Resiliensi dalam Perspektif Perkembangan

Teori resiliensi adalah teori yang berkembang dari hasil kajian psikopatologi perkembangan dan perspektif ekosistem, serta dipengaruhi oleh teori tentang stres dan koping. Kerangka berpikir teoritik tentang resiliensi menjelaskan tentang perkembangan yang sehat dari populasi yang berada dalam risiko, dan mengatasi stres serta kesulitan untuk mencapai taraf  fungsional hidup yang optimal, baik terhadap hambatan yang spesifik di fase perkembangan tertentu maupun di sepanjang rentang hidupnya.

Di antara jenis-jenis penelitian yang pada umumnya dilakukan dalam studi perkembangan, penelitian dan perumusan teori tentang resiliensi lebih banyak dilakukan secara longitudinal pada kohort anak yang berada pada situasi-situasi yang berisiko, dibandingkan dengan metode observasi klinis dan studi kasus. Sebagai contoh, Werner, salah seorang pionir dalam studi resiliensi telah melakukan penelitian longitudinal dalam kurun waktu 1955 – 1985 pada sepertiga anak dari suku Kauai, di Hawai’i, yang mampu mengembangkan perilaku positif dan memiliki perkembangan yang relatif sehat meskipun mereka memiliki orangtua dengan permasalahan mental dan sosial.  Garmezy pada tahun 1973 mempublikasikan hasil temuan dari serangkaian studi yang telah dilakukan sejak tahun 1950-an tentang resiliensi. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan epidemiologi, mempelajari tentang individu yang mengalami dan tidak mengalami psikopatologi serta mengapa perbedaan kondisi tersebut dapat terjadi. Sementara dalam studi yang dilakukan oleh Masten (1989) pada anak dengan ibu yang menderita schizophrenia, hasil menunjukkan bahwa anak dengan orangtua schizophrenia pada umumnya tidak memperoleh pengasuhan yang baik dan menyenangkan jika dibandingkan dengan anak dengan orangtua yang sehat, sehingga hal ini berdampak besar pada perkembangannya. Namun diantara anak tersebut ternyata ada sebagian kecil yang tetap tumbuh dengan sehat dan memiliki prestasi akademik yang baik.

Berbagai penelitian tentang resiliensi pada anak, remaja, maupun dewasa telah menemukan relasi yang positif antara spiritualitas, dukungan sosial, modal/sumberdaya sosial, pendapatan, dan trait personal atau keluarga (misal: hardiness, koherensi, kompetensi sosial, self-efficacy, kelekatan yang normal/aman, atribusi sehat, dan koping), dengan resistensi terhadap faktor-faktor risiko serta berbagai efek termasuk gangguan psikiatrik, kejadian putus sekolah, dan sebagainya (Dining, 2005; Garmezy, 1991; Luthar et al, 2000; Masten & Coatsworth, 1998; Richardson, 2002; Rutter, 1999; Smith & Carson, 1997; Werner, 1992). Sebagaimana teori-teori perkembangan yang lain, teori resiliensi juga telah diaplikasikan dalam konteks individual maupun keluarga. Dan sejalan dengan pemahaman teori ekologi Bronfenbrenner, faktor risiko maupun protektif dari resiliensi pun mencakup pula berbagai hal yang berasal dari lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Masih terkait dengan aspek-aspek dalam perkembangan manusia, resiliensi akan dapat ditandai dengan sehat tidaknya kondisi biopsikososial individu.  Namun demikian, teori resiliensi banyak mendapatkan kritik dari paradigma positivistik, mengingat studinya yang lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kualitatif sehingga beberapa ahli menilai hal tersebut menimbulkan keterbatasan dalam validitas dan reliabilitas hasil-hasil penelitian yang dihasilkan di dalamnya (Smith-Osborne, 2007). Untuk menindaklanjuti kritik tersebut, memperbanyak studi resiliensi secara lintas budaya pada populasi yang beragam menjadi hal yang sangat dianjurkan untuk para peneliti resiliensi. Richardson (2002) menyarankan tiga kelompok penelitian resiliensi yang dapat dilakukan, yaitu: (1) Penelitian yang berfokus pada eksplorasi kualitas-kualitas atau karakteristik resilien dalam diri individu dan lingkungan; (2) Fokus pada perumusan proses-proses resilien yang efektif dalam mengatasi berbagai macam rintangan atau permasalahan; dan (3) Identifikasi proses transformasional bawaan (innate) yang dialami individu dalam konteks resiliensi. Dalam aplikasi, ketiganya akan memperkaya pula kajian teori perkembangan dalam situasi atau kondisi yang penuh dengan risiko.

Iklan

1 thought on “Resiliensi dalam Perspektif Perkembangan

  1. Ping balik: Resiliensi, Perspektif Life Span, dan Peluang dalam Penelitian (Materi dalam Seminar Nasional Pascasarjana) | Wiwin Hendriani

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s