Obrolan ini berawal dari tulisan saya di wall facebook, berdasarkan kejadian menarik yang saya alami sehari sebelumnya, yang kemudian menjadi diskusi seru dengan beberapa orang teman. Karena banyaknya komentar, hanya beberapa saja diantaranya yang saya tuliskan ulang di sini 🙂
Saya: Biasanya cuma lihat di TV, waktu pindah channel dan nangkep adegan serupa itu di sinetron atau film. Tapi semalam, dapat rejeki menyaksikan sendiri, persis di depan mata. Ada tiga orang anak SMA, anak-anak yang (tampaknya) borju, dengan gadget, laptop, dan mobil yang wow, di kafe tempat saya, Damai dan bapaknya makan. Mereka dua orang laki-laki (satu agak gendut dan satu bener-bener gendut) dan seorang perempuan yang tidak henti menghisap rokok. Apa hal menarik yang mereka lakukan? Bossy banget. Serius. Berteriak-teriak minta ini-itu ke pramusaji kafe, ngobrol sok soal materi dan gaya hidup dengan suara yang super duper kenceng, dan menggonta-ganti musik yang diputar di cafe seenak mereka plus mengeraskan suaranya sampe memekakkan telinga tanpa permisi. Sementara para pramusaji hanya pasrah, tak berdaya menolak. Hmmm……anak-anak siapa to ya…..?
Sepupu : Mereka cuma anak-anak yang “sementara” bisa berlagak karena uang orang tua mbak. Ntar kalo rizki ortunya dicabut, baru bisa sadar mereka..
Saya: Hmm… itu mungkin benar Wi. Tapi kalau dipikir, mereka seperti itu kan juga bukan sulapan. Pasti ada sebabnya. Nah, ada apa dengan ortu/keluarganya sehingga perilaku mereka jadi semenarik itu? Kalaupun mereka belajar dari lingkungannya, dari pergaulannya, pertanyaannya tetap saja, kenapa mereka sampai bergaul dengan lingkungan yang seperti itu? Balik-baliknya pasti juga terkait dengan kondisi atau bahkan pelajaran dari dalam rumahnya sendiri… Menurutku sih…
Teman (PP): Kontrol lingkungan juga kurang kali ya… Ingat waktu di Oz ada bule cewek muda lagi ngobrol di hp dengan suara kenceng, orang se-tram langsung melototin dan ribut, malah ada yg neriakin “Hey, we don’t want to hear your story!!!”
Saya: Iya Pram, itu juga ikut membiasakan mereka jadi seenaknya di tempat umum. Makanya semalem habis bapaknya Damai bertindak, tanpa perlawanan mereka langsung jadi silent boys & silent girl, hehe..
Teman (IR): Sayangnya yang model beginian banyak ya mbak, ga menghargai uang dan kerja keras. Pernah barengan di fast food, masih kecil, lagi sama ceweknya, gayanya bossy banget, pesen macem-macem sampe meja penuh tapi ga dimakan habis. Mentolo mites ae! Kalo menurutku, ortulah yang perannya utama, pasti gaya ortunya lebih bossy seakan-akan bisa membeli dunia. Jadi curious, apa anak-anak seperti itu punya welas asih, rasa kasih sayang, suka menolong, menghargai orang, dan menghargai kerja keras apa nggak? Penelitian dong mbak…
Saya: Tar ide penelitiannya kusarankan juga ke mahasiswaku ya jeng… Model anak-anak yang begitu kayaknya memang tambah banyak aja di kiri-kanan…
Teman (N): *Menyimak…* Jadi penasaran… apa yang dilakukan pak Bukik pada mereka buk?
Saya: Baiklah, kuceritakan (timbang penasaran, hihihi…), jadi habis salah 2 dari mereka maju ngutek-utek mp3 player dan mengeraskannya sampe nggak kira-kira itu, pak Bukik bergeser, mendekati si pramusaji, dan berbicara dengan volume yang sampe ke telinga 3 anak bossy tadi: “Mas, tolong suaranya dikecilkan lagi!”. Sudah dikecilkan sedikit sama si pramusaji sambil melirik takut-takut ke mereka, pak Bukik nggak puas. Trus bilang lagi: “Lagi mas, kurang kecil itu! Masih ngganggu…” Dan kembali dikecilkan volumenya. Lalu bagaimana dengan 3 anak tadi? Mereka melirik ke arah kami, dan pak Bukik menatapnya dengan tajam (setajam golok, hahaha…). Dan mereka pun terdiam. Cuma nggak tahu ya, habis kami pergi setelah selesai makan, mereka berulah lagi apa enggak…
Teman (D): Korban orang tua -.-“, Kasihan… Saya punya tetangga anak 5th bu, sama PRT tereak-tereak stereo. Eh, tibakno ibunya juga… *ngelus dada 100x*
Saya: Yup, bisa jadi karena modelling. Bisa jadi karena pengasuhan ortunya yang memang cenderung memanjakan tanpa memberikan kontrol yang memadai, atau justru banyak ketidakkonsistenan dari perilaku ortu sendiri saat mendidik anaknya di rumah. Kemungkinan yang lain, ada sesuatu yang membuat anak tidak nyaman berada di rumah, lalu lebih banyak bergaul di luar, dan mendapatkan pengaruh dari sana. Tapi untuk perilaku bossy ini, apalagi dengan berbagai fasilitas mewah yang memang mereka bawa, rasanya kecil kemungkinan kalau semata-mata hanya karena pengaruh dari luar rumah.
Teman (PW): Aku juga bertanya-tanya dan ingin tahu sekali bagaimana pola asuh yang diterapkan ortu-ortu mereka ini. Saat ini aku membawahi skitar 20 pekerja part-time yang usianya 18-23 tahun, gak ada yang beres kerjaannya.. Cenderung semaunya sendiri, tidak mau mengikuti rules yang disepakati, jadi maunya dapet duit tapi gak mau kerja keras hehehe… Berbeda sekali dengan 10-15 tahun lalu pada saat aku kerja part-time yang sama, aku masih bisa dapat rekan kerja yang betul-betul menghargai dan paham bagaimana bekerja. Apakah dalam 15 tahun itu pola asuh sudah berbeda terlalu jauh ya…
Saya: Begitulah jeng. Mari kita lihat beberapa contoh lain terkait urusan pola asuh ini. Misalnya, (1) Dulu seingatku (dari pengalaman sendiri dan teman-teman terdekat), segala PR yang diterima anak SD dari sekolah ya harus diselesaikan sendiri. Bagus atau jelek ga masalah, yang penting kan usaha sendiri. Sekarang banyak aku lihat PR anak diselesaikan ortunya karena si ortu khawatir nanti kalau kerjaannya nggak rapi, anaknya dapat nilai jelek.. (2) Dulu kalau ada acara kemah pramuka, ya sudah, dibekali dengan do’a dan wejangan aja. Namanya juga pramuka, yang belajar bertahan hidup di alam, yang berangkat dengan bekal seperlunya. Sekarang, banyak kulihat ortu ikut nimbrung, nungguin di kemah, memasakkan dsb, sementara anak-anaknya leyeh-leyeh ngobrol di tenda, padahal itu anak-anak sudah SMP.. (3) Dulu banyak ortu yang lebih mengarahkan anak untuk rajin belajar sendiri di rumah. Sekarang, banyak ortu yang termakan tren ngeleskan anaknya ini-itu karena takut si anak bakal kalah bersaing.. (4) Dulu ortu banyak yang lebih care dengan urusan sopan-santun. Anak-anak ditegaskan, diberi contoh tentang bagaimana harus bersikap dengan orang lain yang lebih tua, sikap yang hormat, dengan unggah-ungguh yang baik. Sekarang rasanya banyak ortu yang hanya care dengan nilai rapor atau ranking. Sementara soal adab lewat begitu saja.. (5) Dulu kalau untuk level mahasiswa rasanya ortu sudah semakin menekankan anak untuk mandiri dan bertanggung jawab. Sekarang bahkan untuk mengurus presensi anaknya yang kena tilang akibat bolospun ortu tak segan ikut campur, datang melobby ke dosen dengan cara ini-itu yang menyebalkan.. (6) Dulu sepertinya banyak ortu yang lebih punya prinsip untuk milah mana tren yg harus diikuti, mana yang enggak. Sekarang, cenderung nggak tegaan kalau anaknya sudah merengek minta sesuatu yang teman-temannya pada punya. Akhirnya diada-adakan, dan malah nggak jarang ortunya ikutan kormod juga. Jadi akhirnya semakin ditiru sama anaknya.. dan sebagainya.. dan sebagainya..
Teman (U): Ikut nimbrung ah…. Aku ngamatinnya juga begitu Win, banyak sekali orang tua yang takut anaknya kalah bersaing di sekolah masalah nilai, diles-in macam2, jadi waktu interaksi dengan artu malah berkurang dan pendidikan sopan santun juga berkurang.
Aku juga pernah ngobrol ama temen yang tinggal di Klaten dan dia insist dengan mengajarkan anaknya hanya memakai bahasa Indo dan inggris (padahal anake baru umuran 4-6 tahun). Alasannya sih demi masa depan mereka dan juga katanya justru bergengsi dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Kalo inget ngendikane mbak Iim dulu tantang pentingnya anak belajar dan mengenal bahasa dimana dia tumbuh dalam kaitannya di komponen emotional intelligence, aku ngerasa saya sayang ya. Kan kayak di bahasa jawa itu, tidak hanya masalah bisa bahasa jawanya tapi ada komponen menghormati orang yang lebih tua (ngoko, kromo). Aku ya ngga tau nanti anaknya jadi gimana di area departemen ‘sopan santun’ ya karena pasti ngga hanya datang dari satu single komponen tersebut. Tapi aku sayang aja karena banyak ortu missing values yang bagus (plus murah meriah) untuk anak mereka di kemudian hari.
Teman (IW): Jadi pengen ikut komen..hehe.. Setuju pola asuh & kontrol lingkungan.. Pengalaman soal ngantri.. pernah liat orang tua malah nyuruh anaknya nyerobot antrian.. Trus kalo yang liat brani nyolot/petugasnya teges ga ngelayani, mereka mau kok ngantri + maluu.. *pengalaman sering ngamuk-ngamuk pas ngantri, paling seneng bikin malu orang perlente yang kelakuannya gak sekolah* 😀
mantappp…. kalo saya sih,pengalaman sama anak anak yang “ngerasa” orang tuanya kaya, jadinya berani sama orang yang lebih tua… apalagi sama orang yang dianggapnya lebih rendah…
Yup, saya membayangkan model anaknya mungkin 11-12 dengan yang saya ceritakan, hihihi…