Definisi
Dalam berbagai kajian, resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi pondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang. Secara umum, resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik, yaitu: adanya kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami (Masten & Coatsworth, 1998). Senada dengan hal tersebut, Luthar, dkk (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah sebuah proses dinamis yang mencakup adaptasi positif dalam konteks situasi yang sulit, mengandung bahaya maupun hambatan yang signifikan.
Menurut Duncan et al (2005), resiliensi mencakup keberadaan sejumlah kemampuan, karakteristik maupun berbagai kondisi individu yang tidak bertujuan untuk menghilangkan resiko, akan tetapi lebih pada upaya untuk mampu menghadapi hal-hal yang berpotensi memunculkan krisis dengan cara-cara yang positif. Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya, resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, kompetensi vokasional, dan bahkan dengan berbagai tekanan yang hebat.
Menjadi individu yang resilien bukan berarti ia tidak pernah mengalami kesulitan atau stres. Justru sebaliknya, suatu jalan untuk menjadi orang yang resilien adalah dengan sering mengalami tekanan-tekanan emosional yang masih bisa dihadapi. Resiliensi juga bukanlah sebuah trait, yang dimiliki ataupun tidak dimiliki oleh seseorang. Akan tetapi resiliensi mencakup perilaku, pikiran dan berbagai sikap yang dapat dipelajari dan dikembangkan dalam diri setiap manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Tugade & Fredricson (2004) telah mengambil kesimpulan bahwa individu atau sekelompok orang yang resilien akan banyak melakukan regulasi emosi dengan menggunakan emosi positifnya untuk menggantikan emosi-emosi negatif yang seringkali muncul manakala mereka tengah menghadapi situasi sulit atau kondisi yang menekan. Salah satu landasan teori yang digunakan dalam penelitian Tugade & Fredricson (2004) tersebut adalah pandangan Lazarus (1993, dalam Tugade & Fredricson, 2004) yang mendefinisikan resiliensi psikologis sebagai koping efektif dan adaptasi positif terhadap kesulitan dan tekanan. Resiliensi psikologis ini akan mencerminkan bagaimana kekuatan dan ketangguhan yang ada dalam diri seseorang.
Menurut Block & Kremen (1996, dalam Tugade & Fredricson, 2004), resiliensi psikologis ditandai dengan kemampuan untuk bangkit dari pengalaman-pengalaman emosional yang negatif. Dengan kemampuan adaptasi dan fleksibilitas yang dimiliki, seorang yang resilien akan berusaha untuk menghadapi dan kemudian bangkit dari berbagai kondisi stres.
Studi Tugade & Fredricson (2004) juga mencatat bahwa individu yang resilien memiliki sifat optimistik, dinamis, bersikap antusias terhadap berbagai hal yang ditemuinya dalam hidup, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, dan memiliki emosionalitas yang positif. Lebih dari itu, individu yang memiliki resiliensi tinggi secara proaktif dan strategis akan menumbuhkan kondisi emosi yang positif, semisal melalui humor, teknik-teknik relaksasi, berpikir optimis dan melakukan pengubahan persepsi terhadap segala sesuatu yang pada awalnya dipandang sulit, menekan atau tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang wajar, menyenangkan, atau menantang. Dengan demikian, emosionalitas yang positif merupakan elemen penting dari resiliensi psikologis. Kemampuan seseorang dalam meregulasi berbagai emosi negatif menjadi emosi-emosi yang positif akan menentukan bagaimana resiliensi yang dicapainya
Faktor Risiko dan Protektif
Rutter (1987) menyatakan bahwa resiliensi lebih merupakan hasil dari upaya mengelola berbagai macam risiko (hal-hal yang tidak menyenangkan: hambatan, persoalan, konflik, dsb) daripada menghindari risiko-risiko tersebut. Windle (1999) menambahkan, resiliensi terbentuk dari interaksi yang signifikan antara faktor-faktor risiko dengan faktor-faktor protektif. Dalam hal ini, adaptasi yang baik dan berhasil terhadap suatu permasalahan mencerminkan kuatnya pengaruh faktor protektif yang dimiliki individu.
a. Faktor Risiko
Banyak peneliti telah membuat berbagai definisi tentang faktor risiko. Kaplan (1999) mendefinisikan faktor risiko sebagai “prediktor awal” dari sesuatu yang tidak diinginkan atau sesuatu yang membuat orang semakin rentan terhadap hal-hal yang tidak dinginkan. Menurut Rutter (1987, 1990) faktor risiko merupakan variabel yang mengarah langsung pada kondisi patologis atau maladjustment, meski di sisi lain ia juga menunjukkan bahwa faktor risiko merepresentasikan proses dan mekanisme yang mengarah pada akibat yang bersifat problematik. Sementara Luthar (1999) mendefinisikan faktor risiko sebagai sebuah ”mediator” atau variabel-variabel yang memfasilitasi munculnya problem perilaku.
Berbagai macam situasi dapat diidentifikasikan sebagai faktor risiko, yang muncul baik pada level individual, keluarga, komunitas maupun lingkungan yang lebih luas. Faktor-faktor risiko utama yang banyak disebutkan dalam berbagai literatur antara lain kehilangan pekerjaan, kemiskinan, perceraian, kematian, penyakit kronis dan kemandulan.
b. Faktor Protektif
Faktor-faktor protektif merupakan hal-hal potensial yang digunakan sebagai alat untuk merancang pencegahan dan penanggulan berbagai hambatan, persoalan, dan kesulitan dengan cara-cara yang efektif (Hogue and Liddle, 1999; Masten and Braswell, 1991). Dalam diskusi dengan tema resiliensi individual, Garmezy (1991) mengidentifikasikan berbagai kategori dari faktor protektif, yaitu : atribusi disposisional yang dimiliki individu seperti temperamen dan intelegensi, kohesivitas dan kehangatan keluarga, serta keberadaan dan pemanfaatan sistem pendukung eksternal.
Terdapat empat jalur potensial yang digunakan oleh faktor-faktor protektif untuk mengubah efek merugikan dari faktor risiko, yaitu: (1) Mereduksi dampak dari faktor risiko ; (2) Mereduksi rantai negatif dari sebuah kejadian yang menekan; (3) Memelihara dan mengembangkan self-esteem dan self-efficacy; serta (4) Membuka diri terhadap kesempatan-kesempatan baru (Rutter, 1990).
Selamat pagi Ibu Wiwin….
saya tertarik dg berbagai artikel anda ttg resiliensi…
artikel2 tsb berguna sekali utk menambah pengetahuan ttg resiliensi yg berguna buat materi penyusunan skripsi saya. Skripsi saya ttg resiliensi ODHA.
Jika berkenan, apakah ibu dapat berbagi informasi dimana saya dapat memperoleh literatur ttg resiliensi? di kota domisili saya, Jember, sulit untuk mendapatkan literatur2 tersebut.
Terima kasih.
Assalamualaikum Ibu, Saya adalah pelajar dari Malaysia Saya ada membaca atikel diatas tapi amat sukar untuk saya menguasainya kerana masalah bahasa
sekian terima kasih
Wa’alaikumsalam…
Saya bisa membayangkan, persoalan bahasa memang seringkali menjadi kendala bagi siapapun untuk mengakses informasi.
Hal ini sama seperti kebanyakan pelajar Indonesia yang masih kesulitan untuk memahami dengan baik artikel-artikel berbahasa Inggris.
Saran saya, Nor langsung mencari literatur dalam Bahasa Inggris saja tentang resiliensi ini, yang tentu akan lebih mudah dipahami.
Karena setahu saya Bahasa Inggris juga digunakan sebagai bahasa sehari-hari di Malaysia.
Terima kasih kembali dan sukses untuk Nor… 🙂
Halo juga Agatha..
Saya pun cukup menemui kesulitan mencari sumber referensi tentang resiliensi dalam bentuk buku cetak. Tapi bersyukur, internet banyak membantu saya untuk mendapatkan jurnal-jurnal ilmiah dan e-book yang bisa dengan mudah saya download.
Sejumlah diantaranya cukup dengan searching lewat google. Beberapa yang lain lewat gigapedia.
E-book yang mudah didownload lewat google misalnya:
– Kalil, A. (2003). Family Resilience and Good Child Outcomes. Wellington: Ministry of Social Development.
– VanBreda, A.D. (2001). Resilience Theory: A Literature Review. Pretoria: South African Military Health Service, Military Psychological Institute, Social Work Research and Development.
Tinggal ketikkan judulnya saja sebagai kata kunci.
Rujukan berupa laporan penelitian juga tersedia (di samping yang berbentuk jurnal).
Untuk jurnal misalnya:
– Sturgeon, J.A., and Zautra, A.J. (2010). Resilience: A New Paradigm for Adaptation to Chronic Pain. Current Pain and Headache Reports, Vol. 14, No. 2, 105-112. http://www.springerlink.com.
– Ungar, M. (2005). A Thicker Description of Resilience. The International Journal of Narrative Therapy and Community Work, 2005, Nos. 3 & 4, http://www.dulwichcenter.com.au.
– dan sebagainya.
So.., selamat mencarinya ya.. Sukses untuk skripsinya 🙂
selamat malam bu,
saya sudah mencoba googling dan mendapat beberapa jurnal dan e-book berdasarkan referensi yang saya dapat dari ibu. Tulisan2 ibu juga sangat membantu saya dalam memahami resiliensi shg saya dpt menemukan ide2 baru juga untuk dituliskan dlm skripsi saya.
Terima kasih bu 🙂
malam bu, saya ingin meneliti mengenai resiliensi wanita yang menikah karena hamil di luar nikah, apakah fokus penelitian tersebut sudah relevan bu.. dan mohon bantuan untuk literatur yang terkait, terimakasih 😀
Halo Arum, maaf agak lama membalasnya.
Mengacu penjelasan dari Cicchetti & Rogosh (1997), setidaknya ada dua komponen yang harus ada untuk memastikan tepat tidaknya menggunakan konsep resiliensi dalam mengkaji sesuatu, yaitu: (1) adanya stresor/adversity yang signifikan (hal-hal/kondisi yang mendatangkan kesulitan dan tekanan yang cukup berat), dan (2) adanya adaptasi positif yang mampu dimunculkan individu terhadap stresor/adversity tersebut.
Nah, sekarang coba identifikasi dulu, apakah pada topik yang akan diteliti ini kedua komponen yang disebutkan oleh Cicchetti & Rogosh memang ada di dalamnya?
Lalu pastikan pula, sebenarnya apa yang menjadi stresor/adversity yang signifikan itu? Apakah kehamilannya yang di luar nikah? Apakah situasi pernikahannya? Atau apa?
Untuk literatur, coba searching beberapa ebook yang sudah saya sebutkan di komen sebelumnya. Ada juga ebook “Resilience and Vulnerability” (Suniya S. Luthar, 2003) terbitan Cambridge University Press yang bisa di-download 😀
makasih ibu informasi. saya dapat sumber untuk tulisan-tulisan saya. maaf saya tanyaa buku apa yang menjadi referensinya? karena sya ingin membeli buku itu. matur sembah nuwun
Kebetulan saya tidak pernah membeli buku resiliensi, mbak Leni. Karena semua sumber referensi bisa saya akses dengan cukup mudah melalui internet, baik itu berupa jurnal2 ilmiah maupun e-book dari berbagai macam penerbit. Tinggal meluangkan waktu untuk searching & download saja 🙂
Salam kenal dr Rina mba…
Saya sangat tertarik dengan artikel2 mba yg banyak mengulas ttg Resiliensi, saat ini saya memilih judul tesisnya ttg “Meningkatkan Resiliensi dalam menghadapi pra pensiun post power sidrom pegawai negeri sipil”. saya mohon bantuan/partisipasinya ttg teori2 Reseliensi yg lebih lengkap…atas partisipasinya saya mengucakpan terima kasih banyak sebelumnya.
Halo dr. Rina, monggo…silakan langsung dilacak saja teori-teori lengkap dari beberapa sumber literatur yang sudah saya sebutkan di atas, atau yang juga saya tuliskan pada posting saya berjudul “Tentang Literatur Resiliensi”.
Lewat google InsyaAllah bisa di-search dengan menggunakan judul masing-masing artikel jurnal/e-book sebagai kata kuncinya (misal: Resilience Theory: A Literature Review) , atau bisa juga menggunakan kata kunci dari nama penulisnya (Misal: VanBreda, A.D., 2001) , atau kedua-duanya (misal: Ungar, M. (2005). A Thicker Description of Resilience). Setelah itu tinggal download.
Tidak sulit kok. Cuma butuh sedikit sabar saja. Tapi yang pasti referensi itu sudah tersedia banyak di berbagai jurnal dan e-book yang aksesibel di internet.
Sukses untuk tesisnya.. 🙂
Selamat pagi ibu wiwin.
Saya Jagentar Parlindungan Pane. Saya tertarik dengan tulisan ibu. Ibu sekarang saya lagi kuliah di Magister Keperawatan. Saya sekarang lagi menyusun tesis dengan judul “Hubungan antara resiliensi dengan coping stres pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis”. Saya mohon masukan dari ibu, apakah judul ini sudah relevan? Terimakasih atas bantuan dan kerjasama ibu. tk
Halo…maaf baru membalas karena lama tidak membuka blog 🙂
Langsung saja ya, kalau akan meneliti hubungan antara resiliensi dengan koping stres, 99% sudah dapat dipastikan ada hubungannya. Karena secara konseptual, dalam resiliensi memang terkandung muatan koping. Lazarus (1993) misalnya, sudah menjelaskan bahwa resiliensi psikologis merupakan koping efektif dan adaptasi positif terhadap kesulitan dan tekanan. Jadi, jika masalah yang diangkat sudah clear tentang koping, mungkin lebih baik jika variabel independennya diubah, bukan resiliensi.
Demikian, semoga membantu…
Selamat pagi menjelang siang ibu wiwin. Terima kasih atas masukannya. Ibu sedikit saya mau tukar pikiran ama ibu. Kemarin saya sudah ujian sidang dan kemarin penguji saya dari fakultas psikologis. Saya dinyatakan lulus dengan catatan saya harus perbaiki kembali isi makalah saya. Yang menjadi pertanyaan judul saya kemarin sudah disetujui untuk dilanjutkan ibu, gimana itu yach ibu. Apakah dosen penguji saya dari fakultas psikologis tidak tahu hal ini atau mungkin beliau kasihan melihat saya?
Ibu wiwin, boleh kah saya bertanya, data tentang penelitian resiliensi di indonesia? dan bagaimana cara menghubungkan data resiliensi saya dengan judul saya tersebut? mohon masukannya ibu. Terima kasih atas kerjasamanya.
Hmm….. menurut saya tidak pada tempatnya jika saya mengomentari tentang penguji yang dimaksud, karena bagaimanapun ada banyak kemungkinan/pertimbangan mengapa kemudian judul tersebut diputuskan untuk tetap diterima.
Mengenai data, yang lebih diperlukan adalah data-data seputar pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, tentang bagaimana coping mereka selama ini, mengingat fenomena ini yang diangkat sebagai permasalahan penelitian.
Kalau penguj meminta data tentang resiliensi, mungkin yang dimaksud adalah data yang menunjukkan bahwa ada pasien gagal ginjal kronik yang mampu menunjukkan karakteristik sebagai individu yang resilien dengan kondisinya. Coba langsung searching saja dari berbagai sumber.
Demikian…
assalamualaikum wr. wb.
nama saya karin. saya tertarik melihat blog anda yang membahas mengenai resiliensi karena saya juga mengambil skripsi dengan judul Resiliensi pada Warga Lapas Wanita Klas IIA Palembang. mungkin saya ingin bertukar pikiran dengan ibu, karena saya sedikit kesusahan mencari referensi mengenai ini. untuk buku sendiri, saya sudah menemukan bukunya. namun, teori dari buku tersebut membuat bingung dosen pembimbing saya. saya harus menemukan teori lain dengan cara mencari dari nama ahli yang sudah menelurkan teori mengenai resiliensi. menurut ibu, apakah saya tetap mempertahankan yang dari buku tersebut, atau saya harus mencari sejenis e-book? sejujurnya saya bingung mengenai daftar pustakanya. karna kalo mengambil di jurnal, biasanya di dalam jurnal itu juga mengambil dari jurnal orang lain. jadi, bagaimana baiknya ya bu? terima kasih sebelum dan sesudahnya. 😀 assalamualaikum wr. wb.
Wa’alaikumsalam…
Halo Karina, maafkan baru sadar bahwa ada komentar ini yang belum saya balas. Tentang literatur, memang dalam melakukan penelitian kita harus menyajikan uraiannya sejelas mungkin. Agar tidak membingungkan, sehingga kalau akan dijadikan sebagai dasar/pegangan dalam pengambilan data juga tepat. Dan kebutuhan ini hanya akan terpenuhi dengan melacaknya dari berbagai macam sumber yang kredibel, tidak boleh hanya menggantungkan dari satu buku saja. Apalagi jika buku tersebut ditulis secara translasi, yang mungkin alih bahasanya agak sulit dipahami.
Ping balik: Resiliensi, Perspektif Life Span, dan Peluang dalam Penelitian (Materi dalam Seminar Nasional Pascasarjana) | Wiwin Hendriani
Selamat malam Bu, saya sangat tertarik dengan mismatch latar belakang pendidikan dengan pekerjaan. Apakah bisa dikaitkan dengan resiliensi? Dengan tujuan untuk melihat perbedaan resiliensi pada pekerja yang sesuai dan tidak sesuai latar belakang pendidikan dengan pekerjaan. Apakah ada masukan dari ibu? Terimakasih
Terima kasih artikelnya Ibu Wiwin, sangat membantu dalam mengembangkan kedalam keselamatan kerja
Sama-sama, terima kasih kembali..