Sekedar Percakapan yang Sangat-Sangat Ringan (8)

Damai: Mam, aku boleh keluar dari Olim? (Olim itu sebutan Damai untuk kelompok pembinaan hasil olimpiade internal untuk Mata Pelajaran Bahasa Indonesia yang diikutinya, di luar kegiatan rutin belajar di kelas).

Saya: Kenapakah? (Agak heran karena pertanyaan semacam ini baru pertama kalinya muncul)

Damai: Tugasnya banyak…

Saya: Sik, seperti apa saja tugasnya?

Damai: Ya bikin resensi, bikin cerita, bikin puisi, gitu-gitu…

Saya: Banyak sekali?

Damai: Lumayan Mam, padahal PR lain yang pelajaran sekolah kan juga lumayan banyaknya. Sebenarnya materi olim itu menurutku gampang, nggak sulitlah, tapi aku bosan…

Saya: Oalah… (Mulai menangkap situasinya. Saya bisa membayangkan, setiap hari dia sekolah sudah dari pagi sampai sore, masih ada PR di beberapa mata pelajaran, ditambah tugas-tugas olim yang harus dikerjakan juga dengan aktivitas berlatih yang mungkin monoton, mengingat ada kata kunci ‘bosan’). Tapi bukannya kamu bilang suka Bahasa Indonesia, trus suka kegiatan menulis? (Saya mencoba mengklarifikasi…)

Damai: Iya memang, tapi menurutku sudah cukup latihan tambahannya lewat warcil sama nulis blog, selain pelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Kalau di warcil aku seneng, kegiatannya macem-macem. Bisa belajar wawancara ke orang, trus nulis-nulis reportase kegiatan gitu, kalau olim kan enggak.

Saya: Jadi intinya kamu bosan dengan aktivitasnya ya?

Damai: Iya, sama menurutku anak-anak yang ikut olim sekarang ini beda dengan yang olim yang waktu kelas 3 dulu.

Saya: Beda gimana?

Damai: Mereka sibuk menggerombol sendiri, umek-umek sendiri. Teman sekelasku juga nggak ada yang ikut.

Saya: Kamu nggak ada teman dekat di olim?

Damai: Iya.

Saya: Nggak mencoba berteman trus bareng-bareng dengan mereka yang ada sekarang?

Damai: Sudah tapi memang nggak bisa dekat, karena kan beda kelas trus banyak anak kelas 5, jadi kakak kelas gitu. Jadinya aku nggak nyaman, Mam. 

Saya: Jadi kalau disimpulkan alasan utama ingin keluar dari Olim itu adalah…?

Damai: Ya utamanya aku bosan dengan aktivitasnya, ditambah nggak nyaman dengan anak-anaknya itu. Jadi bukan karena jenis tugasnya, karena sebenarnya kalau latihannya menurutku mudah-mudah aja.

Saya: Mama sih nggak apa-apa kamu keluar dari olim. Tapi yang penting alasannya jelas. Misalnya nih, keluar olim dengan alasan tugas yang terlalu banyak, padahal tugas mapel setiap hari juga sudah banyak sehingga kita kecapekan karena tidak ada waktu untuk istirahat, itu lebih baik daripada keluar olim hanya karena ingin menghindari hal-hal yang tidak kita sukai.

Damai: Iya aku tahu.

Saya: Nanti jangan lupa pamit dengan guru pembinanya ya..

Damai: Sebenarnya kalau di aturan, cukup nggak masuk 3 kali sudah otomatis keluar, Mam.

Saya: Iya tapi pamit kan lebih baik. Ya paling tidak kalau nanti ditanya sama pembina olim, sebisa mungkin tetap disampaikan alasannya dengan sopan. Siapa tahu bisa jadi masukan untuk perbaikan kegiatan pembinaan olim selanjutnya.

Damai: Iya Mam.

Saya: Ngomong-ngomong untuk sekarang ini kegiatan apa sebenarnya yang kamu sangat berminat?

Damai: Musik. Piano dan paduan suara dua-duanya aku seneng banget, Mam. Habis itu baru nulis. Tapi ya itu, menurutku latihan nulisnya sudah cukup lewat warcil dan blog aja.

Saya: Nah, karena kamu sendiri menyadari bahwa minatmu di musik dan ada minat juga di tulis-menulis, meskipun tidak lewat olim, sebaiknya tetap diasah lewat cara yang lain. Karena kalau kemampuan kita dilatih terus, dikembangkan terus, suatu saat pasti akan memberi manfaat, buat bekal kalau besar nanti. Apa manfaatnya?

Damai: Bisa jadi pekerjaan, misalnya jadi penulis, pemusik, guru piano, macem-macem. Bisa membantu orang juga dengan itu…

Jadi demikianlah, hal yang saya apresiasi dari percakapan ini adalah bahwa si anak sudah mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan diinginkannya. Ia juga memberikan alasan yang dapat dimengerti, karenanya saya berusaha untuk menghargai itu. Dia punya hak untuk mendapatkan waktu yang cukup untuk istirahat, sebagaimana hak untuk memilih aktivitas apa yang akan digeluti sesuai dengan minatnya. Lebih dari itu, Damai juga sudah belajar untuk mengelola waktu yang dimilikinya dengan melibatkan berbagai pertimbangan, dan ini adalah dasar ketrampilan yang baik dalam sebuah pengambilan keputusan.

Tidak jarang sebagai orangtua kita berpikir bahwa ketika sudah mengetahui potensi anak, maka kita harus fokus, melakukan segala cara untuk mengupayakan agar anak mengembangkan kemampuannya dengan semaksimal mungkin, melalui berbagai macam kegiatan. Semakin banyak dan semakin sering akan semakin baik. Tetapi bagaimanapun, terlalu memforsir tanpa memberi keleluasaan ruang yang berimbang bagi anak untuk juga melakukan kegemarannya yang lain, untuk bermain dan memperoleh waktu istirahat yang cukup rasanya juga bukan keputusan yang tepat. Salah-salah jika dipaksakan, anak justru akan demotivasi untuk belajar. Sayang jika sampai demikian, apalagi jika anak memang memiliki bakat yang cukup menonjol di bidang tersebut.

Iklan

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s