Dari Pertanyaan Ke Pertanyaan

Seperti halnya anak-anak yang lain, Damai suka sekali bertanya tentang segala sesuatu yang belum diketahuinya. Setiap hari, ada begitu banyak pertanyaan yang muncul, dan hampir semuanya membuat saya harus ekstra berpikir untuk menjawabnya dengan tepat. Tepat sesuai pertanyaan, tepat sesuai usianya.

Suatu hari di umur 3,5 tahun, misalnya, Damai bertanya tentang bagaimana dia dilahirkan. “Mama, gimana aku lahirnya?” tanya Damai. Saya diam sejenak untuk berpikir, memilih-milih penjelasan yang sederhana agar mudah dimengerti namun tetap sesuai dengan kenyatannya. “Mmm…., begini Mai,…….”, belum selesai saya bicara, Damai sudah menyahut tidak sabar, “Gimana Ma, lewat mana?”. Lalu saya jawab, “Dulu Damai, dan juga orang-orang yang lain, dilahirkan lewat bawah. Ngeluarkannya seperti orang lagi (maaf) e’-o’  (buang air besar)”.

“Oooo……dari bawah……. Jadi mama kaya’ ibunya ayam no…..Ayam kan ngeluarkan telurnya juga lewat bawah”, sambung Damai. “Iya, tapi Damai lahir bentuknya sudah bayi kecil, bukan telur seperti ayam. Karena kita manusia. Manusia melahirkan bayi kecil, bukan telur”, jawab saya. “Oooo…….ya ya, aku tahu…..”, sahutnya. Setelah itu dia ganti sibuk bercerita ke bapaknya, neneknya, dan juga asisten rumah tangga kami tentang proses dia dilahirkan seperti jawaban yang saya sudah berikan, meskipun dengan kalimat-kalimatnya sendiri.

Di hari yang lain Damai menanyakan tentang apa arti kata “efek”. Menurut saya ini adalah sebuah kata abstrak yang cukup sulit untuk anak 4 tahun. Mau dijawab pengaruh juga sama saja, dia belum mengerti. Akhirnya, waktu itu saya menjelaskannya seperti ini, “Kalau Damai sebelum berangkat sekolah maem dulu, nanti di sekolah Damai jadi kuat kalau bermain sama teman-temannya Damai. Terus kalau ditanya sama bu guru, Damai mikirnya jadi cepat, berhitungnya juga cepat. Itu namanya efek. Jadi efeknya makan pagi itu, Damai jadi kuat kalau bermain, cepat ngerjakan soal, nggak gampang ngantuk. Gimana, mengerti tidak?”. Dia diam sebentar, lalu menjawab, “Iya-iya, aku ngerti.”

Sampai di sini saya masih belum yakin apakah dia memang sudah paham dengan maksud kata itu. Untuk memastikan, saya bertanya lagi, ”Kalau sebelum ke sekolah nggak makan pagi dulu, berarti apa efeknya Mai?” Tidak berapa lama dia pun menjawab, “Ya….nanti nggak bisa mikir, kalau ngitung lama, terus kalah kalau lomba lari sama teman-temanku, kalau mainan yang lain-lain juga…….”. Yak, saya pikir cukuplah pemahaman ini untuk anak umur 4 tahun.

Beranjak bulan, saat jalan-jalan ke Blitar Damai menanyakan tentang apa yang dimaksud dengan “Hari Natal”. Dia membaca tulisan itu di depan sebuah gereja. Saya adalah pemeluk agama Islam. Kalau mau jujur, rasanya enggan menjelaskan sesuatu yang bukan keyakinan saya, apalagi pada anak umur 4,5 tahun. Tapi saya pikir lagi, ini juga pengetahuan yang penting untuk Damai. Selain itu, saya hafal betul, kalau dia tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya, maka dia akan terus ‘bergerilya’ untuk mencari jawaban dari orang-orang yang lain. Daripada nanti dia mendapatkan penjelasan dari orang lain yang isinya belum tentu sesuai dengan pikiran saya, jauh lebih baik saya sendiri yang menjelaskannya. Saya tidak mau kebingungan seperti pengalaman beberapa teman ketika mengetahui anaknya memperoleh pengetahuan tertentu dari orang lain yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka, padahal itu terjadi awalnya juga karena penolakan mereka sendiri untuk memberikan penjelasan.

Kembali ke pertanyaan Damai tentang hari natal, kurang lebih seperti inilah saya kemudian menjawabnya, “Damai tahu Idul Fitri? Tahu lebaran?” Damai menjawab tahu. Lalu saya sambung, “Apa yang kita lakukan kalau lebaran?” Butuh beberapa lama untuk dia mengingat-ingat, sampai akhirnya muncul jawaban bahwa ketika lebaran orang-orang akan sholat di masjid sama-sama, lalu dia pulang ke rumah nenek dan berkumpul dengan saudara-saudaranya yang lain. “Nah, itu kalau untuk kita orang-orang Islam yang ibadahnya, yang sholat atau berdoanya di masjid. Tapi nggak semua orang beribadah di masjid, Mai. Beda-beda. Ada yang ibadahnya, berdoanya itu di gereja, namanya orang yang beragama Kristen atau Katholik. Hari Natal itu lebarannya orang-orang yang beragama Kristen dan Katholik ini…”

Bertanya adalah jalan bagi anak untuk belajar dan memperoleh banyak pengetahuan dari lingkungannya. Lebih banyak bertanya berarti akan lebih banyak tahu. Lebih banyak tahu akan membuat anak lebih mampu untuk berpikir. Lebih banyak tahu juga akan lebih menghindarkan anak dari kesalahan dan anak lebih mampu dalam menyelesaikan berbagai macam kesulitan yang dihadapi.

Tentu saja hal ini akan terjadi jika pertanyaan-pertanyaan anak memperoleh respon yang positif. Menyimak dengan baik setiap pertanyaan anak dan berusaha untuk menjawab dengan ekspresi yang menyenangkan akan mendorong mereka untuk tidak ragu, malu ataupun takut bertanya, bahkan sampai dengan usia atau tahap-tahap perkembangan berikutnya. Mereka akan menunjukkan perilaku belajar yang aktif, baik di sekolah maupun di lingkungan belajar yang lain.

Sebaliknya, respon-respon negatif seperti memarahi atau bahkan melarang anak ketika banyak bertanya justru akan menghambat motivasi anak dalam proses belajarnya, dan dalam banyak kasus telah membuat anak menjadi seorang yang takut mengeksplorasi lingkungan, malu bertanya, cenderung pasif saat mengikuti pelajaran, sehingga terbatasnya pengetahuan yang dimiliki akan memunculkan kelemahan dalam mencari solusi atas berbagai kesulitan yang mungkin dihadapinya dalam hidup.

Dalam prakteknya, tidak jarang juga terjadi hal menarik lain yang dilakukan oleh sejumlah orangtua, yang pada awalnya memberikan respon positif terhadap pertanyaan anak, tapi kemudian respon tersebut tidak diikuti dengan jawaban yang tepat dan proporsional dengan kemampuan berpikir anak. Akibatnya, anak yang kesulitan memahami jawaban pasti akan terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Semisal, seorang anak yang berusia 5 tahun menanyakan suatu adegan muda-mudi dalam iklan yang dilihatnya di TV. Ibunya menjawab dengan singkat, “Ooo…itu mbaknya sama masnya lagi pacaran”. Walaaah…..”pacaran” euy! 😀 Dan si anak pun bertanya lagi tentang apa yang dimaksud dengan pacaran, yang membuat si ibu kebingungan menjawabnya. Biasanya kalau sudah begini sikap orangtua menjadi berubah, berganti memunculkan respon-respon yang negatif.

Memang tidak mudah memberikan jawaban yang tepat dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak. Setidaknya butuh usaha yang lebih jika dibandingkan dengan memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan individu yang telah berusia dewasa. Tapi bukan berarti pula hal sulit itu lantas tidak bisa dilakukan. Seperti yang saya katakan di awal, memang harus sedikit lebih berpikir ketika akan memberikan penjelasan pada anak-anak.

Dan setiap orang dewasa yang memiliki jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman daripada mereka tentu akan mampu melakukannya. Tinggal apakah kita mau sedikit ‘repot’, menyisihkan waktu untuk berpikir dan sabar melakukannya ataukah tidak. Semua adalah pilihan. Dan hasil yang tampak pada anak-anak kita akan mengikuti pilihan-pilihan yang kita ambil 🙂

Iklan

Beri Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s