Boleh dibilang dengan kondisi badan yang jarang olahraga, perjalanan panjang yang memakan waktu hampir 24 jam penuh untuk sampai Jeju, lalu begitu sampai langsung disambut kesibukan di tengah padatnya jadwal konferensi dan petualangan ke sejumlah tempat yang medannya menantang, betul-betul menguras energi. Apalagi pada dasarnya sehari-hari saya memang jarang berjalan kaki dengan rute yang jauh, karena lebih memilih naik kendaraan daripada harus berpeluh melatih otot kaki di tengah udara Surabaya yang panas. Jadilah ketika meninggalkan Jeju menuju Seoul itu sebenarnya sudah dengan merasakan kaku dan linu, terutama di beberapa bagian kaki (ckckck… kasihan ih…).
Saya dan teman-teman menginap di wilayah Hongdae, yang dari beberapa informasi dikatakan letaknya strategis, mudah mengakses jalur-jalur transportasi untuk bepergian ke manapun selama di Seoul.
Awal sampai dari Jeju sempat terbayang medan melancong yang akan lebih bersahabat, tidak terlalu menghabiskan tenaga. Tetapi bayangan tersebut seketika sirna saat melihat jalur-jalur subway yang melaluinya harus berjalan panjang, naik-turun tangga tinggi yang tidak selalu dilengkapi dengan eskalator. Sama seperti saat ke Osaka tiga tahun yang lalu, Meringislah akhirnya saya, sambil tetap memegang erat semangat agar jangan sampai terlepas. Sayang kan, sudah jauh-jauh datang dari tanah air, masa tidak bisa mengeksplorasi objek-objek menarik dengan maksimal?
Namun begitu, berpikir realistis bagaimanapun juga penting demi menjaga kesehatan, keselamatan, dan keamanan selama tinggal di negara orang. Makanya begitu malam pertama kami tiba di penginapan dan merencanakan rute jalan yang akan ditempuh keesokan harinya, saya segera mengusulkan destinasi yang rasanya tak boleh dilewatkan kalau sedang berkunjung ke Seoul: Gyeongbokgung Palace. Setelah itu terserah mau kemana saja, menyesuaikan kemampuan kaki.
Sebelumnya saya sudah tahu dari membaca banyak tulisan bahwa istana ini luasnya tidak karuan, karena merupakan kompleks istana yang terbesar diantara lima istana yang ada di sekitar Seoul. Sebab itu, sejak malam sebelum mengunjunginya counterpain sudah ekstra merata dibalurkan ke bagian-bagian organ gerak yang membutuhkan pertolongan 😀
Selama dua hari di Seoul, alhasil kami hanya mampu mengunjungi 5 tempat dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Sungguh pencapaian yang memprihatinkan ya?! 😀 Prestasi turun drastis dari 3 hari sebelumnya ketika di Jeju. Berikut gambaran singkat kelimanya:
1.Gwanghwamun Square dan Gyeongbokgung Palace
Gwanghwamun Square terletak di depan Gyeongbokgung Palace. Ini adalah area terbuka dimana sejarah Korea bertemu dengan peradaban modern. Ada dua penanda sejarah penting yang ada di alun-alun ini, yaitu patung Admiral Yi Sun-Shin (laksamana yang berhasil menaklukkan tentara Jepang saat terjadinya Perang Myeongrang) dan The Great King Sejong (raja di dinasti Joseon yang menciptakan huruf Hangeul).
Di area Gwanghwamun Square ini ada satu tempat yang meminjamkan hanbok klasik untuk berfoto di tempat yang sudah disediakan. Karena gratis, tiap peminjam hanya diberi waktu mengenakannya selama 10 menit. Lumayanlah, cukup untuk membuat beberapa dokumentasi cantik.
Dari area alun-alun, kami bergerak ke Gyeongbokgung Palace. Istana Dinasti Joseon ini sangat megah dan bersih terawat. Beberapa tradisi tetap dipertahankan untuk menjaga warisan budayanya selain sebagai daya tarik yang unik untuk para wisatawan, seperti penjaga-penjaga istana yang mengenakan konstum tradisional dan proses pergantian shift jaga yang dibuat sedemikian rupa, seolah benar-benar masih berada di jaman kerajaan.
2. Bukchon Hanok Village
Dari istana, kami melanjutkan langkah ke Bukchon Hanok Village, satu kompleks perumahan (desa di tengah kota) dengan mayoritas penduduk yang masih mempertahankan gaya tradisional untuk bangunan-bangunan rumahnya. Hanok adalah istilah yang digunakan untuk rumah tradisional Korea. Sedangkan Bukchon adalah nama desa tempat hanok-hanok ini berdiri. Beberapa bagian dari Bukchon Hanok Village ini sudah berumur 600 tahun, namun hingga kini masih terawat dengan baik. Jangan khawatir, menyusuri Bukchon ini sisi olahraganya tak kalah menantang, karena jalan yang naik-turun dengan aduhai 😀
3. Insadong
Setelah merasa cukup (ngos-ngosan) menyusuri Bukchon, kami menyadari bahwa sudah saatnya untuk mencari suvenir-suvenir kecil, sekedar untuk penanda pernah menginjakkan kaki di Korea. Maka, bergeserlah kami ke Insadong yang menurut informasi tidak terlalu jauh dari Bukchon. Di Insadong ada banyak penjual suvenir yang beraneka ragam, juga makanan. Tapi karena sebelumnya pernah membaca bahwa ada tempat lain yang dari sisi harga lebih murah dibandingkan Insadong, maka kami memutuskan tidak membeli banyak di tempat ini.
Buat pembaca yang mungkin akan membeli suvenir di Insadong, diantara toko-toko yang memang harganya relatif tinggi, satu toko di atas ini sejauh kami tahu adalah yang memberi harga paling murah. Selisih antara 500 – 2000 KRW, tergantung barangnya. Penjaga tokonya juga sedikit bisa berbahasa Indonesia. Jadi, silakan dicari kalau ke sini.
4. Namdaemun Market
Hari kedua di Seoul kami isi dengan melanjutkan pencarian suvenir dengan harga yang lebih bersahabat untuk kantong (yang pas-pasan macam saya). Maka pergilah kami ke Namdaemun Market. Meskipun tempatnya tidak senyaman Insadong, tapi dari sisi nominal yang akan keluar jauh lebih menjanjikan, hehehe… Sesuai namanya, Namdaemun Market adalah pasar tradisional. Jadi beraneka ragam pedagang dengan sekian banyak jenis jualan ada di dalamnya. Ramai dan sumpek sudah pasti wong judulnya juga pasar 😀 Tapi demi harga murah, tak apalah kami susuri. Jangan lupa menawar kalau belanja di sini, dan lebih amannya cari Orange Building, belanja di lantai duanya, bukan di penjaja-penjaja di area depan market yang memasang harga lebih mahal.
5. Myeongdong
Namdaemun Market selesai, dalam kondisi kaki yang semakin kaku, kami mampir sebentar ke Myeongdong, karena teman perlu membeli BB Cream, perangkat kecantikan Korea yang banyak diburu orang. Myeongdong juga area belanja, tapi bukan untuk tipe suvenir murah meriah. Di sini banyak toko-toko fashion dan kosmetik, meskipun tetap ada sedikit kios suvenir yang berharga cenderung mahal, di atas Insadong dan Namdaemun.
Ringkas kata, begitulah cerita dua hari di Seoul yang diliputi dengan perjuangan di sisa-sisa tenaga sebelum pulang kembali ke Surabaya esok harinya. Setelah ini, rangkaian tulisan akan saya lengkapi dengan posting yang berisi beberapa saran jika akan berkunjung ke Korea Selatan.
whoaaaa, pengeeeen :))
rencanakaaan… ^.^
jangan lupa vit B2 buk.. biar pegel pegel sirna..
great share buat yg pengen ke korea..*wish
Segera rencanakan, jeng. Lalu segera berangkat 😇
mau nanya dong kak, selama di perjalanan antara gwanghwamun-gyeongbokgung palace-bukchon hanok village-insadong itu kaka jalan kaki terus atau sempet naik subway juga?
Dari gyeongbokgung palace ke bukchon kami naik subway. Selebihnya yang lain jalan kaki ☺️
Ping balik: Selamat Tinggal 2016, Selamat Datang 2017 | Wiwin Hendriani
Wahaha, kalau saya nggak akan memaksakan diri, mbak. Kalau udah capek, istirahat dulu. Kalau ngantuk banget, bangunnya siang. Beberapa orang menganggapnya rugi sih, udah jauh-jauh kok istirahat mulu. Tapi menurut saya jalan-jalan dengan tubuh yang nggak fit dan rasa kantuk itu cuma merusak mood, dan jadinya nggak enjoy.
Sama sekarang lebih suka berlama-lama menikmati suatu tempat sampai rasa capeknya hilang daripada “lompat-lompat” yang menguras energi 😀
Pertama ngetrip di SIN sama KUL 3 tahun lalu juga gitu sih, jalan ke mana-mana digeber dari pagi sampai larut malem, tapi sejak akhir 2015 udah tobat hehe.
Wah, saya masih berada di kelompok yang menganggap rugi kalau nggak bisa ke banyak tempat, hihihi… Secara perginya ke sana saja nggak setiap saat bisa 😀
Ping balik: Amazing Turkey (1): Istanbul dan Berbagai Peninggalan Kesultanan Turki Utsmani | Wiwin Hendriani