Seputar Penyusunan Tugas Akhir

Ada sejumlah temuan menarik saat beruntun di beberapa waktu terakhir saya diminta memberikan masukan pada sejumlah proposal tesis dan disertasi, baik di bidang ilmu psikologi maupun ilmu kesehatan. Hal mendasar yang menurut saya perlu diperhatikan, namun kerap luput dari pemikiran. Dan semakin terasa menarik karena terjadinya tidak hanya pada satu / dua naskah saja:

Judul yang Sangat Panjang, Kompleks, Tampak WOW, Tapi Sulit Dipahami Maksudnya

Di beberapa tempat fenomena ini cukup menjadi tren. Saya sempat merenungkan dan berusaha untuk berempati terhadap kemungkinan penyebabnya. Mungkin mahasiswa yang membuat khawatir jika tesis atau disertasinya tampak sederhana, sehingga orang akan cenderung membandingkan dengan skripsi. Tetapi menurut saya membuat judul yang panjang dan ruwet juga bukan solusi yang tepat. Bolehlah merancang sebuah penelitian yang menantang sesuai level studi, misal dengan menggunakan jumlah sampel yang besar, atau mengangkat fenomena yang sangat spesifik dari kelompok masyarakat yang tidak mudah diakses, atau melibatkan cukup banyak variabel. Namun demikian formulasi judul tetap harus jelas, tidak membingungkan pembaca. Apalagi jika si pembuat usulan penelitian sendiri juga tampak tidak paham setelah dikonfirmasi. Bagaimanapun untuk judul, the simpler the better. Sederhana dan jelas, meski bukan berarti yang sederhana itu mudah untuk dilakukan.

Euforia Kata “MODEL”

Masih terkait judul, untuk penyusunan disertasi, kata “MODEL” agaknya menjadi peringkat tertinggi yang paling digemari saat ini. Sangat ngetop. Dari yang pernah saya baca saja, entah sudah berapa banyak judul proposal maupun laporan lengkap disertasi yang menggunakannya. Terdengar keren memang: Menyusun Sebuah Model. Tapi tidak jarang saat membacanya saya dibuat bingung dengan model yang dimaksud. Apakah sebuah model teoritik, atau model intervensi? Seringkali tidak disebutkan secara jelas dari mulai Bab 1 sampai dengan Bab 3. Padahal memilih untuk fokus pada salah satu diantaranya, atau bahkan melakukan keduanya dalam satu penelitian tentu ada dasar persoalan dan kebutuhan yang berbeda, yang semestinya dijelaskan secara tuntas pada bagian latar belakang.

Data yang Minim

Penelitian ilmiah tidak memfasilitasi orang untuk mengada-ada dalam mengangkat persoalan. Apa yang dianggap sebagai masalah, memang seharusnya ada data yang menunjukkan. Sebab jika tidak (menyatakan sesuatu tanpa data), akan berarti sama dengan menuduh tanpa bukti. Jadi serupa fitnah dong ya 😀

Sayangnya berdasar temuan, tidak sedikit proposal tesis atau disertasi yang juga minim data. Kalau ini terjadi pada skripsi, mungkin masih bisalah dimaklumi. Tapi kalau pada tesis apalagi disertasi masih juga ditemui, ada baiknya ide riset tersebut dipikirkan kembali. Contohnya seperti ini: Seorang peneliti mengatakan ada masalah pada pengasuhan anak berkebutuhan khusus yang dilakukan oleh sekelompok orangtua. Tetapi di uraian latar belakang tidak ada satu pun data yang menunjukkan adanya masalah pengasuhan dari orangtua. Yang ada hanyalah serentetan data tentang jumlah anak berkebutuhan khusus yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, yang penulisannya hingga berlembar-lembar.

Contoh lain adalah pada kasus data yang tidak sejalan dengan permasalahan. Misalnya ketika data yang ditampilkan pada uraian latar belakang adalah data persoalan yang sebenarnya lebih tepat untuk konsep lain. Bukan konsep yang akan diteliti. Hanya saja, kurangnya ketelitian dan pemahaman konseptual membuat mahasiswa melihat kedua konsep tersebut adalah hal yang sama, sehingga secara otomatis data A bisa dilekatkan dengan konsep B tanpa memberikan penjelasan yang memadai. Pada pengalaman yang lain saya juga menemukan di bagian latar belakang tertulis bahwa yang menjadi problem sebenarnya adalah kelompok subjek X. Namun ternyata pada bagian metode penelitian justru ditulis yang menjadi subjek adalah kelompok Y. Jadinya nano-nano, membingungkan.

Tinjauan Pustaka yang Berlebihan

Ada pameran data, ada pula etalase teori yang saya temukan pada sejumlah proposal. Berpuluh-puluh halaman Bab II memajang rangkaian teori yang jika diperhatikan sebenarnya banyak yang tidak relevan dengan fokus penelitian. Mungkin karena merasa sayang jika dibuang karena sudah terlanjur mengumpulkannya. Mungkin juga si penulis ingin membangun kesan proposal yang berkualitas dengan banyaknya jumlah halaman di Bab II. Tapi kalau isinya tidak relevan, kan juga tidak ada gunanya? Lebih baik selektif, dipilih yang benar-benar sesuai dan dalam jumlah yang proporsional.

Kecenderungan Mengkombinasi (baca: Mencampur-adukkan) Sejumlah Konsep/Teori Tanpa Rasionalisasi yang Jelas

Sisi kebaruan dari temuan penelitian memang ditekankan untuk dapat dicapai, terlebih pada penyusunan disertasi. Hal ini membuat mahasiswa seringkali menjadi “kemrungsung” untuk bisa menghasilkan berbagai model teoritik yang berbeda, yang menurutnya memiliki cakupan penjelasan lebih lengkap jika dibandingkan dengan teori-teori yang sudah ada. Hanya saja pada banyak kejadian, hasil yang tampak baru tersebut ternyata justru dipandang sebagai sesuatu yang memaksakan dan tidak berguna oleh mereka yang benar-benar memahaminya. Lebih-lebih ketika si mahasiswa bermaksud menggabungkan antara beberapa konsep/teori tanpa rasionalisasi atau penjelasan yang cukup.

Fenomena ini kerap terjadi pada mereka yang mengambil program lintas bidang, atau yang memilih menggunakan konsep/teori di luar pemahaman/bidangnya sehari-hari. Sebenarnya tidak salah. Malah mungkin representasi dari minat belajar yang tinggi. Akan tetapi kalau hal ini tidak diikuti dengan kemauan untuk membaca dengan benar berbagai literatur dan memperkuat pemahaman, maka yang terjadi hanyalah “percaya diri yang tanpa isi”. Akibatnya, terjadi serentetan kesalahan persepsi, sehingga sesuatu yang dianggap baru dalam penelitiannya bisa jadi adalah hal yang biasa/umum/sudah familiar bagi bidang lain yang memang menggeluti konsep/teori tersebut.

Kalau hanya sebatas ini saja sebenarnya masih untung. Paling jauh hanya bertemu orang-orang yang berkomentar seperti: “Apa? Nyusun alat ukur variabel A? Barunya dimana? Itu sih kalau di psikologi sudah jadi makanan anak S1… Malah lebih jelas indikatornya, ndak campur-campur. Dasar teorinya lebih baik…”.

Ya, saya bilang masih untung. Sebab akan bertambah parah kritik yang dihadapi jika kemudian tanpa pemahaman teoritik yang kuat, hanya bermodal asumsi bahwa menggunakan atau meramu konsep-konsep tertentu adalah sesuatu yang baru, si mahasiswa lalu bermain potong-tempel, memasang-masangkan beberapa konsep/teori untuk membangun model teoritik yang menurutnya komprehensif, cetarrr membahana badai halilintar, padahal sebenarnya tidak. Ada yang akhirnya antar konsep justru saling tumpang tindih, ada yang keterkaitannya dipaksakan, dan sebagainya.

Maka dari itu, tidak pernah bosan saya mengingatkan pada mahasiswa untuk paham betul dengan apa yang akan ditelitinya. Baca, baca, baca! Akses sebanyak mungkin sumber literatur yang berkualitas. Jangan hanya mengajukan usulan dengan modal nekat, membaca dan menyalin begitu saja rangkuman teori yang dibuat oleh orang lain, atau hanya berbekal membaca segelintir laporan penelitian lokal.

Kebingungan Proses Penelitian

Mungkin karena terlalu sibuk menyambung paragraf demi paragraf dalam proposal, saat ditanya soal isi, beberapa mahasiswa justru tampak kebingungan sendiri dengan rancangan penelitiannya. Ketika membuat proposal, mahasiswa harusnya sudah membayangkan siapa subjek atau partisipannya, bagaimana proses pengambilan data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan sesuai pula dengan karakteristik subjek, sampai ke bagaimana langkah-langkah menganalisis datanya nanti. Jika si peneliti sendiri tidak memahami dan memiliki gambaran tentang bagaimana proses penelitian yang akan dilakukan, maka bagaimana ia bisa meyakinkan orang lain yang mencermati rencana penelitiannya?

Buat rekan-rekan yang akan atau sedang berkutat dengan tugas akhir studi masing-masing, semoga catatan kecil ini bisa sedikit menjadi teman berpikir. Setidaknya menambah pertimbangan dalam membuat rancangan penelitian yang sebaik mungkin 🙂

Iklan

4 thoughts on “Seputar Penyusunan Tugas Akhir

  1. Ping balik: Cerita dari Ruang Kuliah: Rupa-rupa Proses Belajar Riset Kualitatif | Wiwin Hendriani

  2. Ternyata lebih sulit cari problem research daripada problem faktual bu he3….mohon bimbingannya selalu bu wiwin 😊😊

  3. Ping balik: Latar Belakang Masalah: Tantangan Menyusun Proposal Penelitian | Wiwin Hendriani

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s