Tulisan ini berawal dari sharing seorang teman tentang putri sulungnya yang belakangan semakin sering membantah. Ia juga ‘memusuhi’ adik perempuannya yang masih berusia pra sekolah. Si Sulung ini berusia 10 tahun, kelas 3 SD. Dan dalam pertemuan saya dengan teman tersebut, saya sempat melihat sendiri kedua kakak beradik anak teman saya ini bertengkar cukup hebat memperebutkan 1 mainan. Teman saya meminta putri sulungnya mengalah karena sudah besar, tapi dengan sikap keras ia menolak. “Nggak mau!”, teriaknya sambil membawa pergi mainan yang ada di tangan dan membuat si adik menangis cukup lama.
Ringkas cerita, dengan kejadian serupa yang kerap berulang, hal yang sangat dikhawatirkan oleh sang ibu adalah jika terjadi sibling rivalry yang semakin kuat diantara kedua anaknya, dan sikap si sulung yang semakin keras melawan kedua orangtua. Tidak hanya itu, belakangan putri sulungnya juga lebih banyak menyendiri, tampak berusaha membatasi bicara dengan orangtua maupun adiknya. Dari sini saya mulai melacak apa yang biasa dilakukan oleh teman saya dan suaminya dalam interaksinya dengan anak-anak mereka sehari-hari. Awalnya data yang keluar normatif, biasa saja dan tidak ada yang mengganjal kecuali bahwa mereka sering meminta si Sulung untuk bisa berperilaku sebagai ‘kakak yang baik’, yaitu siap sedia mengalah pada adiknya.
Saya mencoba berbagi apa yang pernah saya baca bahwa memang tidak ada salahnya mengajarkan pada anak yang lebih tua untuk bisa tampil ‘mengayomi’ dan berbesar hati mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Hanya saja jika hal ini terus-menerus dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi anak, ada banyak konsekuensi tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi, misalnya: Si kakak merasa diperlakukan tidak adil oleh orangtua, merasa bahwa orangtua hanya sayang kepada adik, dsb. Sementara si adik yang merasa ‘selalu dibela’ boleh jadi akan mengembangkan pola perilaku yang semakin egois dan manja.
Karena itu saya katakan sebaiknya orangtua perlu melihat situasi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk meminta anak sulungnya mengalah pada adik. Tidak selalu harus demikian. Yang terpenting justru menstimulasi semua anak agar sama-sama belajar tentang beragam nilai sosial dengan baik. Nilai untuk saling menyayangi dan menghormati, saling berbagi, saling bertanggung jawab, saling membantu, dan ‘saling-saling’ yang lainnya. Jika pada suatu kejadian diketahui bahwa si adik yang melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, maka adiklah yang harus dibantu untuk memperbaiki perilakunya, bukan meminta kakak untuk tetap mengalah. Dengan demikian anak menjadi paham bahwa orangtua mengajarkan hal yang sama kepada mereka tanpa pilih kasih.
Mendengar hal tersebut, teman saya membenarkannya. Ia menuturkan bahwa putri sulungnya sudah sempat berkata bahwa orangtuanya tidak sayang padanya. Ketika saya bertanya apakah ia dan suaminya satu kata dalam melakukan segala sesuatu untuk anak, dengan jelas ia katakan TIDAK. Banyak ‘kebijakan’ dalam rumah yang berbeda, termasuk ketika menyikapi perilaku yang dimunculkan anak. Menariknya, pada waktu-waktu tertentu mereka bahkan tidak sekedar berselisih pendapat di depan anak, tapi oleh sang suami tidak jarang pertengkaran tersebut diakhiri dengan mengatakan pada anak: “Tuh kan mbak, gara-gara kamu papa dan mama jadi bertengkar kayak gini!”
Saya tersenyum mendengarnya sambil membayangkan banyaknya hal tidak menyenangkan yang sering dihadapi oleh si Sulung kecil itu: Selalu dituntut untuk mengalah pada adik (meski sesungguhnya ia melakukan hal yang benar) dan diposisikan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas pertengkaran kedua orangtuanya 🙂
Penasaran, saya bertanya lagi gambaran lebih rinci dari perbedaan pengasuhan yang diterapkan oleh teman saya dengan suaminya. Kata teman saya, semua bermula dari beda karakter antara dirinya yang disiplin, dibesarkan dari keluarga yang disiplin, dengan suaminya yang tidak demikian. Ia mengakui cukup ketat dalam menerapkan aturan untuk anak-anaknya, terutama si Sulung yang sangat diharapkannya bisa memberi contoh untuk adiknya. Sementara tentang aturan ini suaminya cenderung melonggarkan, meski tetap sama dalam menuntut bahwa anak sulung harus bisa bersikap sebagai kakak yang ideal menurut mereka.
“Aturan apa saja itu?”, tanya saya. Jawabnya banyak: Tentang waktu belajar, membereskan alat mainan atau perlengkapan sekolah sendiri, meletakkan barang pada tempatnya, berperilaku yang sopan, dsb…dsb… Menurut saya sebenarnya itu sesuatu yang umum. Ya wajarlah jika diajarkan oleh seorang ibu sebagai bagian dari penanaman nilai dan kebiasaan positif dalam pengasuhan anak. Tapi memang saya sempat menduga ada sesuatu pada cara komunikasinya yang mungkin perlu dikoreksi kembali. Lalu segera saya klarifikasi dugaan itu. Dan benar, seperti yang diceritakannya, ia banyak sekali memberikan instruksi, menasihati, mengkoreksi, banyak meminta anak melakukan ini-itu, tapi minim apresiasi ketika anak menunjukkan perilaku yang benar. “Kupikir itu bukan hal yang penting… Kan aku tidak selalu melakukannya dengan marah-marah…”, akunya.
Semua orang, siapapun, berapapun usianya pasti ingin dihargai. Termasuk juga anak-anak. Bayangkan hal serupa terjadi pada diri kita, entah di rumah, di tempat kerja, sekolah, atau di lingkungan yang lain. Ketika kita sudah berusaha melakukan segala sesuatu yang dituntut oleh orang lain (lebih-lebih jika tuntutan itu beruntun seolah tak pernah selesai), namun setiap hasil yang kita tunjukkan tidak pernah diapresiasi, tentu kita juga akan merasa tidak nyaman. Sekedar memeluk anak, mengatakan “Keren…”, “Terima kasih sudah melakukannya…”, “Kakak rajin sekali ya…”, “Thank you sudah membantu mama…”, “Itu bagus dek…”, dan semacamnya tentu bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Apalagi untuk anak sendiri.
“Aku nggak biasa, Mbak… Rasanya canggung…”, kata teman saya kemudian. Walaaah……lebih penting canggungnya atau kondisi psikologis anak? Saya garuk-garuk kepala 😀 Akhirnya karena setelah itu saya harus buru-buru pamit, saya menyempatkan untuk merangkum hasil obrolan singkat kami tersebut. Beberapa poin yang kemudian saya tegaskan kembali pada teman saya adalah:
1. Perlunya menghindarkan diri untuk terjebak kebiasaan untuk semata-mata menuntut anak sulung berperilaku sebagai kakak yang ideal. Lihat situasi, lihat kondisi. Adakalanya si sulung diajarkan demikian, namun penting juga memberikan kesempatan pada anak yang lebih muda untuk ikut belajar berperilaku yang baik. Jadi saling belajar. Lebih dari itu harus sedapat mungkin bersikap adil pada semua anak dan aktif memberikan penjelasan atas setiap respon yng dimunculkan orangtua agar anak sama-sama memahami benar-salah perilaku mereka berikut konsekuensinya.
2. Apapun yang terjadi, hindari bertengkar di depan anak, terlebih sampai mengambinghitamkan anak sebagai penyebab dari pertengkaran tersebut. Sungguh ini saaangat menyakiti hati anak dan dapat membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis mereka selanjutnya. Lebih baik mencari jalan tengah dan mengambil kesepakatan atas perbedaan pendapat tersebut lebih dahulu sehingga di depan anak orangtua memiliki kesamaan sikap yang tidak membingungkan.
3. Bersikap disiplin dan mengajarkan anak untuk disiplin adalah hal yang baik. Tapi menyeimbangkan antara tuntutan dalam proses belajar disiplin tersebut dengan apresiasi adalah hal yang jauh lebih penting. Boleh saja orangtua meminta anak melakukan ini-itu, tapi jangan lupa menghargai sekecil apapun usaha yang telah mereka tunjukkan. Tak perlu canggung apalagi malu untuk memberikan pujian atau sekedar memeluk anak. Justru apresiasi ini akan membantu orangtua untuk menciptakan komunikasi yang lebih baik dan atmosfer yang lebih positif bagi perkembangan anak.
seharusnya…
bukan biasanya…
😀
😀
bekalku nanti…. nanti yang entah kapan …..
ketika saatnya tiba Kha…
toop