Akhir-akhir ini agaknya banyak orangtua yang semakin sadar bahwa jalan sukses seorang anak tidak hanya ditentukan oleh kemampuan akademis. Mereka kemudian mulai mencari cara untuk bisa mengembangkan berbagai bakat yang dimiliki oleh anak. Dulu jaman saya kecil juga sudah ada sebenarnya. Tapi belakangan tambah heboh. Salah satu penandanya adalah semakin banyaknya orangtua yang meleskan anak ini-itu di luar yang terkait mata pelajaran di sekolah. Yah…meskipun kalau diperhatikan betul, beberapa diantaranya lebih tampak sekedar ikut-ikutan tanpa visi yang jelas, atau karena tidak mau terlihat ‘ketinggalan’ dari orangtua lain. Lagi musim les sempoa, berbondong-bondong ikut ngeleskan anak sempoa, padahal sempoa itu apa nggak paham juga, hehehe… Ketika beberapa teman kemudian mengikutkan anak les musik, les renang, les A-B-C, nggak mau ketinggalan untuk membeo juga karena mengira tren-nya memang sedang kesana. Ya nggak apa-apa juga sih, sepanjang yakin bahwa itu benar-benar sesuai dengan minat dan potensi anak, dan sepanjang tidak berujung memforsir tenaga anak hanya untuk memenuhi ego orangtua.
Mengetahui Bakat Anak
Ada anak-anak yang sejak usia sangat belia mampu menunjukkan bakat besar dalam suatu bidang, sehingga dari awal orangtua sudah dapat memfokuskan ke mana arah pengembangan bakat mereka. Namun tidak semua anak demikian. Sebagian besar yang lain membutuhkan stimulasi terlebih dulu untuk bisa menampakkan bakatnya. Pada kelompok yang kedua ini umumnya orangtua akan memberikan beberapa jenis latihan, untuk melihat pada bidang apa anaknya tampak berbakat. Konkritnya, orangtua akan mencobakan anaknya untuk ikut belajar sesuatu, lalu melihat perkembangannya. Baik perkembangan kemampuan maupun minat anak di dalamnya. Jadi semacam “trial and error”. Ini ok kok, tidak masalah menurut saya dan memang langkah yang wajar untuk ditempuh. Hanya saja sebelum men-“trial” dengan les tertentu yang nantinya akan terkait dengan urusan pendanaan, ada baiknya di”trial” sendiri dulu saja di rumah dengan berbagai aktivitas.
Saya menerapkan hal ini juga pada Damai. Sebelum akhirnya memutuskan memasukkannya ke sekolah musik (karena saya tidak punya kompetensi untuk mengajarinya sendiri), selama beberapa waktu saya sudah mengamati lebih dulu potensi dasar Damai untuk bisa bermusik. Seperti dengan mengamati responnya terhadap lagu atau musik tertentu yang saya perdengarkan, memastikannya bisa mengikuti berbagai macam ritme, bisa mengekspresikan lagu-lagu sesuai dengan isinya, dan dia antusias untuk belajar memainkan alat musik. Ketika saya yakin potensi dasarnya aman, saya baru mengikutkannya les piano. Simple saja, saya juga tidak ingin upaya saya sia-sia. Nggak ingin juga Damai hanya sekedar menuruti kemauan saya, apalagi nantinya harus bilang “Mama sudah bayar mahal buat lesmu ini lho dek… Ayo berangkat! Jangan malas!”, seperti yang tanpa sengaja pernah saya dengar dari beberapa orang kenalan. Kasihan anaknya juga kan… Saya lebih baik memastikan bahwa Damai punya “modal kemampuan” plus minat dulu sebelum memutuskan ikut les untuk mengasahnya. Dengan begitu ia akan bisa mengikuti materi dan enjoy dengan proses latihannya.
Salah satu penanda anak memiliki bakat atau tidak di suatu bidang dapat dilihat dari kemampuannya untuk beradaptasi dengan materi yang diberikan oleh guru atau pelatih. Orangtua tentu bisa mengamatinya. Semakin cepat anak beradaptasi, semakin cepat kemampuan menguasai materi, maka dimungkinkan semakin besar bakatnya pada bidang tersebut.
Menjaga Konsistensi Anak dalam Belajar/Berlatih
Pertama, perlunya pengaturan waktu dan variasi aktivitas. Pada banyak anak, aktivitas belajar yang bervariasi, tidak monoton, akan membantu menghindarkan dari kejenuhan. Ini tidak hanya berlaku pada kemampuan akademik tetapi juga dalam pengembangan bakatnya yang lain. Dari pengalaman pribadi, saya amati Damai semakin menikmati les pianonya sejak pindah ke sekolah musiknya yang sekarang. Dalam 30 menit, ada beberapa aktivitas yang dilakukan, semuanya menunjang kemampuan bermusiknya. Jadi tidak hanya duduk monoton membaca dan memainkan not balok dari awal sampai akhir. Efeknya, karena suka, di rumah Damai juga jadi lebih rajin latihan sendiri.
Kedua, pentingnya orangtua menjadi teman dan “penggemar” yang setia memotivasi. Tidak jarang satu/dua orangtua terlalu asyik dengan rutinitas antar jemput les, khusyuk dengan perkumpulan arisan ibu-ibu sesama pengantar les, sibuk dengan harapannya bahwa si anak akan dapat menguasai bidang yang sedang dileskan, tapi lupa untuk benar-benar memantau perkembangan anak dan mengapresiasi setiap kemajuan yang berhasil dicapai. Padahal itu hal yang jauh lebih penting. Sesekali memberi pujian, ngobrol tentang apa yang sedang dilakukan, meminta dan mendengarkan anak bercerita tentang apa yang baru saja dipelajari sepulang les, atau meluangkan waktu untuk menjadi penonton ketika anak sedang berlatih di rumah lalu bertepuk tangan setelah ia selesai toh bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Sangat mudah, nggak pakai bayar, plus menyenangkan bagi anak. Ini semacam suplemen yang sangat bermanfaat untuk terus mempertahankan dan memompa semangat belajarnya. Mereka juga akan merasa bahwa orangtuanya benar-benar memiliki perhatian dengan apa yang sedang mereka lakukan. Bahwa orangtuanya bukan sekedar mandor yang mengawasi dan mengomeli ketika mereka malas belajar/berlatih, yang hanya bertindak manakala hasil belajar tidak sesuai harapan 🙂
*****
Tulisan lama yang terkait topik ini: Mundur Selangkah untuk Proses Belajar yang Lebih Baik
Ping balik: Damai, Ujian Royal, dan Sebuah Catatan Reflektif untuk Saya | Wiwin Hendriani