Adalah satu-satunya les yang diikuti olehnya. Dan ini adalah upaya kami untuk mencoba mengembangkan bakat yang “mungkin” dimiliki Damai. Iya, “mungkin”. Karena kami sesungguhnya juga tidak benar-benar tahu apakah betul bahwa bakat Damai adalah bermain piano 🙂
Seorang teman pernah bertanya bagaimana awalnya sehingga kami memutuskan untuk mengikutkannya di sebuah sekolah musik yang tidak begitu jauh dari rumah. Apakah itu karena keinginan Damai sendiri, atau justru keinginan kami? Hmm…..jawab saya, dua-duanya.
Kami memang mengharapkan Damai tumbuh dengan kemampuan yang seimbang, antara hal-hal yang berbau akademis, dengan yang non akademis (seni). Seimbang antara otak kanan dengan otak kirinya. Tentang kemampuan akademis, saya yakin, ia cukup memiliki potensi, dan untuk mengembangkannya saya memiliki komitmen untuk dapat membimbingnya sendiri. Tapi dalam hal seni, saya dan suami bersepakat untuk mengikutkannya di tempat les yang sesuai. Hanya saja, kami harus memperoleh gambaran terlebih dahulu, kira-kira ia berbakat dan berminat dalam bidang seni apa, sehingga kami tidak salah memasukkannya di tempat yang tidak sesuai.
Saya mencoba bertanya langsung pada Damai, kalau misalnya saya mau mengikutkannya les, kira-kira ia mau les apa? Oya, tentang kata “les”, Damai memang sudah cukup familiar sebelumnya, karena ia tahu banyak teman-temannya yang sibuk les ini-itu, sementara ia hanya belajar di rumah. Dulu ia sempat bertanya kenapa tidak les seperti teman-temannya. Saya jawab, ia akan les nanti, kalau ada sesuatu yang perlu untuk dipelajari dan tidak bisa saya ajarkan sendiri.
Kembali ke pertanyaan saya, Damai menyebutkan bahwa ia ingin belajar balet. Jawaban ini sudah saya duga. Sebab setiap kali nonton cerita princess ala barbie, ia memang sangat menikmati adegan para ballerina yang menari di dalamnya. Tidak jarang ia juga ikut menari-nari, sambil bergaya seperti puteri. Tapi masalahnya, kalau ingin ikut les balet, kami harus pergi ke Surabaya. Selain itu, dengan jadwal kerja kami yang tidak selalu dapat dipastikan, kami khawatir adakalanya kami akan kesulitan untuk mengantarkannya. Padahal sistem pendidikan di sekolah balet sepemahaman kami sangat ketat jadwal latihannya. Kami mencoba mengalihkan keinginan les balet itu dengan les tari tradisional yang beberapa tempatnya juga relatif dekat dari rumah. Tapi sepertinya ia tidak terlalu tertarik, meskipun saat saya putarkan video tari tradisional ia bisa mengikuti beberapa gerakannya. Ketika kemudian kami tahu bahwa di sekolah Damai yang baru (ia pindah sekolah ketika naik ke TK B) ada kegiatan ekstra kurikuler menari, kami langsung membatalkan rencana mengikutkannya les menari tradisional. Karena selain tampak tidak terlalu kuat minatnya, toh hal itu juga sudah terfasilitasi di sekolah.
Sementara, saya justru menyadari sesuatu yang lain. Sejak umur 3 tahun saya ingat Damai mulai tertarik dengan alat-alat musik. Dengan snare-drum mainan, ia bisa mengikuti tempo lagu-lagu anak yang sedang didengarnya. Setelah oleh bapaknya dibelikan keyboard kecil mainan, ia begitu senang mengeksplorasi nada-nada. Ia meminta saya untuk mengajari cara memainkan beberapa notasi lagu anak yang ada di majalah. Lama-kelamaan, ia sudah asyik sendiri mencoba memainkan not angka dari teks lagu-lagu anak yang dimilikinya. Sampai di sini sebenarnya saya masih belum yakin apakah bermain musik adalah bakat Damai yang layak untuk dikembangkan. Tapi saya tahu, ia cukup baik mengikuti tempo lagu yang berubah-ubah, bisa menghayati dan mengekspresikan jenis musik yang berlainan, dan betah berlama-lama memainkan alat musik mainannya.
Setelah berdiskusi dengan suami, kami pun menawarkan Damai untuk ikut les musik saja. Ia tanya, les dengan alat apa? Lalu saya arahkan ke piano, karena saya pernah mendapatkan informasi dari seorang teman bahwa piano adalah alat musik dasar yang disarankan untuk  dipelajari oleh anak yang baru pertama kali belajar musik. Seorang yang mahir memainkan piano, akan lebih mudah beradaptasi dengan alat-alat musik yang lain. Damai pun setuju untuk mencobanya.
Sampai hari ini, kami melihat Damai cukup menikmati aktivitas les pianonya. Setiap hari les tiba, sejak pagi ia pasti berulang kali mengingatkan kami untuk tidak lupa mengantarkannya. Ia akan marah, kalau kami berdua ternyata harus pulang malam dan tidak bisa mengantar karena ada pekerjaan yang mendesak untuk segera diselesaikan. Ia juga rajin mengulang-ulang materi lesnya ketika di rumah. Di sisi lain, menurut informasi guru piano Damai, perkembangan kemampuannya ternyata tidak mengecewakan. Damai tergolong cepat menangkap materi yang diajarkan, sehingga si ibu guru menawarkannya untuk mulai ikut kompetisi piano tingkat pemula.
Tentang tawaran itu, saya bersama suami mengembalikannya pada Damai. Terserah ia, mau ikut atau tidak. Sebab kami tidak pernah memiliki target apa-apa dalam hal ini. Sejak awal memasukkan Damai ke sekolah musik, kami hanya berniat memfasilitasi pengembangan potensinya saja. Sepanjang ia “enjoy” melakukannya, senang berlatih dan dapat memainkannya dengan baik, buat kami itu sudah cukup. Bahwa jika kemudian ia mampu mengikuti kompetisi di bidang musik, hal ini tidak lain adalah berkah, bonus yang diberikan Allah atas usaha yang kami lakukan 🙂