Resiliensi, Perspektif Life Span, dan Peluang dalam Penelitian (Materi dalam Seminar Nasional Pascasarjana)

Sabtu, 26 November 2016. Satu lagi proses belajar telah dilalui, kali ini sebagai narasumber dalam Seminar Nasional Pascasarjana yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Psikologi Universitas Gadjah Mada. Ini pengalaman yang sangat berkesan bagi saya karena bisa ‘pulang’ ke rumah, melakukan sesuatu untuk fakultas yang sekian tahun lamanya menjadi tempat saya menimba ilmu semasa S1-S2 dulu.

img_7964

Materi yang saya sampaikan adalah tentang Resiliensi, Perspektif Life Span, dan Peluang dalam Penelitian. Sebagaimana tujuan seminar, saya ingin materi ini dapat memberi stimulasi berpikir bagi para mahasiswa pascasarjana yang hadir, dalam merencanakan penelitian untuk tesis maupun disertasi masing-masing. Meski lebih banyak bicara tentang resiliensi, namun alur penjelasan dan sejumlah catatan dalam materi ini saya susun sedemikian rupa agar tetap dapat memberi input pada mahasiswa yang mengambil topik lain dalam risetnya.

slide1Saya mengawali uraian dengan mengajak seluruh peserta mencermati kembali segala hal yang terjadi di sekitar saat ini. Lingkungan masyarakat yang dinamis dengan bermacam perubahannya membuat hidup semakin penuh tantangan. Peristiwa traumatik meningkat di berbagai tempat dengan adanya kasus-kasus kekerasan, aksi teror, hingga bencana alam, non alam dan bencana sosial yang silih berganti mewarnai ruang-ruang informasi dan menjadi bagian dari keseharian. Sekian banyak sumber tekanan psikologis hingga taraf berat muncul silih berganti seolah enggan berhenti.

Menghadapi situasi demikian, resiliensi merupakan kemampuan psikologis yang sangat penting dimiliki individu. Beberapa ahli bahkan menyebutnya sebagai salah satu kemampuan mendasar Abad 21, sebagai penyeimbang berbagai ketrampilan personal yang mendukung kesuksesan dalam karir dan kehidupan sosial.

slide4Resiliensi digambarkan dengan istilah bounce back, memantul kembali (bangkit) setelah terjatuh (mengalami tekanan psikologis). Resiliensi ditandai dengan kemampuan untuk bangkit dari pengalaman emosional yang negatif dan sangat menekan, akibat adanya peristiwa traumatik atau kesulitan yang signifikan.

Lalu bagaimana individu mampu “bounce back“? Dengan cara apa ia mampu bangkit, sementara banyak orang lain dalam situasi serupa cenderung terjebak dalam stres yang berkepanjangan? Jawabannya adalah dengan koping efektif dan adaptasi yang positif (Lazarus, 1993; Cicchetti dan Toth, 1998; Luthar, 2000; Richardson, 2002; Tugade dan Fredricson, 2004). Perbedaan koping dan adaptasi inilah yang dipandang oleh para ahli sebagai pembeda antara individu yang resilien dengan yang tidak.

Menurut saya, resiliensi adalah konsep yang realistis dalam memotret dinamika psikologis seseorang. Konsep ini dengan jelas menunjukkan bahwa siapapun, termasuk individu resilien akan mengalami stres manakala berhadapan dengan kesulitan yang sedemikian berat. Seorang yang resilien bukan individu yang imun, terbebas sama sekali dari stres sehingga tahan menghadapi persoalan apapun. Individu resilien tetap merasakan berbagai emosi negatif atas kejadian traumatik yang dialami. Mereka tetap merasakan marah, sedih, kecewa, bahkan mungkin cemas, khawatir, dan takut, sebagaimana orang lain pada umumnya. Hanya saja, individu resilien memiliki cara untuk segera memulihkan kondisi psikologisnya, bergerak bangkit dari keterpurukan. Beberapa ilustrasi saya berikan secara lisan kepada peserta seminar mengenai hal ini, untuk melengkapi penjelasan.

slide10Memahami tentang resiliensi sendiri (juga topik apapun) tidak akan utuh jika tidak menelusur juga sejarah kajiannya. Sebab dari penelitian-penelitian yang menjadi cikal bakal perkembangan konsep tersebut kita akan mengetahui apa intisarinya, apa pokok bahasan utamanya, bagaimana posisinya diantara konsep-konsep psikologi yang lain, termasuk mungkin irisan dan perbedaan yang harus dipahami betul dalam pelaksanaan penelitiannya. Jangan sampai antar konsep tercampur-aduk, apalagi jika peneliti sendiri ternyata masih menampakkan kebingungan atas apa yang akan ditelitinya. Jika ini terjadi, bukan saja akurasi hasil penelitian yang akan dipertaruhkan, namun juga kredibilitas si peneliti. Ia akan kesulitan dalam mempertanggungjawabkan proses maupun hasil studi yang diperolehnya.

Sejak tahun 1950-an konsep resiliensi telah dikaji oleh sekian banyak ilmuwan dari berbagai negara. Penelusuran Werner selama kurang lebih 30 tahun pada suku Kauai, di Hawai’i; studi longitudinal lain oleh Garmezy dengan pendekatan epidemiologi; project competence berbasis sekolah yang dilakukan Garmezy, Masten dan beberapa peneliti lain adalah tiga penelitian besar yang menandai perkembangan kajian resiliensi di berbagai setting. Ketiganya menjadi rujukan studi-studi lanjutan berikutnya dalam lingkup yang lebih luas. Salah satu ahli di era 2000an yang konsisten melanjutkan rangkaian riset resiliensi adalah Michael Ungar. Ia mengembangkan Resilience Research Center di Dalhousie University Canada bersama beberapa koleganya.

Saya menceritakan secara ringkas masing-masing penelitian para pendahulu tersebut, untuk kemudian sampai pada catatan penting yang harus diperhatikan jika seseorang akan melakukan studi tentang resiliensi. Catatan ini saya berikan mengingat pada banyak penelitian tentang resiliensi masih ditemukan adanya kekurangtepatan konteks persoalan, yang berdampak pada ambiguitas fokus riset dengan atribut-atribut psikologis yang lain. Spesifik tentang rambu-rambu kajian resiliensi akan saya uraikan dalam tulisan terpisah berikutnya.

slide13Lebih lanjut untuk memahami bagaimana seseorang mampu mencapai resiliensi, saya mengajak peserta untuk juga menengok tentang perspektif perkembangan. Bukan semata-mata karena mayoring kompetensi saya adalah Psikologi Perkembangan, namun lebih karena menjadi individu yang resilien memang memerlukan proses dan melibatkan berbagai macam faktor.

The concept of resilience is best understood from the perspective of developmental processes and interacting person-environmental systems (Peters, dkk., 2005)

Dalam perspektif perkembangan, resiliensi dipandang sebagai konsep/teori yang menjelaskan tentang perkembangan sehat dari individu atau sekelompok individu yang berada pada populasi berisiko. Perspektif perkembangan rentang hidup (life span) menekankan bahwa:
(1) Perkembangan adalah proses yang terjadi sepanjang hayat. Resiliensi pun terbentuk melalui proses panjang ini, dengan pelibatan faktor risiko dan protektif yang dapat bervariasi antar tahap perkembangan individu (Meichenbaum, 2008);
(2) Perkembangan bersifat multidimensional. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tugade dan Fredrickson (2004) tentang adanya keterkaitan antar dimensi perkembangan dalam konsep resiliensi;
(3) Perkembangan bersifat multidireksi, mencakup peningkatan atau pertambahan kemampuan maupun penurunan. Luthar dkk., (2000), Cicchetti dan Toth (1998) juga mengemukakan bahwa resiliensi seseorang dapat berubah, naik maupun turun sejalan dengan waktu dan lingkungan yang berbeda;
(4) Perkembangan bersifat kontekstual. Zimmerman dan Arunkumar (1994) menyatakan bahwa resiliensi merupakan fenomena dengan konteks yang spesifik, maka spesifikasi konteks persoalan menjadi penting untuk dapat memahami dengan baik bagaimana resiliensi dapat terbentuk dan aktual dalam diri individu;
(5) Perkembangan bersifat plastis, memerlukan stimulasi dan proses belajar dalam penguasaannya, begitu pun pada perkembangan resiliensi; dan
(6) Perkembangan mencakup growth, maintenance dan regulasi. Resiliensi juga demikian, salah satunya dijelaskan oleh Richardson (2002) dalam konsep resilient reintegration.

slide14Menutup paparan dalam waktu yang terbatas ini, saya menyampaikan bahwa meski telah ditelusur selama lebih dari 60 tahun, sejumlah catatan hasil riset terdahulu masih menunjukkan dibutuhkannya penjelasan lebih rinci tentang bagaimana pencapaian resiliensi pada level individu, keluarga maupun komunitas. Peluang melakukan riset-riset resiliensi ke depan masih sangat besar. Hal ini terkait dengan keragaman budaya dan kondisi masyarakat yang juga terus berubah sehingga memunculkan variasi persoalan psikologis yang juga berlainan antar waktu dan tempat.

Kebutuhan penjelasan ilmiah berbasis riset sebagai dasar meningkatkan kualitas intervensi dalam memperkuat resiliensi juga dikemukakan oleh Meichenbaum (2008). Sementara Reich (2009) menegaskan bahwa penelitian lanjutan tentang berbagai mekanisme resiliensi masih terus dibutuhkan untuk mendasari dan mengoptimalkan sisi praktis dari penerapan konsep tersebut, khususnya dalam mengembangkan strategi prevensi dan intervensi terhadap berbagai problem di masyarakat.

semnas-1 *****

Tulisan terdahulu seputar resiliensi dalam blog ini diantaranya:

Iklan

2 thoughts on “Resiliensi, Perspektif Life Span, dan Peluang dalam Penelitian (Materi dalam Seminar Nasional Pascasarjana)

  1. Ping balik: Selamat Tinggal 2016, Selamat Datang 2017 | Wiwin Hendriani

  2. Ping balik: Menumbuhkan Resiliensi Generasi Z (Materi Seminar Nasional Pascasarjana 2018) | Wiwin Hendriani

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s