisa meneliti tentang resiliensi di dalamnya, yaitu: (1) Adanya stresor/adversity yang signifikan (hal-hal/kondisi yang mendatangkan kesulitan dan tekanan yang cukup berat), dan (2) Adanya adaptasi positif yang mampu dimunculkan individu terhadap stresor/adversity tersebut. Melengkapi pernyataan Cicchetti & Rogosch, beberapa ahli lain (Werner, 1995; Luthar, 2000; Rutter, 2005, dsb) telah memperjelas pula bahwa stres atau adversity yang ditimbulkan oleh berbagai situasi tidak menyenangkan harus dalam taraf yang berat, mencerminkan kesulitan yang substansial dan berisiko tinggi, atau berpotensi memunculkan krisis yang berkepanjangan. Jadi bukan persoalan-persoalan kecil/sehari-hari yang memang mengganggu tapi relatif mudah untuk diselesaikan.
Nah, alangkah baiknya sebelum memutuskan untuk mengidentifikasi lebih dahulu, apakah pada topik X/Y/Z yang akan diteliti kedua komponen yang disebutkan oleh Cicchetti & Rogosh memang ada di dalamnya?
Pastikan terlebih dahulu apakah sebenarnya yang menjadi stresor/adversity signifikan dalam persoalan tersebut, dan bahwa kesulitan yang ada di dalamnya memang kesulitan-kesulitan yang substansial, sangat berat, dan tidak mudah diatasi oleh individu.
Tanya: Apa beda mendasar antara resiliensi keluarga dengan resiliensi individu?
Jawab: Tentang resiliensi keluarga, sepanjang pemahaman saya letak beda mendasarnya dengan resiliensi individu adalah karena di dalam keluarga terdapat sejumlah individu yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Mereka adalah orang-orang dengan karakter beragam, dan tidak selalu seluruhnya tangguh menghadapi beban persoalan yang signifikan. Resiliensi keluarga ditentukan oleh interaksi antar individu tersebut. Bagaimana antar mereka yang berbeda karakter dapat menemukan satu koping dan adaptasi yang saling menguatkan. Karena itulah modelnya menjadi lebih rumit, tidak seperti resiliensi individu.
Tanya: Apakah beda antara resiliensi dengan ego strength dan adversity quotient?
Jawab: Bicara tentang berbagai konsep psikologi itu memang menantang. Salah satunya karena ada banyak konsep yang saling beririsan, saling mirip satu sama lain. Seperti saling beririsannya self esteem, self confident, dan self-self yang lain; atau beda-beda tipisnya antara perilaku koping, adaptasi, dan adjustment; dsb. Begitu juga antara resiliensi dengan sejumlah konsep lain yang mirip.
Meski beririsan, setiap konsep punya penekanan sendiri-sendiri, punya fokus sendiri-sendiri. Akan lebih baik ketika akan membedakan kita merunut lebih dahulu akar dari masing-masing konsep tersebut.
Ego strength sepemahaman saya berasal dari psikoanalisis Freud. Konsep ini menjelaskan tentang kemampuan dari ego untuk secara efektif menghadapi/merespon berbagai dorongan yang berasal dari id, superego, dan berbagai realitas yang ditemui oleh individu. Konsep ini berada di seputar kajian tentang personality/kepribadian.
Sementara adversity quotient berada di area kecerdasan, berbicara tentang kapasitas seseorang untuk bisa menghadapi kesulitan dan pada akhirnya mampu meraih sukses.
Resiliensi tidak membahas tentang kecerdasan, tidak pula memusatkan perhatian pada kepribadian seseorang, meskipun antar ketiganya saling terkait. Seorang yang resilien mungkin adalah mereka yang memiliki ego strength tinggi dan/atau AQ yang tinggi pula.
Tanya: Apa beda resiliensi dengan hardiness?
Jawab: Antara resiliensi dengan hardiness, memang ada sejumlah orang yang juga cenderung menyamakan, sebab dua-duanya berbicara tentang orang-orang yang tangguh, yang mampu menghadapi persoalan dan kesulitan dengan sikap dan perilaku yang positif. Namun secara teoritik sebenarnya ada perbedaan mendasar diantara keduanya. Hardiness berbicara tentang karakteristik kepribadian, atau ada juga yang menyebutnya sebagai tipe kepribadian, sehingga akarnya lebih pada teori-teori kepribadian. Sementara resiliensi lebih menekankan pada proses ‘bounce back’, sebuah proses koping dan adaptasi positif yang mungkin akan dapat dicapai oleh siapapun dalam perjalanan hidupnya. Perbedaan dasar teoritik ini tentunya akan membedakan cara kita memandang seseorang yang resilien. Bagi yang menggunakan sudut pandang teori kepribadian, seorang yang resilien adalah seorang yang memiliki kepribadian tangguh (hardy personality). Artinya, hanya orang dengan kepribadian tangguhlah yang akan mencapai resiliensi. Namun dalam sudut pandang teori resiliensi, setiap orang, siapapun, akan bisa menjadi individu yang resilien, karena ada banyak faktor baik internal maupun eksternal yang akan mendorong dan berperan dalam proses pencapaiannya, salah satunya hardy personality ini sebagai faktor protektif internal, meskipun ia bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam pencapaian resiliensi.
Tanya: Mencari literatur resiliensi rasanya agak sulit. Dapatkah diinformasikan beberapa sumber literatur resiliensi yang bisa diakses?
Jawab: Saya pun awalnya cukup menemui kesulitan mencari sumber referensi tentang resiliensi dalam bentuk buku cetak, apalagi yang berbahasa Indonesia. Tapi bersyukur, internet banyak membantu saya untuk mendapatkan jurnal-jurnal ilmiah dan e-book yang bisa dengan mudah saya download.
Sejumlah diantaranya cukup dengan searching lewat google. Beberapa yang lain lewat gigapedia.
E-book yang mudah didownload lewat google misalnya:
– Kalil, A. (2003). Family Resilience and Good Child Outcomes. Wellington: Ministry of Social Development.
– VanBreda, A.D. (2001). Resilience Theory: A Literature Review. Pretoria: South African Military Health Service, Military Psychological Institute, Social Work Research and Development.
Tinggal ketikkan judulnya saja sebagai kata kunci.
Rujukan berupa laporan penelitian juga tersedia (di samping yang berbentuk jurnal).
Untuk jurnal misalnya:
– Sturgeon, J.A., and Zautra, A.J. (2010). Resilience: A New Paradigm for Adaptation to Chronic Pain. Current Pain and Headache Reports, Vol. 14, No. 2, 105-112. http://www.springerlink.com.
– Ungar, M. (2005). A Thicker Description of Resilience. The International Journal of Narrative Therapy and Community Work, 2005, Nos. 3 & 4, http://www.dulwichcenter.com.au.
– dan sebagainya. atau bisa cek juga dari yang saya pernah tuliskan pada posting berjudul “Tentang Literatur Resiliensi”.
Terima kasih banyak atas pencerahannya 🙂
Terima kasih kembali..
Ibu saya boleh bertanya, kalo seandainya saya meneliti tentang resiliensi dan adversity quotient apakah bisa bu??
Jika hanya soal bisa atau tidak bisa, jawabnya bisa saja, Ilma. Tetapi kembali ke alasan meneliti, boleh jadi yang bisa tidak cukup punya urgensi untuk dilakukan. Seperti jika antar kedua variabel sudah terbukti berulang kali diteliti memang hubungannya sudah konsisten kuat. Seperti antara resiliensi dengan AQ ini.. Nah, coba dicek saja research problemnya. Apakah dalam konteks penelitianmu memang masih ada alasan berbasis telaah literatur yang membuat korelasi antara keduanya masih perlu diuji kembali?
Ibu saya ingin bertanya, sebenarnya apa sih perbedaan yang mendasar antara resiliensi dengan grit?
Saya rencana ingin meneliti mengenai social exclusion dan resiliensi akademik, kira-kira adakah saran mengenai literasi yang bisa dijadikan referensi Bu?
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih bu..
Halo.. Saya jawab dengan ringkas ya. Resiliensi bicara tentang bagaimana seseorang yang menghadapi situasi sangat sulit dan menekan yang menyebabkannya seperti terjatuh, namun kemudian mampu bangkit kembali memulihkan kondisi psikologisnya menuju titik positif seperti sediakala. Bayangkan seperti bola basket atau bola tenis yang jatuh dan memantul. Jadi menelitinya akan lebih tepat jika individu berada dalam konteks situasi yang memuat paparan adversity dalam taraf signifikan.
Sementara grit bicara tentang konsistensi usaya yang pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan yang datang silih berganti dalam upayanya untuk mencapai sesuatu. Jadi grit bukan menjelaskan tentang orang yang berproses dan mampu bangkit dari situasi negatif yang berat, namun bicara tentang kegigihan seseorang mencapai tujuan tertentu.
Saya ada satu publikasi terkait resiliensi akademik di Jurnal Humanitas.
Berikut ini link-nya, di daftar pustakanya ada beberapa petunjuk referensi yang dapat dilacak lebih jauh: http://journal.uad.ac.id/index.php/HUMANITAS/article/view/5696
Semoga jawaban ini sedikit membantu..
Assalamualaikum bu, saya baru saja membaca tulisan ibu terkait resiliensi. Sebelumnya terima kasih atas pemaparannya yang luar biasa. Sangat menarik sekali ketika mengetahui kalau Ibu sendiri fokus pada pembahasan mengenai Resiliensi.
Saya izin bertanya bu, ini terkait dengan penelitian saya. Apakah di masa pandemi Covid 19 ini, konflik peran ganda seorang ibu yang bekerja dan harus mengurus anaknya yang juga sekolah online dapat mempengaruhi resiliensi ibu tersebut? Bagaimana menurut Ibu pengaruh antara konflik peran ganda terhadap resiliensi? Dan apakah kecerdasan emosi seorang ibu juga bisa mempengaruhi resiliensi?
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum.
Terima kasih kembali.. Tentang konflik peranganda Ibu, sangat besar kemungkinan mempengaruhi resiliensinya. Ia bisa menjadi faktor risiko yang boleh jadi menghambat pencapaian resiliensi apabila tidak berhasil dikelola dengan baik. Sebaliknya, untuk kecerdasan emosi, ia adalah salah satu faktor protektif yang bisa membantu individu melakukan koping yang efektif, lalu beradaptasi secara tepat dan positif terhadap situasi stres, sehingga pencapaian resiliensi dapat dioptimalkan.