Minggu, meski harusnya libur tapi kali ini tetap harus ke kampus karena ada tugas mewawancara calon mahasiswa baru untuk Prodi S2. Di sepanjang jalan, entah kenapa ingatan saya tertuju pada obrolan berkesan sekian banyak tahun yang lalu bersama almarhum Bapak Kepala Sekolah SMP saya. Sosok tenang bersahaja yang begitu saya hormati. Topiknya adalah tentang bagaimana menjadi seorang guru.
Saat itu mungkin isi obrolan kami belum terasa sebagai sesuatu yang bermakna bagi saya. Sebab di masa SMP itu memang belum ada pikiran bahwa suatu saat saya akan menjadi seorang guru. Terpikirnya adalah profesi yang berbeda. Menjadi dokter, seperti kebanyakan anak menginginkannya ketika ditanya.
Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain. Jalan hidup ternyata membawa saya untuk bekerja sebagai guru, sebagai seorang pendidik bagi mahasiswa saya. Karenanya saya bersyukur tanpa sengaja telah diingatkan pada pesan-pesan beliau, yang sekarang menjadi sangat bermakna. Meski sejujurnya ingatan ini sempat membuat saya tercekat dan mengucap istighfar beberapa kali.
Saya tuliskan pesan beliau di sini sebagai pengingat untuk diri saya sendiri, juga mungkin untuk para mahasiswa yang suatu saat kelak akan menjadi pendidik pada jenjang apapun. Sebab saling mengingatkan tentang kebaikan itu wajib dilakukan, setidaknya menurut keyakinan saya.
Menjadi guru itu sejatinya tidaklah mudah. Bukan sekedar mengajar lalu setelahnya sudah. Menjadi guru, menurut beliau, adalah menjadi seorang yang setiap saat perilakunya akan diperhatikan, baik oleh siswa maupun orang lain di sekitarnya. Suka tidak suka, sadar maupun tidak, demikianlah yang terjadi.
Guru adalah orang yang memiliki pengaruh cukup besar di lingkungannya. Ia memiliki kekuatan luar biasa untuk mempengaruhi pikiran dan menggerakkan orang lain. Segala yang dikatakan dan dilakukan akan menjadi pertimbangan bahkan contoh bagi siswa, untuk kemudian berkata dan berperilaku tertentu. Sekali guru melempar isu, entah berapa banyak siswa yang akan mulai memikirkan dan membicarakan hal serupa, terlepas dari seperti apa kebenarannya.
Sungguh tanggung jawab yang begitu besar. Karena itu beliau mengingatkan, jika kami akan menjadi guru, lebih baik belajar untuk selalu berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu. Jangan sampai hal kecil yang diucapkan atau diperbuat tanpa sadar justru menggiring orang lain untuk berpikir dan bersikap yang tidak sepatutnya.
Pikiran saya kosong beberapa saat. Saya jadi meragukan apakah yang saya lakukan selama 11 tahun menjadi dosen ini sudah seperti yang beliau ajarkan.
Teringat kembali penggalan peristiwa lain, saat tanpa sengaja saya mendapati beliau mengingatkan seorang guru yang sedang membicarakan ketidaksukaannya terhadap rekan sesama guru, persis ketika ada siswa di dekatnya. Beliau memintanya berhenti karena begitu menjaga agar siswa memiliki sikap yang hormat kepada semua guru. Tidak semestinya kepolosan siswa, pikiran mereka yang sejatinya bersih ikut terkotori oleh berbagai macam informasi negatif dari persoalan orang lain. Bagaimanapun, setiap guru adalah figur pengganti orangtua di sekolah. Beliau ingin seluruh siswa memiliki akhlak yang baik kepada semua orang, apalagi kepada orangtua.
Menghela napas panjang, saya menyadari sepenuhnya, saya masih harus banyak belajar. Belajar untuk menjaga lisan, belajar untuk menjaga hati, belajar untuk mengelola diri, agar segala yang saya ucap dan tuliskan tidak memberi pengaruh yang kurang baik kepada sekian banyak orang di sekeliling saya. Terlebih di tengah kemudahan teknologi yang terus berkembang, dimana begitu banyak media menghubungkan antara saya dengan mereka.
Tugas yang berat, semoga kelak bisa mempertanggungjawabkan di hadapan-Nya…