Menulis tentang ini sejujurnya adalah hal yang tidak mudah buat saya. Beberapa hari sempat saya tunda sejak kepergiannya Senin lalu. Bukan karena apa-apa, kecuali bahwa senyatanya sosok Dwi memang telah banyak berperan dalam beberapa bagian dari aktivitas saya selama ini.
Saya sangat kehilangan, tetapi tidak ingin berlarut sedih ketika menulis, sebagaimana Dwi yang juga tidak menyukai jika orang di sekitarnya larut dalam kesedihan. Sebab itulah saya menunggu waktu yang tepat, meski bukan jaminan ketika menyelesaikan tulisan ini sekarang saya akan sepenuhnya bebas dari tangis.
Dwi Kris bukan sekedar mahasiswa buat saya. Dia adalah teman diskusi yang sangat konstruktif. Usia yang sangat muda bahkan jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya tidak membatasi kemampuan berpikirnya yang luar biasa. Ya, dia sangat cerdas, disamping juga kritis dalam menganalisis berbagai macam situasi.
Beberapa riset telah kami selesaikan bersama. Dia juga menjadi salah satu asisten saya saat menyelesaikan disertasi. Tak terhitung banyaknya waktu telah kami habiskan untuk bekerja bersama kala itu. Di kampus, di kafetaria sebuah toko buku, di rumah, baik pagi, siang maupun malam.
Meski secara teknis Dwi yang membantu saya, namun tidak sedikit justru saya yang belajar dari pengalaman dan pengetahuannya. Wawasan Dwi begitu luas karena ia sangat suka membaca. Singkat kata, Dwi berperan besar hingga akhirnya saya mampu menyelesaikan penelitian dan studi saya tepat waktu. Tanpa uluran tangan Dwi saat itu, juga semangat yang ditularkannya, boleh jadi hasil yang saya peroleh akan berbeda.
Lulus S3 tak lantas membuat kerjasama saya dan Dwi selesai begitu saja. Diskusi kami terus berlanjut tentang topik apa saja. Di ruang dosen ketika dia tiba-tiba muncul dengan senyum dan sapaan khasnya: “Haalo Ibuu…”; saat pulang bersama dari kampus; ketika sesekali dia datang ke rumah untuk membantu pekerjaan Pak Bukik; dan waktu-waktu yang lain. Hingga kemudian sampailah pada pengalaman saya berikutnya dalam menerbitkan buku secara mandiri, yang lagi-lagi dapat terwujud dengan segera berkat bantuan Dwi.
Sebagaimana mungkin diketahui oleh rekan-rekan yang telah membaca, Dwi adalah penyunting naskah buku “Karena Kita Adalah Orangtua” (KKAO) yang saya tulis. Berkat diskusi dengannya juga lah akhirnya saya memilih jalur self-publishing, mengingat tujuan penerbitan ini lebih diniatkan untuk sekedar berbagi pengalaman dari kumpulan tulisan saya, yang sebenarnya dapat leluasa diakses oleh banyak orang melalui blog ini.
Selama proses penerbitan, Dwi pula yang menyambungkan saya dengan Ester, adik angkatannya yang membantu mendesain sampul, dan Kuma, sahabat Dwi yang membantu membuatkan ilustrasi untuk beberapa bagian cerita dalam buku KKAO. Jadi Dwi bukan hanya berperan sebagai editor yang menyunting naskah, melainkan lebih dari itu.
Sampai di sini, makin bertambahlah alasan betapa saya harus mengucapkan banyak terima kasih kepadanya. Anak muda ini adalah penolong saya dalam berbagai kesempatan.
Walaupun mungkin tidak semua orang bisa memahami karakternya yang keras dan cara berpikirnya yang idealis, namun kesan saya pada Dwi tidak pernah berubah. Dia teman yang baik. Teman yang sangat baik, yang di tengah sakit pun justru selalu memberi semangat untuk orang lain.
Ia tidak pernah mau menampakkan kesedihan dan ketidak-enakan yang sedang dirasakannya. Sebaliknya, Dwi ingin selalu menceriakan teman-temannya dengan beragam ekspresi lisan maupun tulisan yang dikirimkan. Hingga saat ini, sebagian rekam obrolan saya dengan Dwi tetap utuh tersimpan sebagai pengingat akan teman, murid sekaligus guru yang hidupnya telah menjadi satu berkah tersendiri bagi saya.
Buat Dwi Kris, terima kasih banyak untuk semuanya. Tidak akan pernah terlupakan senyum yang selalu tersungging di wajahmu hingga saat-saat terakhir itu. Tuhan Yang Maha Baik akan menjagamu di sana, Nak. Selamat jalan, damailah dalam istirahatmu yang kekal di sisi-Nya.