Sudah 2 bulan-an saya melepaskan diri dari status sebagai anak sekolahan. Senang bisa kembali ke dunia nyata dengan segala warnanya: Menjalankan tugas pokok mengajar dari satu mata kuliah ke mata kuliah yang lain; Memberi konsultasi pada mahasiswa terkait penyelesaian tugas atau sekedar menjadi teman curhat persoalan sehari-hari; Menyelesaikan penelitian lanjutan disertasi; Mengerjakan beberapa program fakultas, termasuk menghadapi berbagai todongan pekerjaan yang tidak jarang mampir ke meja dan mendesak untuk segera ditindaklanjuti. Pendek kata, lulus sekolah itu….ya senang….ya gelagapan, hehehe…. 😀
Tapi lepas dari semuanya, tantangan terbesar setelah lulus S3 itu bagi saya adalah mengendalikan diri. Lebih-lebih ketika kenyataannya tidak jarang kita dihadapkan pada bermunculannya tawaran-tawaran “menarik” dari banyak pihak/institusi di luar atau dalam fakultas sendiri karena gelar doktor yang kita sandang. Dan pada saat itulah integritas benar-benar diuji.
Buat saya, menjadi doktor adalah berjuang untuk menjadi jujur dengan kapasitas dan kompetensi yang saya miliki. Lulusan S3 itu bukanlah orang yang bisa segala hal. Justru menurut saya mestinya semakin fokus dengan bidang tertentu. Saya sering dibuat takjub dengan sejumlah senior dari berbagai tempat yang setelah lulus S3 semakin banyak menerima tawaran pekerjaan (mengajar, menjadi pembicara, konsultan, dsb) yang bidangnya nano-nano dari A sampai Z, lalu mengerjakan berbagai proyek bersama pihak-pihak tertentu yang fokus kajiannya beragam, bahkan dalam satu waktu yang bersamaan. Luarrrrrr biasahhh…! Tapi mungkin juga yang bersangkutan memang mendadak dapat kesaktian sehingga berubah jadi multi-talented dan super power 🙂
Saya sendiri dalam waktu 2 bulan terakhir entah sudah berapa kali menolak permintaan ini-itu yang sejujurnya kalau tidak menggiurkan dari sisi uang ya menarik dari sisi gengsi. Kata beberapa orang sayang kalau dilepaskan. Sementara kata saya, ini pilihan tentang bagaimana komit menjaga prinsip. Meski semua masih berbau psikologi, tapi saya benar-benar takut tidak amanah jika memaksakan diri memberikan materi tertentu yang sebetulnya tidak saya kuasai kepada orang lain. Membayangkan saja rasanya seperti membual, bicara sesuatu yang sebenarnya diri sendiri tidak paham atau tidak pernah melakukan. Itulah mengapa saya lebih baik menolaknya, meski akhirnya tampak seperti agak ‘mbalelo’ ketika kebetulan yang memberikan tugas adalah atasan.
Kadang pihak luar yang meminta juga kurang memahami bahwa di psikologi sendiri ada banyak bidang kajian atau peminatan, atau yang disebut juga sebagai penjurusan. “Kan bisa belajar wong sama-sama psikologinya… Pasti bisalah, sudah S3 ini…”, kalimat semacam itu seringkali saya dengar ketika pihak yang meminta mulai memaksa. Tapi kan kalau mau disiplin dengan kompetensi bukan seperti itu caranya, batin saya…
Begitulah, tidak jarang orang hanya melihat dan mementingkan gelar tapi kurang teliti terhadap fokus keahlian. Makanya tidak salah jika kemudian kondisi itu dimanfaatkan oleh sejumlah oknum doktor yang gemar menangkap peluang apapun demi meraup banyak keuntungan. Mari berdoa keras agar selalu terhindar dari hal-hal yang demikian. Bukan saja agar tidak merugikan orang lain, tetapi juga untuk kebaikan diri sendiri.
Menjadi doktor buat saya juga berjuang untuk jauh lebih tenang dalam merespon beragam persoalan. Tetap asertif, tapi nggak ‘kamse’ apalagi ‘sotoy’, hehehe… Tidak reaktif dan emosional, tidak mengharap untuk lebih dihormati orang semata-mata karena gelar akademis yang berbeda, tidak pula menjadi sangat vokal memunculkan kritik sana-sini hanya untuk menunjukkan eksistensi. Hmmm….. sudah banyak di kiri-kanan yang seperti itu, dan saya tidak mau ikut arus. Belajar untuk legowo, belajar untuk merunduk, menghindar dari kesombongan, itu jauh lebih penting.
Dan akhirnya yang tak kalah penting, menjadi doktor itu adalah menjadi lebih tangguh untuk belajar, menaklukkan berbagai macam buku dan jurnal, juga peka pada segala yang terjadi di sekitar 🙂
*Catatan ini dibuat sekaligus sebagai pengingat bagi diri sendiri, karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan nanti…
bu wiwiiiiiiin…… ^O^ tetep smangat ya buuuuuuu…… iya juga ya, kadang orang suka “ajaib” menganggap sudah sekolah tinggi itu berarti bisa apa saja. “Kan sudah S3 ini…” hehehe….
Hihihihi…. ^.^
Masih berjuang di UI Ras? Eh, atau sudah lulus?
Main ke kampus kalau pas di Surabaya….
mantap bu….. proud of you…. 😉
Belum Kan… Masih harus bertarung melawan waktu. Bismillah aja…
Thanks a lot ya jeng… *peluk Ekan* 🙂
Tidak mudah menghadapi godaan, apa itu uang, gengsi dll. Nilai jual doktor memang tinggi.