PENGANTAR
Tidak semua individu dilahirkan dalam kondisi yang “normal”. Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis, yang telah dialami sejak awal masa perkembangan. Keterbelakangan mental adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui di berbagai tempat, dengan karakteristik penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQ di bawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan berbagai aktivitas sosial di lingkungan. Individu dengan keterbelakangan mental memiliki fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata, dan lebih lanjut kondisi tersebut akan berkaitan serta memberikan pengaruh terhadap terjadinya gangguan perilaku selama periode perkembangan (Hallahan & Kauffman, 1988). Prevalensi penderita keterbelakangan mental di Indonesia saat ini diperkirakan telah mencapai satu sampai dengan tiga persen dari jumlah penduduk seluruhnya, dan jumlah tersebut dimungkinkan akan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Masalah keterbelakangan mental, seperti dikemukakan oleh Budhiman (dalam Sembiring, 2002), memang perlu mendapatkan perhatian mengingat sejumlah tulisan sejak periode 1981 telah mengemukakan bahwa keterbelakangan atau retardasi mental merupakan masalah yang cukup besar di Indonesia, meskipun tetap diakui tidak ada data yang lengkap dan pasti tentang jumlah mereka di negara ini. Ketidaklengkapan data tersebut dimungkinkan karena tidak semua penyandangnya dapat tercatat. Selama ini pencatatan sebatas dilakukan pada mereka yang datang berobat atau memeriksakan diri, serta yang terdaftar di sekolah luar biasa.
Terlepas dari bagaimanapun kondisi yang dialami, pada dasarnya setiap manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif dan suportif, termasuk bagi mereka yang mengalami keterbelakangan mental. Akan tetapi realita yang terjadi tidaklah selalu demikian. Di banyak tempat, baik secara langsung maupun tidak, individu berkebutuhan khusus ini cenderung ‘disisihkan’ dari lingkungannya. Penolakan terhadap mereka tidak hanya dilakukan oleh individu lain di sekitar tempat tinggalnya, namun beberapa bahkan tidak diterima dalam keluarganya sendiri. Beragam perlakuan pun dirasakan oleh mereka. Mulai dari penghindaran secara halus, penolakan secara langsung, sampai dengan sikap-sikap dan perlakuan yang cenderung kurang manusiawi. Padahal apa yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka hanyalah hambatan pada perkembangan intelektualnya.
Anak dan remaja yang mengalami retardasi mental tetap memiliki kemampuan lain yang masih dapat dikembangkan dan dioptimalkan untuk membantunya beraktivitas seperti orang normal, dan memberikan peran tertentu di masyarakat meskipun terbatas. Individu yang mengalami keterbelakangan mental masih dapat mempelajari berbagai ketrampilan hidup apabila orang-orang di sekitarnya memberikan kesempatan dan dukungan yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ismed Yusuf dalam Majalah Psikiatri Jiwa (Sembiring, 2002) bahwa masih ada bagian intelektual anak dengan keterbelakangan mental yang dapat dikembangkan dengan suatu tindakan atau penanganan khusus. Penanganan khusus yang dimaksud ditujukan untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya agar dapat mencapai kemampuan adaptasi yang juga optimal.
Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan mereka. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental akan sangat tergantung pada peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab pada dasarnya keberhasilan program tersebut bukan hanya merupakan tanggung jawab dari lembaga pendidikan yang terkait saja. Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari setiap anggota keluarga akan memberikan ‘energi’ dan kepercayaan dalam diri anak dan remaja yang terbelakang mental untuk lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini akan membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan pada bantuan orang lain. Sebaliknya, penolakan yang diterima dari orang-orang terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta tergantung pada orang lain, termasuk dalam merawat diri sendiri.
Terdapat dua kemungkinan sikap yang akan dimunculkan oleh anggota keluarga terhadap individu yang terbelakang mental, yaitu menerima atau menolak. Secara normatif, sebagian besar orang tentunya menyatakan telah menerima keberadaan mereka, sebab bagaimanapun mereka telah ditakdirkan menjadi bagian dari keluarga. Namun pada kenyataannya, respon ‘penerimaan’ masing-masing individu tidaklah selalu sama. Respon inilah yang nantinya akan menjelaskan apakah mereka telah benar-benar menerima atau sebenarnya melakukan penolakan dengan cara-cara dan perlakukan tertentu. Hal ini juga akan menjelaskan tentang bagaimana pola sebuah keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dengan keberadaan individu yang berbeda tersebut.
Dengan hasil yang diperoleh, peneliti berharap bahwa nantinya akan memperoleh gambaran yang nyata tentang sikap sosial dalam masyarakat terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental. Hal tersebut kemudian akan dijadikan dasar untuk merancang suatu langkah dalam membantu mengoptimalisasikan perkembangan individu yang memiliki kebutuhan khusus, terutama dengan menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan penuh dukungan yang dibutuhkan bagi kelancaran proses belajar dan aktivitas sosial mereka.
CARA PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode studi kasus. Studi kasus merupakan sebuah metode penelitian yang timbul dari keinginan untuk dapat memahami berbagai fenomena sosial yang bersifat kompleks, dalam konteks kehidupan yang sebenarnya (Yin, 1994). Subjek penelitian terdiri dari tiga keluarga dengan anak yang mengalami keterbelakangan mental, dari taraf ringan hingga berat. Berbagai data tentang ketiga keluarga tersebut diperoleh dari wawancara terhadap lima orang informan, yaitu mereka yang dipandang memahami kondisi dan berbagai hal yang ada pada masing-masing keluarga dengan baik. Kelimanya meliputi orangtua, saudara kandung, saudara angkat, dan kerabat yang tinggal bersama dengan individu terbelakang mental dalam keluarganya tersebut. Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara, yaitu aktivitas percakapan atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 1998).
HASIL PENELITIAN
Kasus 1
Kasus pertama terdapat pada keluarga H. H berjenis kelamin laki-laki, mengalami keterbelakangan mental dalam kategori ringan. Ia adalah anak ke-2 dari lima bersaudara. Sejak H kecil orangtuanya tidak mengetahui bahwa H mengalami keterbelakangan mental. Tidak ada informasi yang diperoleh mengenai kemungkinan kondisi H setelah dilahirkan, baik dari dokter maupun petugas kesehatan yang merawat ibu selama kehamilan hingga setelah persalinan. Sehingga tentang segala sesuatu yang terkait dengan keterbelakangan mental sendiri, kedua orangtua H tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup.
Kurangnya pemahaman ini pada akhirnya menimbulkan ketidaksiapan bagi orangtua dan keluarga untuk menghadapi kehadiran H dengan kondisinya yang berbeda. Sehingga begitu H lahir, mengalami begitu banyak keterlambatan dan kekurangmampuan dalam perkembangannya, orangtua dan anggota keluarga H yang lain memiliki persepsi bahwa H adalah seorang yang bodoh dan lemah secara sosial.
H dipandang tidak mampu melakukan apa-apa, sehingga tidak memiliki kontribusi apapun terhadap keluarga. H yang tidak dapat bekerja seperti orang normal tidak dapat mengambil peran untuk ikut membiayai kebutuhan keluarga seperti saudara-saudaranya yang lain, sehingga ‘seolah-olah’ ia menjadi tidak berguna. Anggota keluarga H kemudian memandang bahwa keberadaan H akan lebih berguna apabila dapat ‘diberdayakan’ seperti dengan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Adanya persepsi tersebut disadari maupun tidak, keluarga H sebenarnya tidak menerima kondisi H yang mengalami keterbelakangan mental, sehingga yang terjadi kemudian adalah munculnya berbagai sikap dan perlakuan yang kurang baik terhadap H, yang tentu saja semakin memperbesar hambatan yang dialami dan tidak mendukung agar perkembangannya berjalan ke arah yang lebih optimal.
Kasus 2
Kasus kedua adalah pada keluarga D. Ia mengalami keterbelakangan mental dalam kategori sedang, berjenis kelamin perempuan, anak kedua dari dua bersaudara. Kedua orangtuanya telah bercerai sebelum ia dilahirkan, dan karena tidak tahan dengan beban hidup yang dialami, dua minggu setelah melahirkan ibu D pun pergi meninggalkan D yang masih bayi di tempat nenek, sehingga sejak lahir D tinggal dan dirawat oleh neneknya.
Selama D dalam kandungan, baik ibu D maupun nenek tidak memiliki perhatian yang cukup terhadap perkembangan kandungannya, sehingga mereka tidak mengetahui informasi tentang kondisi calon anak yang akan dilahirkan serta tentang segala sesuatu yang terkait dengan keterbelakangan mental. Karena hal tersebut, mereka pun tidak siap menghadapi kehadiran anak yang memiliki kondisi berbeda dari anak-anak lain yang normal.
Setelah D lahir, nenek D yang memiliki karakter keras dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya (ibu D) pergi meninggalkan rumah dengan tiba-tiba, sehingga ia harus merawat D seorang diri. D kemudian tumbuh berbeda dari anak-anak lain pada umumnya. Hingga umur tiga tahun ia masih belum dapat berbicara maupun berjalan. Melihat hal tersebut dan karena ia juga mendengar masyarakat di sekitarnya banyak beranggapan bahwa anak dengan kelainan adalah aib dalam keluarga, maka lambat laun nenek D menganggap keberadaan D yang ‘tidak normal’ hanya merepotkan dan menjadi aib yang memalukan bagi keluarganya. Sikapnya yang tidak menerima kondisi D kemudian ditunjukkan melalui berbagai perlakuan negatif terhadap D, dan hal ini pun diikuti oleh kerabat mereka yang tinggal dalam rumah yang sama.
Kasus 3
Kasus ketiga terdapat pada keluarga N. N adalah seorang perempuan, anak kedua dari tiga bersaudara. Ia mengalami keterbelakangan mental kategori berat, yang sekaligus menderita Down Syndrome. Ciri mongoloid sangat terlihat pada wajahnya. N lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang antar anggotanya dapat berkomunikasi dengan terbuka, saling peduli satu sama lain dan memiliki hubungan yang harmonis.
Pola penerimaan yang terdapat pada keluarga N telah muncul sejak sebelum N lahir. Berdasarkan hasil konsultasi yang secara rutin dilakukan dengan dokter yang merawat kehamilan ibu N, kedua orangtua N telah mendapatkan informasi bahwa kondisi calon anak yang ada dalam kandungannya berbeda dari anak-anak lain yang normal. Dikatakan oleh dokter, pada calon anak tersebut telah terjadi kelainan kromosom yang menyebabkannya mengalami down syndrome. Karena kondisi ini, dalam perkembangannya setelah lahir nanti, selain memiliki bentuk fisik yang khas, calon anak tersebut akan mengalami keterbelakangan mental. Oleh sebab itu, kedua orangtua N pun mulai memperdalam pengetahuannya mengenai down syndrome dari berbagai sumber. Mereka kemudian memahami bahwa meskipun terjadi hambatan perkembangan dalam diri calon anak yang akan dilahirkan, namun kemampuan hidupnya masih dapat dioptimalkan untuk meminimalkan kekurangan yang dimiliki.
Kedua orangtua N memiliki keyakinan yang kemudian diajarkan pada semua anak-anaknya bahwa bagaimanapun keadaannya, anak adalah titipan Tuhan. Setiap orangtua yang mendapatkannya harus dapat merawat dengan sebaik mungkin. Bagi mereka, memiliki anak yang menderita keterbelakangan mental bukanlah suatu musibah yang harus disesali atau bahkan disikapi secara negatif. Dengan demikian, mereka telah memiliki penerimaan terhadap kondisi N yang membawa pada kesiapan untuk menghadapi kehadiran N sejak sebelum ia dilahirkan. |
Kesiapan dalam diri ini ditindaklanjuti dengan menyiapkan lingkungan yang toleran dan mendukung bagi kehidupan dan perkembangan N nantinya, seperti dengan memberikan pemahaman pada anak-anak mereka yang lain serta pada orang-orang di sekitar tempat tinggal mereka bahwa apa yang terjadi dan akan tampak pada diri N adalah sesuatu yang wajar dan dapat dialami oleh setiap keluarga. Sehingga karenanya N tidak boleh diperlakukan dengan tidak baik.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, keluarga H dan D menunjukkan sikap dan perilaku yang sama-sama tidak menerima kondisi anak yang terbelakang mental. Secara rinci kesamaan yang terdapat diantara keduanya adalah pada:
- Faktor yang mempengaruhi munculnya sikap tidak menerima:
- Hubungan antar anggota keluarga yang kurang komunikatif
- Tidak adanya informasi tentang kondisi anak dan tidak adanya pemahaman tentang keterbelakangan mental
- Ketidaksiapan menghadapi kondisi calon anak
- Persepsi yang cenderung negatif terhadap anak yang terbelakang mental
- Perlakuan terhadap anak yang mengalami keterbelakangan mental:
- Membedakan perlakuan terhadap anak yang terbelakang mental dengan anak-anak lain yang normal dalam keluarga. Perlakuan yang dimaksud cenderung bersifat negatif dan tidak mendukung bagi optimalisasi perkembangannya
- Adanya upaya untuk menutupi atau menyembunyikan kondisi anak dari orang lain
Dengan kata lain, sikap tidak menerima terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental pada keluarga H dan D memiliki keterkaitan dengan keenam hal di atas.
Sebaliknya, sikap menerima terhadap kondisi dan kehadiran anak dengan keterbelakangan mental yang tampak pada keluarga N memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor:
- Hubungan keluarga yang komunikatif
- Adanya informasi tentang kondisi calon anak dan pemahaman terhadap keterbelakangan mental
- Kesiapan menghadapi kondisi calon anak
- Persepsi positif terhadap anak yang terbelakang mental
Adapun perlakuan yang muncul dari sikap menerima tersebut adalah:
- Kesamaan perlakukan terhadap anak yang terbelakang mental dengan anak-anak lain yang normal dalam keluarga
- Tidak adanya upaya untuk menutupi atau menyembunyikan kondisi anak dari orang lain
Di samping keenam faktor di atas, sikap menerima terhadap kondisi dan kehadiran anak yang terbelakang mental dalam keluarga N juga tidak lepas dari adanya dukungan sosial dari keluarga besar, serta memiliki beberapa variasi lain dalam perlakuan terhadap anak, yang seluruhnya bersifat positif bagi perkembangannya.
Keluarga yang kondusif seperti keluarga N, yang diantara anggota-anggotanya memiliki kedekatan emosional serta sikap saling mendukung satu sama lain, merupakan lingkungan yang dibutuhkan dalam meminimalkan hambatan perkembangan yang dialami oleh anak. Keluarga ini dapat memilih perlakuan yang tepat, khususnya dalam mengasuh dan mendidik anak sesuai dengan karakteristik kebutuhannya, sehingga treatmen yang dilakukan dapat berjalan dengan efektif dan mencapai hasil yang optimal. Sementara itu situasi dan kondisi keluarga H dan D yang kurang komunikatif, ditambah dengan adanya permasalahan sosial-ekonomi dalam keluarga yang tidak terselesaikan telah menjadi faktor negatif yang tanpa disadari semakin memperburuk hambatan perkembangan yang dialami oleh anak.
Jika penelitian Patterson & Leonard (1994, dalam Heward, 2003) memperoleh hasil bahwa keberadaan anak yang memiliki hambatan perkembangan akan membuat hubungan antar pasangan (orangtua) menjadi lebih kuat, dan beban emosional yang ditanggung juga akan mempererat kebersamaan diantara anggota keluarga yang lain, maka hasil ini memiliki kesesuaian dengan yang terjadi pada keluarga N.
Tabel 1. Rangkuman Penerimaan Ketiga Keluarga Terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental
Keluarga ‘H’ |
Keluarga ‘D’ |
Keluarga ‘N’ |
Karakteristik Keluarga:
|
Karakteristik Keluarga:
|
Karakteristik Keluarga:
|
Tidak ada informasi tentang kondisi calon anak dan tidak ada pemahaman tentang RM |
Ada informasi tentang kondisi calon anak dan ada pemahaman tentang RM | |
Ketidaksiapan menghadapi kondisi calon anak |
Kesiapan menghadapi kondisi calon anak | |
Persepsi:
|
Persepsi:Memiliki anak dengan keterbelakangan mental akan merepotkan dan memalukan bagi keluarga | Persepsi:
|
Tidak menerima kondisi anak |
Menerima kondisi anak |
|
Perlakuan:
|
Perlakuan:
|
Perlakuan:
Hal lain:
|
Adapun faktor yang dinilai mempengaruhi kesesuaian tersebut tidak lain adalah kesiapan keluarga untuk menghadapi kondisi N sejak sebelum N lahir. Kesiapan inilah yang tidak tampak pada keluarga H maupun D. Kesiapan dalam keluarga N menumbuhkan persepsi positif yang kemudian mendorong kedua orangtua untuk berusaha membangun kebersamaan dalam keluarganya, terutama dalam menciptakan lingkungan yang aman, toleran dan mendukung bagi perkembangan N. Hasilnya, seluruh saudara kandung N pun mengikuti sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh orangtuanya. Powell & Gallagher (1993, dalam Hunt & Marshall, 2005) dalam hal ini telah mengemukakan bahwa respon-respon saudara kandung tersebut akan ditentukan pula oleh sikap dan harapan yang terlebih dahulu dimunculkan oleh orangtua, kondisi keluarga, religiusitas, tingkat keparahan gangguan, serta pola-pola interaksi yang diberlakukan dalam keluarga tersebut.
Berbicara mengenai pola interaksi dalam keluarga, kesiapan yang dimiliki oleh keluarga N memang tidak dapat dilepaskan dari karakteristik hubungan antar individu di dalamnya yang komunikatif, termasuk dengan keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan terhadap persoalan yang mereka hadapi. Seperti yang juga ditegaskan oleh Hunt & Marshall (2005), bahwa karakteristik keluarga akan mempengaruhi reaksi keluarga terhadap kehadiran individu berkebutuhan khusus. Selain itu, keluarga N selalu mengembangkan inisiatif untuk mencari tahu tentang kondisi calon anak selama dalam kandungan, sehingga mereka memiliki informasi yang cukup serta pemahaman tentang keterbelakangan mental yang dialami oleh anak yang akan dilahirkannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Blacher (1984, dalam Heward, 2003) menemukan adanya tiga tahap penyesuaian yang pada umumnya ditunjukkan oleh para orangtua yang menjadi subjek penelitian, yaitu: (1) tahap dimana orangtua mengalami berbagai krisis emosional seperti shock, ketidakpercayaan, dan pengingkaran terhadap kondisi yang terjadi pada anaknya; (2) tahap ketika rasa tidak percaya dan pengingkaran yang terjadi diikuti oleh perasaan-perasaan dan sikap negatif seperti marah, menyesal, menyalahkan diri sendiri, malu, depresi, rendah diri di hadapan orang lain, menolak kehadiran anak, atau menjadi overprotective; (3) tahap terakhir pada saat orang tua telah mencapai suatu kesadaran terhadap situasi yang dihadapi, serta bersedia untuk menerima kondisi anak yang berbeda.
Terkait dengan hal tersebut, dari ketiga keluarga yang menjadi subjek dalam penelitian ini, hanya keluarga N yang telah mampu mencapai tahap terakhir dalam proses penyesuaiannya, yang mana baik kedua orangtua maupun saudara-sadara kandung N telah mencapai kesadaran akan situasi yang dihadapi dan bersedia untuk menerima kehadiran N dengan kondisinya yang berbeda. Sementara itu, proses penyesuaian dalam keluarga H dan D masih terhenti pada tahap kedua, mengingat data-data yang telah dipaparkan lebih mengarah pada pengingkaran terhadap kondisi anak yang terbelakang mental. Tidak adanya penerimaan pada kedua keluarga ini pada akhirnya memunculkan sikap dan perlakukan yang negatif, seperti dengan menutupi atau menyembunyikan anak dari orang lain, membebani anak dengan banyak pekerjaan rumah tangga, meminimalkan keterlibatan anak dalam berbagai aktivitas keluarga karena dipandang akan merepotkan, tidak memberikan perhatian dan perawatan yang semestinya, melampiaskan kemarahan/penolakan dengan memberikan hukuman fisik, dan sebagainya.
SIMPULAN DAN SARAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini, yaitu:
- Dari kasus yang terdapat pada keluarga yang menjadi subjek penelitian, dua keluarga (H dan D) menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak menerima kondisi individu yang mengalami keterbelakangan mental, dan satu keluarga (N) menunjukkan sikap dan perilaku yang menerima kondisi keterbelakangan mental.
- Penerimaan terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental memiliki keterkaitan dengan beberapa faktor, yaitu: (1) Hubungan/interaksi antar anggota keluarga; (2) Ada tidaknya informasi tentang kondisi calon anak; (3) Ada tidaknya pemahaman tentang keterbelakangan mental; (4) Ada tidaknya kesiapan menghadapi kondisi calon anak; dan (5) Persepsi terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental.
- Bentuk perlakuan terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental bervariasi pada masing-masing keluarga. Keluarga H berusaha membedakan perlakuan terhadap anak yang terbelakang mental, yaitu dengan perlakuan yang cenderung bersifat negatif, serta menutupi kondisi anak dari orang lain. Pembedaan perlakuan tersebut juga tampak pada keluarga D, di samping beberapa tindakan yang lain, yakni: (1) menyembunyikan anak dari orang lain; (2) meminimalkan tanggung jawab dalam pengasuhan dan perawatan anak; dan (3) membatasi interaksi dengan anak yang terbelakang mental tersebut. Sementara itu bentuk-bentuk perlakuan pada keluarga N terdiri dari: (1) perlakuan yang sama (positif) dengan anggota keluarga yang lain; (2) tidak menutupi atau menyembunyikan anak dari orang lain; (3) mengembangkan kepercayaan diri serta mendorong anak untuk bersosialisasi dan berinteraksi; (4) menciptakan kesempatan untuk bersosialisasi dan berinteraksi; (5) mengembangkan kemandirian; dan (6) menunjukkan kesabaran dalam berkomunikasi serta memberikan penjelasan kepada anak yang terbelakang mental.
Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti menyarankan agar upaya mengoptimalkan perkembangan individu yang mengalami keterbelakangan mental dilakukan dengan:
- Lebih memperhatikan bahwa di kalangan masyarakat masih terdapat keluarga-keluarga yang tidak menerima keberadaan mereka. Oleh karena itu, peneliti juga memandang perlunya research action untuk mengubah persepsi dan sikap keluarga-keluarga yang masih belum mampu menerima keberadaan anggotanya yang mengalami keterbelakangan mental tersebut sehingga optimalisasi perkembangan dapat diupayakan dengan lebih efektif.
- Menciptakan hubungan yang harmonis, komunikatif dan saling mendukung dalam keluarga.
- Memperbanyak informasi tentang kondisi calon anak, sehingga dengan sedini mungkin keluarga dapat mengetahui kemungkinan hambatan perkembangan pada anak dan karenanya menjadi lebih siap menghadapi kehadiran anak-anak dengan kondisi yang berbeda tersebut.
- Menghindarkan keluarga dari berbagai persepsi negatif tentang keterbelakangan mental.
DAFTAR PUSTAKA
Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. 1988. Exceptional Children. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Heward, W.L. 2003. Exceptional Children, An Introduction to Special Education. New Jersey: Merrill, Prentice Hall.
Hunt, N. & Marshall, K. 2005. Exceptional Children & Youth.Boston: Houghton Mifflin Company.
Poerwandari, E.K. 1998. Pendekatan Kualiatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi UniversitasIndonesia.
Sembiring, S.A.2002. Penataan Lingkungan Sosial bagi Penderita Dimensia (Pikun) dan RTA (Retardasi Mental).Medan: USU Digital Library.
Yin, R.K. 1994. Case Study Research: Desain & Methods. Thous& Oaks: Sage Publications.
http://www.dinf.ne.jp/doc/english/global/david/dwe002/dwe00234.htm). Werner, D. 1987.DisabledVillage Children, A Guide for Community Health Workers, Rehabilitation Workers, & Families. Diakses: Oktober 2005.
www.republika.co.id. 2004. Retardasi Mental. Selasa, 6 April 2004. Diakses: September 2005.
(Catt: Hasil Riset Tahun 2005; Dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia, Tahun 2006)