Menepati janji cerita dari posting sebelumnya, berikut beberapa pertanyaan menarik dari sekian banyak yang diajukan oleh peserta Seminar Appreciative dan Innovative Parenting yang lalu. Saya pilih 4 pertanyaan yang sesuai topik pengembangan bakat, sebagai bahan belajar kita bersama. Untuk pertanyaan lain yang lebih umum tentang parenting, saya usahakan untuk menuliskannya di lain waktu.
1. Bagaimana cara yang dapat ditempuh oleh orangtua dalam mendeteksi bakat anak sejak dini?
Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya sudah tertulis dalam salah satu bagian Buku KKAO, tentang Catatan Kecil Mengenai Pengembangan Bakat Anak. Poinnya, orangtua dapat mengawali dengan melakukan pengamatan secara kontinu terhadap kemampuan anak, dari aktivitasnya sehari-hari. Penanda bakat biasanya muncul sewaktu-waktu, secara konsisten maupun sesekali.
Seperti pengalaman saya bersama Damai. Sebelum akhirnya memutuskan memasukkannya ke sekolah musik, selama beberapa waktu saya sudah mengamati lebih dulu potensi dasar Damai untuk bisa bermusik. Seperti dengan melihat responnya terhadap lagu atau musik tertentu yang saya perdengarkan, memastikan ia bisa mengikuti berbagai macam ritme, bisa mengekspresikan lagu-lagu sesuai dengan isinya, antusias untuk memainkan alat musik mainan dan bisa membunyikannya dalam pola yang teratur.
Begitu juga dengan bakat yang lain. Sejumlah anak yang memiliki bakat olah tubuh, misalnya, seperti menari dan olahraga, umumnya menunjukkan perilaku khas yang konsisten: Lebih banyak menggerakkan tubuh, antusias melakukan gerakan tari setiap kali mendengarkan musik (untuk bakat menari), suka sekali memainkan alat olahraga tertentu (untuk bakat olahraga), dan rata-rata tampak mempunyai energi gerak yang besar sehingga orangtua sering menyebutnya ‘tidak bisa diam’. Orangtua Sandrina, Juara IMB 3 di salah satu stasiun TV swasta, pernah bercerita di sebuah acara talk-show bahwa awal memutuskan untuk memfasilitasi pengembangan bakat putrinya dalam menari juga karena melihat tanda kemampuan geraknya yang luar biasa dari aktivitas sehari-hari.
Jadi tidak harus menempuh tes psikologi untuk mengetahui bakat anak. Bisa dengan tes bakat, tetapi tidak harus. Sebab orangtua bisa mendeteksi sendiri dengan aktif mengamati pola perilaku yang ditunjukkan anak, lalu menindaklanjutinya dengan memberikan beberapa stimulasi sederhana yang terkait potensi tersebut, sebelum kemudian mengikutkannya di kegiatan pengembangan bakat yang sesuai.
2. Masih terkait dengan deteksi terhadap bakat, bagaimana jika kedua orangtua bekerja dan anak di rumah dijaga oleh pengasuh?
Kebetulan saya juga seorang ibu yang bekerja. Sekian banyak waktu saya habiskan tidak bersama anak. Karena itu, saya berusaha mendisiplinkan diri agar ketika saya sedang bersama Damai, maka perhatian dan waktu saya harus semaksimal mungkin saya berikan kepadanya. Dengan begitu, meski secara kuantitas saya memiliki kekurangan, namun secara kualitas, interaksi kami tetap terjaga dengan baik.
Dengan mengupayakan quality time bersama anak, tidak ada alasan bagi orangtua untuk tidak dapat mengamati pola perilaku atau perkembangan kemampuan mereka. Lebih-lebih kita juga masih ada waktu libur di akhir pekan. Jadi tetap memungkinkan, tetap cukup waktu untuk mendeteksi, asal orangtua mau mengupayakannya.
Kepada asisten atau pengasuh kita juga bisa mengumpulkan data dengan menanyakan setiap kali pulang dari kantor tentang apa yang terjadi pada anak hari itu secara detil. Aktivitas apa yang paling sering dilakukan anak dalam bermain, permainan apa yang ia tampak paling berminat, hal apa yang seringkali ia ceritakan kepada asisten selama orangtua bekerja, dan sebagainya. Jadi bukan hanya bertanya, “Adek sudah makan apa belum, sudah tidur siang apa belum?” kepada pengasuh.
3. Bagaimana mengatur waktu anak antara pengembangan bakat yang satu dengan yang lainnya? Apalagi jika waktu sekolah sendiri sudah dari pagi sampai sore (full-day).
Sebenarnya tidak ada proporsi pasti berapa jam versus berapa jam waktu yang harus dialokasikan dalam sehari untuk mengembangkan beberapa potensi anak. Dari pengalaman bersama Damai, saya memberikan keleluasaan padanya untuk mengatur waktu sendiri, sesuai urutan aktivitas yang sedang lebih diminati saat itu.
Sebelumnya memang saya sudah mengajak Damai membahas tentang beberapa kemampuan yang dia miliki dan mengapa perlu dikembangkan. Tentang bermain piano, menulis di blog, juga kemampuan akademiknya. Saya ingin ia melakukan sesuatu dengan kesadaran akan manfaatnya ke depan, bukan sekedar melakukan sesuatu yang diinginkan oleh orang lain sementara ia sendiri tidak paham untuk apa. Saya juga ingin Damai berlatih untuk mampu mengelola diri sendiri, sehingga kelak perilakunya tidak bergantung pada kendali dari orang lain.
Saya menyampaikan pada Damai, yang penting dalam sehari ada variasi aktivitas. Karena pulang sekolah sampai rumah sudah hampir jam 4 sore, maka saya asumsikan belajar materi pelajaran sekolahnya sudah cukup lama dalam sehari itu. Saya tidak mau terlalu forsir ke sana. Kasihan. Karena itu juga sampai sekarang Damai tidak ikut les apapun kecuali piano.
Ada banyak hal lain yang juga penting dipelajari untuk bekal hidupnya selain pelajaran sekolah. Paling saya hanya meminta untuk mengecek kalau ada PR untuk dibawa keesokan harinya. Selebihnya saya bebaskan dia untuk melakukan hal lain, apakah akan berlatih piano, membaca, menulis, bermain minecraft, atau bermain bersama teman. Hanya sesekali saja saya mengingatkan sambil bertanya, misal:
– “Blog-nya sudah agak lama nggak di-update sepertinya. Teman-temanmu pasti sedang nunggu tulisan barumu, Mai. Kapan ya posting sesuatu lagi?”,
– “Sudah 2 hari Mamski nggak dengar suara piano. Jadi kangen. Nggak pengen main kah sekarang?”,
– “Ini tadi main game-nya sudah berapa lama? Sudah waktunya ganti yang lain belum?”,
– dan semacamnya.
4. Anak saya berbakat seni. Tapi dia juga senang sekali ikut lomba-lomba mata pelajaran dan beberapa kali memperoleh juara. Rasanya sayang kalau waktu belajar jadi berkurang. Bagaimana cara mengatur waktu yang tepat untuknya?
Pertanyaan ini sebenarnya mirip dengan pertanyaan sebelumnya. Jadi jawaban saya kurang lebih sama. Namun ada satu hal yang perlu saya ingatkan, tentang pentingnya orangtua mengklarifikasi apakah memang benar bahwa anak mau mengikuti lomba-lomba tertentu karena memang mereka senang? Atau sebenarnya mereka melakukan itu berulang kali karena tidak punya pilihan untuk menolak. Mungkin karena ditunjuk oleh sekolah, atau karena keinginan orangtua yang terus memaksa dengan berbagai cara.
Yang terbaik adalah memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan sesuatu sesuai minatnya. Seperti yang sudah saya tulis terdahulu, jika mereka menunjukkan potensi pada beberapa bidang yang berlainan, ada baiknya masing-masing diberikan porsi yang cukup untuk pengembangannya.
Dalam hal ini lebih baik membuka dialog dengan anak, diantara sekian banyak aktivitas yang dilakukan sebenarnya bagaimana perasaan mereka dalam menjalani. Di bagian mana mereka paling suka, dan di bagian mana sebenarnya mereka tidak berminat tapi terpaksa harus melakukan. Menurut saya orangtua perlu tahu tentang poin-poin tersebut dan tidak terburu menyimpulkan bahwa anak suka mengikuti lomba tertentu semata-mata karena melihat mereka tidak menolak.
Jangan sampai kita terlalu fokus mendorong anak untuk terus melakukan sesuatu tetapi kurang mengimbanginya dengan komunikasi yang baik, sehingga akhirnya kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka. Jangan sampai kita terlalu sibuk mengkondisikan anak untuk mengumpulkan berbagai bukti kejuaraan, tanpa memberikan kesempatan pada mereka untuk menyampaikan apa yang sesungguhnya dirasakan.
Terkait pertanyaan ini, siapa tahu sebenarnya anak punya minat dan bakat yang lebih kuat di bidang seni. Namun karena kita sebagai orangtua terbiasa berpikir bahwa kemampuan akademis jauh lebih penting dari hal-hal yang lain, akhirnya kita justru membatasi ruang dan waktunya untuk mengembangkan potensi yang sebenarnya jauh lebih besar dan lebih berguna bagi keberhasilannya kelak.
setuju, buuuuuuuuu…
ibu bekerja bukan berarti kehilangan waktu berharga untuk mengamati tumbuh kembang anak. –> ini komen seolah2 saya sudah punya anak.
Hihihi….ndak apa-apa lho, kan itung-itung persiapan ^.^