Berubah memang tak mudah. Bergerak meninggalkan kebiasaan dan zona nyaman umumnya cukup sulit dilakukan, terlebih bagi mereka yang tak cukup niat dan usaha. Pun demikian dalam konteks pendidikan.
Selama beberapa waktu sejak 2009, tugas fakultas membawa saya untuk terlibat dalam pendampingan sejumlah sekolah inklusif di Surabaya dan sekitarnya. Aktivitas tersebut mempertemukan saya dengan sekian banyak guru dari sekolah-sekolah inklusif yang sedang bergelut menyesuaikan diri dengan kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus di tempat masing-masing. Ada yang sudah menerima dan mulai berusaha melakukan perubahan dalam cara mengelola kelas, namun tidak sedikit yang masih setengah hati dan merasa terpaksa melakukannya. Efek dari kedua sikap tersebut tentu berbeda dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar mereka kemudian. Dan sikap yang positif tentu akan membawa pada upaya serta hasil yang lebih positif pula.
Saya pribadi tidak ingin terjebak dalam pembahasan benar dan salah terkait fenomena tersebut. Saya bisa membayangkan situasi yang kerap digambarkan oleh sejumlah guru sebagai beban yang bertambah. Tapi saya yakin, jika persepsi negatif terhadap anak berkebutuhan khusus yang mungkin masih muncul dapat sedikit diubah, maka beratnya “beban” yang dirasakan pasti lambat laun juga akan berkurang.
Seperti yang beberapa kali pernah saya tuliskan, anak berkebutuhan khusus bukan individu yang sama sekali tidak memiliki kemampuan. Justru seringkali mereka mampu menunjukkan kekuatan di luar dugaan orang-orang pada umumnya. Beberapa video di tulisan saya sebelum ini adalah sebagian kecil dari bukti kekuatan yang saya maksud. Sayangnya, tidak jarang orang terjebak pada apa yang tampak, lalu terburu menyimpulkan dan memberi label tertentu terhadap mereka hanya karena melihat hambatan yang mereka alami. Orang seringkali lupa bahwa manusia punya banyak sisi dalam kehidupannya. Bahwa Tuhan juga memberikan beragam kelebihan di balik kelemahan yang kita miliki. Terkait hal tersebut, mengubah cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, dan berusaha menggali sisi lain di balik kekurangan yang mungkin lebih dulu terlihat adalah hal yang harus dilakukan oleh para guru yang sedang belajar mengelola sebuah kelas inklusif. Guru perlu menjaga agar tidak mudah terbawa oleh kesan awal yang negatif terhadap anak berkebutuhan khusus. Sebaliknya, selalu berpikir objektif dan berusaha memahami kondisi siswa, lalu menggali serta menemukan kemampuan yang masih dapat dikembangkan adalah hal yang lebih penting untuk diupayakan.
Selain itu, melakukan langkah nyata sekecil apapun dalam proses penyesuaian tersebut tentu akan lebih berharga dan memberi hasil, daripada hanya bertahan dalam keluh kesah. Saya teringat saat suatu hari di salah satu aktivitas pendampingan yang saya lakukan bersama tim, seorang guru SMA Inklusif yang mengajar matematika menceritakan kesulitannya. Di kelasnya ada dua orang siswa tunarungu yang menurutnya sangat sulit mengikuti setiap materi yang ia berikan. Kata Bapak Guru, “Sudah saya jelaskan bolak-balik tetep aja dia itu nggak ngerti-ngerti. Kan saya capek kalau begini terus. Mending saya ngurusi anak-anak lain yang normal aja, terserah dia mau ngerti apa enggak. Kalau nggak bisa ngikuti pelajaran saya, ya sudah terserah…”
Lalu, bertanyalah saya kepada si bapak, “Kalau boleh tahu, Bapak bagaimana cara menjelaskannya pada saat itu?” Kemudian dijawabnya, “Ya seperti biasanya saya njelaskan ke anak-anak itu, Bu… Saya tulis rumusnya di papan tulis sambil saya jelaskan. Kadang saya juga berkeliling kelas waktu menjelaskan…”
Terbayanglah kondisinya di kepala saya. Salah satu cara yang digunakan oleh individu tunarungu untuk memahami informasi dari orang lain adalah dengan memperhatikan gerak bibir si pembicara. Ketika guru berbicara sambil menulis rumus di papan, sudah jelas siswa tunarungu tidak akan leluasa mengakses informasi yang diberikan. Begitu juga saat guru bergerak berkeliling kelas. Bayangkan jika hal tersebut sering dilakukan setiap kali mengajar. Tidak heran jika siswa-siswa tunarungu di kelasnya tidak bisa belajar dengan optimal. Jadi BUKAN karena mereka tidak mampu atau bodoh di matematika.
Waktu itu saya juga sempat bertanya pada forum, di mata pelajaran apa dua siswa tunarungu tersebut mampu mencapai nilai baik. Salah satunya ternyata di pelajaran sejarah. Lalu saya meminta guru sejarah menceritakan cara mengajarnya. Dan benar dugaan saya: Berbeda dari guru matematika. Guru sejarah yang ternyata sudah memperhitungkan keberadaan dan kondisi dua siswa tunarungu tersebut melakukan beberapa langkah setiap kali ia mengajar. Pertama, memindahkan tempat duduk siswa tunarungu menjadi lebih dekat dengan posisinya berdiri. Kedua, mengupayakan agar dalam mengajar tidak terlalu banyak bergerak mondar-mandiri, dan berbicara dengan tidak terlalu cepat agar gerak bibirnya dapat terbaca oleh kedua siswa tersebut. Ketiga, mengecek pemahaman siswa tunarungu terlebih dahulu sebelum mengakhiri pelajaran.
Yang diupayakan sederhana sebenarnya. Namun sekecil apapun perbedaan yang dibuat, ketika dilakukan dengan konsisten pasti akan membawa hasil. Mendengar penuturan guru sejarah, si bapak guru matematika berdalih bahwa guru sejarah berhasil karena mata pelajaran yang disampaikan tidak perlu menggunakan rumus-rumus, sehingga tidak mengharuskannya menggunakan papan tulis. Hmm…..mungkin itu ada benarnya. Tapi kemudian guru lain menjawab, “Kan rumusnya bisa ditulis dulu to Pak… Nanti Bapak tinggal njelaskan sambil sesekali nunjuk papan…” 🙂
Jadi, bergerak melakukan perubahan sebenarnya tidak perlu harus serta-merta dengan langkah yang besar. Proses ini bisa diawali dengan sesuatu yang kecil, namun terus dilakukan secara kontinyu, sambil nantinya secara bertahap disempurnakan dengan upaya-upaya yang lain.
Beberapa tulisan terdahulu yang terkait:
– Dukungan Orangtua Bagi Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus
– Tentang Pengasuhan Anak Berkebutuhan Khusus (1)
– Tentang Pengasuhan Anak Berkebutuhan Khusus (2)
– Ketika Difabel Menunjukkan Kekuatannya