Dalam sejumlah literatur, terdapat perbedaan titik penekanan dari beberapa ilmuwan dalam memandang resiliensi. Sejumlah peneliti mengasosiasikan resiliensi dengan faktor-faktor internal individu yang bersifat bawaan. Beberapa peneliti yang lain lebih memandang resiliensi sebagai suatu proses yang dapat dilalui oleh siapapun, yang tidak semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor bawaan, melainkan juga berbagai faktor lain yang bersifat eksternal.
Ungar (2005) membedakan penggunaan istilah resiliensi yang berasal dari kata “resiliency” dengan “resilience”. Resiliency digunakan untuk memberikan penjelasan atau gambaran tentang peran dominan dari berbagai kualitas internal individu dalam memunculkan adaptasi yang positif terhadap kesulitan. Sementara istilah resilience digunakan untuk mendeskripsikan fenomena yang sama, yang juga sering disama-artikan dengan surviving dan thriving, namun dibandingkan dengan pelibatan peran kualitas internal, istilah ini lebih dipahami secara dinamis (ecologically dynamic) sebagai sebuah proses yang melibatkan berbagai macam faktor yang saling berpengaruh satu sama lain.
Menurut Luthar dan Chichetti (2000, dalam Fleming dan Ledogar, 2008), dan Morale (2007), istilah ”resilience” memiliki makna yang berbeda dengan ”resiliency” yang bagi sejumlah peneliti memiliki konotasi yang mengarah pada trait atau karakteristik individu. ”Resiliency” berasal dari istilah ”ego resiliency” yang berbicara tentang trait kepribadian, sedangkan “resilience” yang lebih merupakan sebuah proses perkembangan dinamis, yang melibatkan upaya memelihara koping yang positif dalam menghadapi berbagai macam situasi sulit.
Ego resiliency adalah konstrak kepribadian yang memungkinkan seseorang untuk dapat beradaptasi secara fleksibel dan persisten terhadap situasi yang penuh tekanan (Smeekens, dkk., 2007; Chuang, dkk., 2006). Dengan menggunakan definisi ini, peneliti akan lebih fokus untuk mengidentifikasi faktor-faktor individual dalam memunculkan adaptasi yang positif, di bawah payung teori resiliensi (resilience) yang lebih luas. Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Smeekens, dkk. (2007) berusaha untuk mengidentifikasi berbagai trait kepribadian bawaan yang terkait dengan resiliensi.
Peneliti lain menggunakan istilah “ego resilience” untuk maksud yang sama dengan “ego resiliency”. Menurut Block dan Block (1980) dan Block dan Kremen (1996, dalam Cohn, dkk, 2009), ego resilience adalah trait kepribadian yang relatif stabil, yang merefleksikan kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan.
ASSALAMUALAIKUM PUAN.
SAYA SEDANG MENYIAPKAN TUGASAN DARI PENSYARAH BERKENAAN PERSONALITI WAJA DIRI. MEMBACA TULISAN PUAN SEDIKIT SEBANYAK TELAH MEMBANTU SAYA MEMAHAMI KEHENDAK TUGASAN. SAYA MENGUCAPKAN RIBUAN TERIMA KASIH DI ATAS PERKONGSIAN ILMU PUAN.
SEMOGA TUHAN MEMBERKATI PERJUANGAN PUAN DAN DIKURNIAKAN KEBAHAGIAN DUNIA DAN AKHIRAT.
-SURAYA-
Wa’alaikumsalam….
Amiiin… Terimakasih kembali… 🙂
Kalau di kaitkan dengan perubahan iklim apa ya kata Resilien, kok sering terkait dengan climate change adaptation, google translate gak mammpu mengartikan soalnya he..he..
Nah, itu, sejauh ini literatur yang saya baca juga tentang resiliensi yang terkait dengan bidang ilmu psikologi. Di kajian psikologi pun resiliensi juga kerap dilekatkan dengan beberapa konsep lain yang mirip, meskipun banyak referensi sudah menjelaskan bahwa sebenarnya konsep-konsep tersebut berbeda penekanan, seperti antara resiliensi dengan survive, dengan hardiness, dsb.
Ping balik: Resiliensi, Perspektif Life Span, dan Peluang dalam Penelitian (Materi dalam Seminar Nasional Pascasarjana) | Wiwin Hendriani