Membaca judul ini mungkin agak terasa aneh. Sebagaimana pernah saya kutipkan dalam posting terdahulu, resiliensi adalah koping efektif dan adaptasi positif terhadap kesulitan dan tekanan (Lazarus, 1993). Individu yang resilien akan menunjukkan kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami (Masten dan Coatsworth, 1998). Lalu bisakah seorang anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan dalam perkembangannya dibantu untuk mampu menumbuhkan resiliensi? Apakah mungkin itu dilakukan? Jawab saya, mengapa tidak? Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari simak video berikut ini terlebih dahulu:
Sakti adalah salah satu dari sekian banyak anak berkebutuhan khusus yang menarik. Tak hanya terkait kemampuan seni dan ketrampilannya dalam berkomunikasi dengan orang lain, pemahaman dan penerimaannya terhadap ketunanetraan yang tersirat dari beberapa bagian penuturan adalah hal luar biasa yang mampu dimiliki oleh ABK seusianya. Ia mampu merespon dengan lugas bahwa ia memang tidak bisa melihat, dan menggambarkan bagaimana kondisi penglihatannya yang hanya bisa menangkap cahaya.
Penuturannya disampaikan dengan ceria, tanpa ekspresi yang menampakkan kesedihan maupun rendah diri. Apa yang tampak dalam diri Sakti merupakan contoh dari kapasitas anak berkebutuhan khusus untuk mampu merespon secara positif berbagai kondisi yang menimbulkan tekanan, baik yang terkait langsung dengan kekhususan yang dialami maupun hambatan sosial lain yang menyertai. Sakti menjadi bukti bahwa resiliensi dapat ditumbuhkan dalam diri anak-anak yang istimewa ini. Gambaran lain dari anak berkebutuhan khusus yang resilien juga dapat dibaca dalam tulisan 15 Stories of Resilience from Children with Disabilities.
Mengapa resiliensi menjadi aspek psikologis yang penting bagi anak berkebutuhan khusus? Sebab ABK yang memiliki resiliensi tinggi akan menghadapi berbagai krisis dalam hidup dengan cara-cara yang positif, dan tetap optimis untuk terus mengembangkan berbagai kemampuan yang dimiliki. Mereka dapat mengelola berbagai kekhawatiran saat berinteraksi dengan orang lain, menunjukkan sikap dan perilaku yang percaya diri. Ketika mengalami situasi yang tidak menyenangkan, mereka mampu mengatasi ketidaknyamanannya dengan cara-cara yang tepat. Karenanya, dengan kemampuan ini mereka akan lebih fokus dalam proses belajar, mengikuti beragam aktivitas pengembangan diri dengan lebih baik, sehingga berbagai potensi yang dimiliki pun dapat dikembangkan dengan optimal.
Resiliensi dipandang sebagai kekuatan dasar yang menjadi pondasi dari semua karakter positif dalam membangun ketangguhan psikologis. Resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri saat berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan maupun tekanan yang hebat. Resiliensi juga akan menentukan keberhasilan seseorang dalam perjalanan hidupnya. Dengan demikian, resiliensi akan membuka peluang yang lebih lebar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk tumbuh dan mengembangkan berbagai kemampuan dengan lebih baik. Sebab meskipun memiliki keterbatasan, bukan berarti tertutup sudah semua jalan bagi individu berkebutuhan khusus untuk dapat berhasil dalam hidup, dan mampu menjalani hari-harinya tanpa bergantung pada bantuan orang lain.
Mengupayakan tumbuhnya resiliensi pada anak berkebutuhan khusus memang menjadi tantangan tersendiri. Namun sesulit apapun upaya ini tetap harus dilakukan karena ABK adalah bagian dari masyarakat, bagian dari kehidupan dan tanggung jawab kita di lingkungan sosial. Apalagi jika mengingat jumlah anak berkebutuhan khusus dari waktu ke waktu yang cenderung mengalami peningkatan, dan diasumsikan masih akan terus bertambah. Diperlukan strategi yang tepat untuk dapat menumbuhkan resiliensi anak berkebutuhan khusus, yang melibatkan peran aktif orangtua sebagai figur utama dalam proses tumbuh kembang anak melalui serangkaian proses pengasuhan dan pendidikan secara tepat
Secara ringkas, berdasarkan sejumlah penjelasan konseptual tentang resiliensi, setidaknya ada empat langkah yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan resiliensi pada anak berkebutuhan khusus. Pertama adalah memperkuat faktor protektif, yakni faktor-faktor baik dari dalam maupun luar diri ABK, yang dapat membantunya untuk menghadapi dan merespon setiap stresor yang ditemui dengan cara-cara yang adaptif. Faktor-faktor internal seperti pengetahuan terhadap kekhususan, penerimaan diri, pengetahuan terhadap keragaman sosial, dsb; dan faktor protektif eksternal seperti dukungan keluarga, pengasuhan yang positif dari orangtua, sikap lingkungan yang tidak diskriminatif, dsb, akan dapat memproteksi ABK terhadap kemungkinan terjadinya berbagai problem psikologis akibat stresor yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Langkah kedua adalah melatih koping. Koping merupakan upaya mengelola kognisi dan perilaku untuk mengatasi berbagai tuntutan maupun kondisi yang mendatangkan tekanan (Lazarus dan Folkman, 1984; Chouhan dan Vyas, 2006), sehingga kesejahteraan psikologis individu menjadi terjaga (Anson, dkk, 1993). Tentu, koping yang dilatihkan kepada anak-anak berkebutuhan khusus akan mengikuti karakteristik kekhususannya masing-masing. Semisal, koping efektif yang dilatihkan pada anak-anak dengan keterbelakangan mental tentu berbeda dengan koping yang diharapkan dapat dilakukan oleh anak-anak dengan kekhususan tanpa gangguan mental. Baik dengan cara sederhana maupun yang melibatkan kemampuan kognitif tertentu, apabila ABK mampu melakukan koping yang efektif setiap kali menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, maka ia akan mampu memberikan respon secara tepat, dan menghindarkannya dari kemungkinan problem psikososial lebih lanjut.
Ketiga, sebagaimana yang selalu dibutuhkan dalam sebuah proses pengasuhan dan pendidikan, orangtua dan siapapun yang membantu tumbuh kembang ABK untuk senantiasa memberikan apresiasi dan penguatan terhadap mereka dalam proses belajar resiliennya, sehingga hasil dari proses belajar tersebut akan dapat bertahan. Dan langkah ini akan lengkap apabila antar pihak yang terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan ABK dapat membangun kerjasama dan saling berkolaborasi (langkah keempat), sehingga antar tempat, waktu, maupun pendamping akan tetap diperoleh konsistensi dari proses maupun hasil belajar yang dilaui anak.
Terkait topik ini, senang sekali tiga hari yang lalu saya dapat berbagi bersama para mahasiswa peminatan Psikologi Pendidikan dan Perkembangan di Universitas Hang Tuah Surabaya. Semoga sedikit materi yang tersampaikan dalam terbatasnya waktu tetap dapat memberikan wawasan yang menjadi bekal dalam melakukan penelitian, maupun membantu mendampingi tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus di masyarakat.