Sekedar Percakapan Ringan (9): Belajar Inklusif

Suatu siang di Sforzando, beberapa anak sedang mempersiapkan diri untuk pentas esok harinya. Damai salah satu orang yang ikut dalam tim. Mayoritas anggota tim adalah siswa berkebutuhan khusus, karena sekolah musik ini memang menyediakan layanan pendidikan inklusif untuk para siswanya (baca juga: We’re Proud to Be Part of This Music School).

Siang itu kebetulan ada kejadian yang belum pernah kami temui sebelumnya. Ada salah satu siswa dengan spektrum autisme yang marah hingga meluap-luap, berulang kali berteriak keras sambil meronta cukup hebat dari dalam mobilnya. Situasinya cukup menarik perhatian orang-orang di sekitar, sampai akhirnya beberapa staf sekolah ikut membantu sang ibu yang kewalahan untuk menenangkan putranya tersebut.

Selama perjalanan pulang, kami pun membahasnya berdua.

Saya: Mama tadi melihat  Kak A sejak turun dari lantai atas (letak ruang latihan bersama) sudah tampak marah.

Damai: Iya mulai dari dalam kelas memang Mam. Kayaknya gara-gara marah sama Kak J. Padahal Kak J nggak ngapa-ngapain setahuku. Cuma diam aja waktu ditanya ini-itu sama Kak A. Kan Mamski tahu Kak A suka nanya macam-macam ke semua anak. Ke aku juga.

Saya: Kamu gimana waktu ditanya-tanya Kak A?

Damai: Ya biasa aja, yang ditanyakan aku jawab. Tapi memang Kak A ini nggak bisa diam, Mam. Bicaraaa…terus. Dan tiap kali pertanyaannya ke anak lain sudah mulai mengganggu, Kak G (siswa lain yang memiliki spektrum autism) yang selalu mengingatkan.

Saya: Ooh, Kak G ikut membantu?

Damai: Iya, ngingatkan Kak A, nyuruh Kak A diam terus duduk di tempatnya lagi.

Saya: Hebat berarti. Kalau Kak I dan Kak T? (Dua siswa dengan spektrum autisme yang lain, yang hari itu juga datang berlatih)

Damai: Mereka berdua diam saja. Kalau Kak I kan memang orangnya cuek. Kak T aku nggak tahu, tapi menurutku memang paling tenang. Malah seperti orang biasa yang bukan ABK, Mam.

Saya: Karena memang setiap orang kondisinya berbeda-beda, Mai. Meskipun punya kekhususan yang sama, perilakunya belum tentu sama. Orang-orang yang dikatakan tidak berkebutuhan khusus saja karakter dan perilakunya juga macam-macam. Ada yang baik, ada yang tidak baik.

Damai: Iya memang.

Saya: Makanya kita harus tetap menghargai mereka, tetap berteman, jangan menjauhi. Kalaupun ada yang suatu saat mungkin tanpa sengaja mengganggu, kita ingatkan baik-baik. Kalau sulit diingatkan, bisa minta bantuan guru atau staf yang ada di sana.

Damai: Kalau kayak Kak A tadi kenapa sampai ngamuk gitu ya Mam marahnya? Padahal kan setahuku ngga ada kejadian apa-apa yang serius selama latihan tadi.

Saya: Kadang memang ada orang-orang tertentu yang sebenarnya merasa tidak nyaman, tidak enak karena sesuatu hal, tapi sulit untuk menyampaikan rasa tidak nyaman atau tidak enaknya itu. Mereka sulit untuk mengatakannya secara langsung. Akhirnya karena saking nggak enaknya lalu dilampiaskan dengan berteriak atau memukul. Ya itu memang bukan cara yang betul, karena bisa menyakiti orang lain atau bahkan diri sendiri. Ada waktunya nanti Kak A juga akan belajar bagaimana mengekspresikan marahnya dengan lebih baik. Tapi setidaknya kita tahu bahwa kalau ada teman ABK yang seperti itu, pasti ada sebabnya. Jadi tidak boleh diolok-olok atau besoknya dijauhi.

Damai: Iya, Mam. Oya, tadi kan sekalian latihan buat hormat terakhir  yang bareng-bareng habis tampil. Tadinya aku mau ndorong kursi roda Kak L (siswa dengan cerebral palsy) untuk masuk dan keluar panggungnya. Soalnya kan aku yang berdiri di sebelah Kak L. Tapi trus ternyata berat, aku nggak kuat. Akhirnya kakak yang lain yang bantu ndorong..

Saya: Iya, nggak apa-apa 🙂

Sungguh, momen-momen belajar empati seperti ini menurut saya adalah hal yang sangat berharga untuk Damai, lebih dari sekedar belajar musik semata. Sebab ada begitu banyak pemahaman sosial yang diperolehnya, yang tentu akan memperkaya hati, menjadi bagian dari bekal hidupnya kelak.

FullSizeRender (81)

 

Iklan

3 thoughts on “Sekedar Percakapan Ringan (9): Belajar Inklusif

  1. Ping balik: Catatan Kecil di Malam Tahun Baru | Wiwin Hendriani

  2. Ping balik: Apa Perlunya Lomba ? | It's My World

  3. Ping balik: Ingin Anak Berprestasi? Jangan Ikutkan Lomba. Inilah Alasannya | TemanTakita.com

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s