Di ruang yang terpisah, ada dua cerita berbeda:
A: “Tulisanku dicoret-coret lagi. Nyebelin. Padahal sudah setengah mati ini bikinnya. Kalau gini terus kapan aku selesainya??? Lama-lama males kan…” –> 😦
B: “Masih diberi catatan lagi. Sempat mikir, ‘yah… belum beres juga ternyata’. Tapi ya memang bener sih, kubaca-baca lagi tulisanku memang nggak runtut. Datanya memang minim. Jadi nggak apa-apalah, mending kerja keras sekarang daripada nanti di belakang kena masalah waktu ujian” –> (Setuju!)
Lalu, di dua tempat berikutnya:
A: “Anda enak kerja di tempat yang fleksibel. Bisa mudah ngatur waktu buat ngikuti jadwal sekolah. Beda dengan saya yang tidak ada toleransi dari kantor. Jadinya apa-apa susah, mana kerjaan juga nggak ada habisnya…” –> 😦
B: “Saya sadar betul sekolah ini keputusan saya sendiri. Jadi ketika kantor tidak memberi kelonggaran waktu, itu konsekuensi yang harus bisa saya carikan solusinya. Entah bagaimana caranya kedua tanggung jawab ini harus sama-sama jalan.” –> (Salut!)
Masih serupa, dua perbedaan yang lain:
A: “Dapat supervisor macam dia itu bikin nggak termotivasi buat ngerjakan. Sudah orangnya nggak kompeten, mbulet, ampun pokoknya. Nggak tau deh mau apa. Dasar nasip lagi apes…” –> 😦
B: “Sempet kecewa memang, karena nggak sesuai harapan. Tapi kupikir lagi, aku juga bukan orang yang tergantung. InsyaAllah bisa tetap kubereskan, nanti tinggal melapor-laporkan progresnya. Kalau ada yang nggak cocok ya kujelaskan. Itung-itung latihan softskill.” –> (Keren!)
Dan satu lagi ilustrasi:
A: “Orangnya uuuangel-angel. Mosok sudah dua minggu keliling cuma dapat acc 3 dari 7 penguji. Belum lagi yang njanjiin dimana, sudah didatangi ternyata nyuruh pindah ke tempat yang lain atau mbatalkan. Capek! Kayak kita nggak ada kerjaan yang lain aja!” –> 😦
B: “Saya telateni. Biar motivasi ndak turun, sekecil apapun progresnya selalu saya syukuri. Alhamdulillah sudah dapat 3, daripada belum sama sekali. Yang penting saya usahakan terus. Asal nggak berhenti pasti nanti akan selesai semuanya. Iman saya, Allah akan membantu.” –> (Luar biasa!)
Menarik, A dan B yang berbeda pemikiran ketika berada dalam situasi serupa. Yang satu memilih untuk mengeluh, yang lain berusaha untuk menemukan hal baik di balik kesulitan yang dialami. Yang satu menonjolkan kata-kata negatif (nyebelin, males, susah, capek, sulit, ‘tidak’ ini dan itu, …), sementara yang lain mengedepankan pemaknaan positif dan penguatan terhadap diri sendiri.
Jika ini menjadi pola sikap dan perilaku masing-masing, berulang kali dimunculkan, konsisten terus-menerus, maka akan semakin jauhlah rentang proses dan capaian yang akan diperoleh keduanya. Yang satu berproses dengan penuh ketidaknyamanan (diliputi rasa kesal, cemas, khawatir, bahkan sakit hati) dan akhirnya mencapai hasil tidak maksimal; sementara yang lain mampu melewati setiap tantangan dengan kondisi psikologis yang tetap baik dan adaptif, hingga kemudian mengakhiri usahanya dengan hasil lebih optimal.
Selalu mempertahankan pikiran positif terhadap berbagai hal yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari memang tidaklah mudah. Bahkan mereka yang tampak baik dalam ilmu agama dan berpendidikan tinggi pun belum tentu mau mengupayakannya. Ketika berada dalam situasi tidak menyenangkan, sekian banyak orang pada akhirnya justru terjebak dalam keluhan demi keluhan, sehingga lupa bahwa waktu terus berjalan, sementara belum ada langkah signifikan yang mereka lakukan.
Apa yang terjadi kemudian ketika mengeluh ini tanpa sadar menjadi kebiasaan? Kepala akan semakin dipenuhi oleh pikiran negatif. Entah yang diarahkan untuk mencari kambing hitam di luar dirinya (misal: karena atasan sulit ditemui, karena di rumah sedang repot, karena tugas lain sedang menumpuk, karena tidak ada ijin, karena tempat kerja jauh, karena ini – karena itu …); atau menghadirkan pembenaran atas sikap tidak tepat yang ditunjukkan (misal: biasanya begini saja tidak apa-apa, teman lain juga banyak yang melakukan, kemarin-kemarin sepertinya boleh, saya memang tidak sepandai teman saya, …dll). Bahkan pikiran negatif pun tidak jarang meluas dengan memunculkan prasangka pada rekan yang dipandang lingkungan lebih berhasil daripadanya.
Lantas, semakin termotivasikah kemudian untuk mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan? Tentu tidak. Yang ada justru energi semakin habis terkuras, kesal dan gerutu berkepanjangan, sehingga muncul kecenderungan untuk mengambil jarak dari tugas dengan menghadirkan sekian banyak alasan berikutnya. Atau jika terpaksa harus mengerjakan, maka ia akan mengerjakan dengan ala kadarnya, asal selesai. Dan ini biasanya diikuti dengan mengharap permakluman demi permakluman dari orang lain (seperti: ini sudah maksimal saya, mohon kemudahan, mohon kebijaksanaan Bpk/Ibu,… dst).
Tidak percaya? Jika ada waktu untuk sejenak refleksi, coba tanyakan pada diri Anda sendiri, renungkan perlahan, lalu jawab dengan sejujur-jujurnya.
Apa yang saya tuliskan ini sebenarnya tidak hanya sebatas urusan studi. Namun juga terkait tugas-tugas yang lain. Sebagai manusia, sebagai anggota keluarga dan masyarakat, setiap dari kita punya sekian banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi. Kadang satu sama lain dapat dengan mudah diatur, namun tidak jarang pula saling berbenturan. Mau tidak mau, suka tidak suka, benturan-benturan ini harus bisa kita atasi. Terlebih ketika kita sendiri yang dari awal memutuskan untuk menjalaninya. Semisal, ketika memutuskan untuk menikah sebelum lulus kuliah, menerima satu pekerjaan baru sebelum pekerjaan lain tuntas diselesaikan, memutuskan untuk menempuh studi sambil bekerja, dan sebagainya. Berani mengambil keputusan, mestinya harus berani pula menanggung konsekuensinya, sesulit apapun.
Mengeluh atau berbaik sangka bagaimanapun adalah pilihan. Kita berhak memilih untuk semakin tertekan dan kekal dalam kesulitan, atau bergerak mengelola diri, mengelola emosi, dan mengganti pikiran-pikiran negatif dengan afirmasi positif yang lebih mampu memotivasi.
Pilihan ada di tangan kita. Namun sekali lagi, proses dan hasil yang berbeda, akan mengikuti pilihan-pilihan tersebut.
Fotonya memotivasi mams hehehe
Masalahnya mengeluh terkesan lebih mudah, terlihat lebih sedikit butuh energi…..padahal……semakin mengeluh justru semakin kehabisan energi 🙂
Terima kasih Mams……buat remindernya
Yak benar! Semakin mengeluh, semakin habis energi kita. Seperti lumpur hisap, Pap ☺️
Bu wiwin menginspirasi banget bu ijin saya share bu. ☺☺
Matur nuwun, Bu Hera. Selamat menyiapkan jurus-jurus afirmasi positif untuk menyongsong masa-masa bergelut dengan disertasi ya..😊 Saya yakin Bu Hera akan berhasil.
Siapp bu wiwin…untuk belajar lebih positif. Terimaksih untuk selalu menyemangati kami ibu 😊😊
Kembali kasih, Bu Hera.. ^.^