Sejak Damai berusia 7 bulan sampai kurang lebih 5 tahun, keluarga kami memiliki seorang asisten rumah tangga yang kooperatif. Ia adalah partner saya dalam mengurus rumah, juga menjaga Damai pada jam-jam tertentu saat saya dan suami harus bekerja. Saya menyadari bahwa asisten rumah tangga ini merupakan sosok yang potensial untuk diikutsertakan dalam proses pendidikan Damai di rumah. Karena itu, saya juga bekerjasama dengannya untuk memberikan stimulasi yang sebaik mungkin, tentu saja dengan ‘aturan main’ yang saya tetapkan.
Saya tidak ingin terjebak untuk bergantung dan memasrahkan semua urusan pengasuhan dan pendidikan anak pada asisten, sebab bagaimanapun sayalah orangtua, penanggung jawab utamanya. Saya mengambil porsi interaksi yang lebih banyak, memberikan arahan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh asisten, memintanya memperhatikan dan mengikuti apa yang saya lakukan selama mendampingi Damai belajar, sambil terus mengkontrol prosesnya.
Sebagai contoh ketika mengajari Damai membaca dan menulis, di setiap tahapnya saya memberikan stimulasi terlebih dahulu dan memastikan bahwa Damai mengerti dengan apa yang saya ajarkan. Setelah itu, ketika saya bekerja, saya meminta asisten untuk sesekali mengulangnya di sela-sela waktu bermain, dan memintanya untuk tidak menambahkan materi baru di luar sepengetahuan saya atau mengajarkan hal-hal lain yang dapat mengacaukan pola pembelajaran yang saya berikan.
Namun hal ini memang tidak mudah untuk dilakukan. Pada akhirnya saya harus cukup sering mengkoreksi apa yang dilakukan oleh asisten saya. Seperti saat suatu hari sepulang kantor saya menanyakan tentang apa saja yang dilakukan selama saya kerja, Damai bercerita bahwa dia bermain ini dan itu, lalu belajar berhitung. Tapi kemudian ia mengatakan bahwa ia tidak bisa berhitung dengan cara-cara yang diajarkan asisten saya. Saya tanya cara apakah itu, karena seingat saya sebelumnya yang saya ajarkan adalah berhitung penjumlahan bersusun dengan angka-angka yang sederhana. Ternyata eh ternyata, siang itu asisten saya memberikan soal penjumlahan dengan angka yang lebih rumit, sehingga harus menggunakan sistem “simpan” dari baris satuan ke puluhan, seperti: 18 + 15, 26 + 17, atau 11 + 19. Mungkin sepele untuk kita yang sudah memahami dengan baik konsep hitungan. Tapi tidak demikian untuk seorang anak 4 tahun, yang materi sebelumnya saja masih belum sepenuhnya dikuasai. Segera saya ingatkan untuk tidak memaksa anak mempelajari sesuatu yang belum pada levelnya, dan saya minta untuk kembali mengikuti dan mengulang sebatas yang saya ajarkan.
Hal lain yang masih saya ingat adalah ketika saya tahu asisten saya yang memang masih remaja mengajarkan bahasa-bahasa gaul ketika menemani Damai bermain. Karena memandang itu sebagai hal yang menarik, yang lucu, wajar jika akhirnya Damai pun mengulang-ulangnya ketika berbicara, bahkan mengucapkannya dalam konteks yang tidak tepat. Saya mengatakan pada Damai bahwa ada kata-kata yang lebih baik, yang lebih sopan untuk digunakan, yang lebih manis dan disukai oleh orang-orang yang mendengar, daripada mengucapkan kata-kata yang baru saja disebutkannya. Beruntung Damai mau memperhatikan apa yang saya ingatkan, dan ia pun ikut “menasehati” asisten saya dengan bahasa anak-anaknya untuk tidak menggunakan lagi kata-kata tertentu yang kurang sopan.
Satu contoh cerita lagi adalah tentang bagaimana saya meminta asisten untuk ikut berperan mendidik Damai agar mandiri dan bertanggung jawab terhadap barang-barang miliknya. Saya tidak memperbolehkan asisten untuk membereskan buku atau alat-alat mainan yang baru saja digunakan oleh Damai. Apa yang bisa dikerjakan sendiri olehnya, harus tetap dikerjakan sendiri. Sambil saya menguatkan perilakunya dengan menggunakan berbagai macam cerita, saya minta Damai untuk peduli dengan barang-barangnya, menjaga dan merawatnya sendiri karena itu tidak diperoleh dengan mudah, dan belum tentu akan bisa membelinya lagi kalau rusak. Damai sangat senang setiap kali dikatakan bahwa ia sudah besar, bukan lagi anak kecil yang tidak bisa apa-apa. Dan seperti layaknya orang yang sudah besar, kata saya, ia pasti bisa merapikan barang-barangnya sendiri tanpa harus meminta untuk dibantu seperti kebiasaan anak yang lebih kecil. Sayangnya seringkali asisten saya tidak sabar melihat Damai beres-beres dalam waktu yang agak lama. Mengira saya tidak memperhatikan, diam-diam ia meminta Damai menepi agar ia bisa melakukannya dengan lebih cepat. Hmm……kan…….
Jadi begitulah. Meski dibantu dalam beberapa hal, prakteknya saya memang tidak boleh lepas tangan begitu saja jika ingin proses dan hasil belajar Damai berlangsung seperti apa yang saya dan suami harapkan. Tapi bagaimanapun, untuk semua yang pernah dilakukan selama membantu kami dulu, saya harus tetap mengucapkan, “Thanks berat ya Su…” 😀 Jempol dua untuk kerjasama kita, dan juga kemauanmu belajar yang luar biasa. Semoga momen belajar di rumah ini, juga sekian banyak buku psikologi yang sudah kamu baca bisa bermanfaat untuk mendidik anak-anakmu nanti…
Meski tidak secara langsung, membaca blogmu bikin banyak belajar pengasuhan, Mbak. Terimakasih…
Sama-sama Rud.. Mari belajar bersama.. ^.^