Refleksi Ibu Belajar (3): Mengelola Kekhawatiran, Mengoptimalkan Percakapan

Sebelum menyimak catatan reflektif ini, saya menyarankan rekan-rekan meluangkan sedikit waktu untuk menengok apa yang sudah ditulis oleh Damai tentang buku yang belum lama selesai dibacanya. Tulisan berjudul “Book Review: Kafka on the Shore – Haruki Murakami” ini menggambarkan setidaknya tiga hal: (1) Salah satu jenis buku yang diakses oleh Damai; (2) Bagaimana ia mengambil pelajaran dari materi yang telah dibacanya; dan (3) Bagaimana ia mengolah informasi dan pemahaman untuk memberikan catatan preventif bagi orang lain yang akan mengikuti membaca buku tersebut, agar tidak terjebak pada pemaknaan yang berdampak kurang baik.

Saya kutipkan beberapa bagian tulisan Damai. Terkait poin pertama, gambaran jenis buku:

Through this book, Haruki Murakami explores the theme of consciousness and unconsciousness. It’s very interesting, since the book follows 2 storylines simultaneously.  For every odd numbered chapter, it is about a boy named Kafka Tamura, who lives with his dad; a famous sculptor, in Tokyo. On his 15th birthday, he makes up his mind to run away from home with hope to break the Oedipus curse that his father made about him.

Lalu tentang bagian dari pelajaran yang diambil:

This combination of bizarre plot, mysterious characters, and the use of figurative language are some of the aspects that distinguish Haruki Murakami works with other stories. Everything in ‘Kafka on the Shore’ feels so dream-like, yet so vivid. While reading, the narrative evokes our imagination to feel the surroundings. What does it look like, what kind of emotions that the character feels, what sounds we would hear, and more.

For me, the novel tells that it is nearly impossible for us to be able to understand our own fate. Even if fate itself might be something that affects our life the most. And through the writing style, the reader may learn how to capture the five senses using language. But at the end, I believe that everyone may learn a lot of different things from ‘Kafka on the Shore’.

Dan bagian ketiga tentang bagaimana Damai memberi catatan untuk calon pembaca buku tersebut:

However, for those who want to read this book, it’s better to know that violence is usually described explicitly in certain chapters. And it might be triggering for some people.

There are also some controversial thoughts and concepts that not everyone might agree on. Therefore it’s way better if you keep an open mind while reading the book. As it might stirred up your perspectives towards these certain concepts and leave you wondering about your understanding about your mind and the world around you.

Ya, baik rekan-rekan yang membaca lengkap tulisan Damai maupun mencermati dari kutipan-kutipan di atas tentu bisa membayangkan bahwa buku ini cukup “tidak biasa”. Buku ini berbicara mengenai kesadaran dan ketidaksadaran, bicara tentang konsep-konsep dalam psikoanalisis yang umumnya baru akan dipahami jika seseorang belajar ilmu psikologi. Ketidakbiasaan isi buku juga tampak dari paparan yang ditulis dengan menggunakan tata bahasa yang boleh dibilang cukup menantang (baca: sulit) dicerna untuk orang kebanyakan.

Jika dirunut ke belakang, sejak memasuki masa remajanya (sekarang Damai sudah Kelas 8 / 2 SMP), memang terjadi perluasan yang cukup signifikan dari materi bacaan yang diaksesnya, yang mungkin bagi sejumlah remaja lain belum terpikirkan untuk menyentuhnya. Sebelum membaca buku Kafka on The Shore ini pun, Damai sudah berinteraksi dengan beberapa buku psikologi yang ada di rumah. Baik sekedar ingin tahu isinya atau untuk mengerjakan beberapa tugas sekolah, meski sebenarnya guru tidak meminta ia menggunakan referensi sejauh itu. Damai berinisiatif sendiri, sebagaimana inisiatifnya untuk mengambil online course dasar-dasar psikologi dari sebuah situs belajar daring.

Tidak jarang saya menerima pertanyaan dari sejumlah rekan dengan nada tampak meragukan, “Apakah buku-buku itu tidak terlalu berat untuknya?”

Terbawa pertanyaan tersebut, saya sendiri kadang ikut sangsi, tidak apa-apa kah membolehkannya membaca bacaan-bacaan yang relatif berat untuk anak 14 tahun? Kesangsian ini beberapa kali mendorong saya untuk akhirnya bertanya pada Damai, misal usai ia membaca buku teks psikologi referensi belajar mahasiswa di kampus: “Kamu bisa mengerti isi buku ini? Apa nggak terlalu rumit penjelasannya? Coba ceritakan ke Mama apa yang kamu pahami dari yang sudah terbaca…”

Dan seolah mematahkan apa yang disangsikan, Damai ternyata cukup mampu menjelaskan dengan baik dalam kalimat yang ringkas, tentang bagian demi bagian teori yang ia baca. Tidak jarang pula akhirnya, saya kemudian mengajaknya diskusi dengan mencari contoh-contoh konkrit konsep yang telah dia ketahui dari beragam perilaku manusia, lalu sedikit banyak saya tambahkan penjelasannya, sekalian untuk melengkapi pemahaman.

Kembali ke Kafka on The Shore, sempat sebenarnya saya terhenyak ketika mengetahui isi buku ini, yang bahkan beberapa teman saja membacanya ketika sudah kuliah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Damai, dari mulai gaya penulisannya, buku ini terbilang unik karena menghadirkan kombinasi plot yang aneh, karakter yang misterius, dan penggunaan begitu banyak kalimat kiasan.

Jika hanya tantangan terkait gaya penulisan, saya yakin hal ini tidak menjadi masalah karena kemampuan membaca Damai sudah terasah sejak kecil. Bahkan di umur 7 tahun ia sudah selesai membaca Life of Pi yang sedemikian tebal dan cukup rumit hanya dalam waktu beberapa hari.

Yang jujur sempat menjadi pikiran saya adalah soal isinya. Sejumlah konten kekerasan dipaparkan secara eksplisit pada bab-bab tertentu, yang bisa memunculkan rasa tidak nyaman ketika membacanya, disamping juga beberapa pemikiran kontroversial yang bertentangan norma. Seperti disampaikan Damai, pembaca perlu mengedepankan pikiran yang terbuka saat membaca buku tersebut.

Kekhawatiran yang sempat menghinggapi pikiran saya: Bagaimana jika suatu saat isi buku yang dibaca Damai tersebut juga berpengaruh terhadap cara berpikirnya? Bagaimana jika pikirannya menjadi bergulir ke arah negatif, sebagaimana banyak dipertimbangkan oleh orangtua lain yang memilih ketat mengontrol dan memagari bacaan, tayangan, dan berbagai hal yang diakses oleh anak, demi mengamankan dari berbagai kemungkinan pengaruh buruk?

Namun kemudian, saya mengingatkan diri bahwa saya tidak boleh menciptakan ketergantungan dalam diri Damai pada sekian banyak kontrol perilaku dari luar, hanya karena kehawatiran yang tidak bisa saya olah dengan tepat. Ia harus bisa mengelola dirinya sendiri, paham benar-salah dan berbagai risiko perilaku, dan kemudian mampu mempertimbangkannya setiap kali akan mengambil pilihan-pilihan tertentu dalam hidup.

Mengapa hal ini penting menurut saya? Karena menyadari bahwa tidak 24 jam saya terus bersamanya. Tidak setiap saat saya menemaninya melakukan sesuatu. Terlebih di usianya sekarang memang sudah waktunya ia semakin mandiri, punya ruang yang cukup untuk belajar mengambil berbagai keputusan dengan penuh pertimbangan, belajar mencari solusi atas berbagai tantangan yang ditemui, sehingga penting bagi saya untuk menguatkan kemampuannya untuk itu.

Karenanya, terkait buku, dibanding memperturutkan rasa khawatir, saya lebih ingin memanfaatkannya sebagai sarana Damai untuk berlatih menilai dan menyikapi beragam informasi yang ditemui secara tepat. Buku, sama halnya dengan ragam obrolan di media sosial, atau berbagai tayangan di televisi dan internet, tidak akan lepas dari kemungkinan muatan negatif. Semua punya banyak sisi, sehingga menyadari kemungkinan pengaruh positif maupun negatif, lalu mampu menjaga diri dari yang negatif perlu ditumbuhkan pada anak melalui interaksi dan aktivitas sehari-hari.

Apa yang kemudian saya lakukan? Seperti sempat saya singgung di atas, saya mengajak Damai mengobrol dan mendiskusikan Kafka on The Shore. Telah banyak saya ceritakan dalam tulisan-tulisan terdahulu, saya memang selalu menggunakan kekuatan percakapan sehari-hari sebagai proses menumbuhkan value dan menguatkan kemampuan anak untuk mengelola diri. Ada 17 judul tulisan tentang percakapan saya dan Damai dalam blog ini yang dapat dibaca (cari dengan kata kunci ‘percakapan’). Dua diantaranya adalah: Appreciative Parenting: Menumbuhkan Ketangguhan Anak Melalui Percakapan yang Memberdayakan dan Sekedar Percakapan Ringan (12): Gambaran Dialog Apresiatif.

Nah, apa konten obrolan kami mengenai Kafka on The Shore? Pertama saya menanyakan bagaimana pendapat Damai tentang konten buku ini secara umum. Ia menyampaikan bahwa memang buku ini cukup kompleks, banyak hal yang bisa dipelajari, namun juga menyadari ada kemungkinanan-kemungkinan muatan negatif yang kalau pembacanya tidak peka dan menelan mentah-mentah akan bisa terbawa ke pemaknaan yang keliru, sehingga berpeluang mengambil bagian kurang tepatnya untuk diimitasi dalam perilaku.

Mendengar jawaban tersebut, satu poin penting yang saya pegang adalah bahwa ia memahami berbagai sisi pada buku yang dibacanya. Lalu obrolan kami lanjutkan dengan saya menanyakan pada Damai, bagaimana kemudian dia merasakan dan mengevaluasi dirinya sendiri setelah membaca buku tersebut? Adakah pikiran-pikiran tertentu yang kemudian muncul sebagaimana yang sempat terbaca dari buku?

Damai mengatakan, “I want to understand the book well, but I don’t want the content of the book to controll me or influence me”. “Bagaimana caranya?”, tanya saya berikutnya. Damai menuturkan bahwa selama membaca buku, ketika bertemu dengan bagian-bagian yang mungkin bertentangan dengan value, dengan norma, sesuatu yang bermuatan negatif, di dalam pikirannya ia mengevaluasi apa yang dilakukan tokoh-tokoh dalam cerita itu. Jadi alih-alih menikmati dan menelan begitu saja yang ia baca, ia justru berusaha memahami mengapa pilihan-pilihan perilaku tokoh cerita sedemikian, dan dalam hati juga mengoreksinya, tentang bagaimana seharusnya yang lebih baik, dengan menggunakan prinsip dan value yang dimilikinya. Saya mengapresiasi betul sikap ini.

Lalu kemudian kami mendiskusikan tentang kecenderungan orangtua yang lebih banyak memilih menghindarkan anak dari berinteraksi dengan buku-buku yang berpotensi membawa muatan yang dipandang keliru. Saya ingin tahu pendapatnya. Menurut Damai,

“Ya itu pilihan orangtua ya… Kadang bisa dipahami karena kuatir. Cuma kalau terlalu strict terus anaknya juga nggak tahu kalau di luar itu kayak apa variasi buku, tontonan, atau apapun yang bisa dia akses ketika orangtua nggak ada, sementara dia sendiri nggak punya kemampuan milih yang bener karena selama ini nggak pernah tahu kenyataan sebenarnya, bukannya malah bahaya ya? Soalnya bisa jadi dia nggak sadar kalau itu berpengaruh buruk. Dan ini terjadi karena kemampuannya menghindar dari pengaruh negatif nggak pernah dilatih. Orangtuanya nggak kasih ruang untuk melatih itu…”

Saya lega dan bersyukur dengan cara berpikir Damai ini. Berkurang kekhawatiran dan semakin merasakan pentingnya mengupayakan dialog sehari-hari sebagai media sederhana yang bisa dilakukan oleh setiap orangtua untuk menumbuhkan berbagai value dan kemampuan anak, dalam memproteksi diri secara mandiri dari kemungkinan pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan. Percakapan yang intens dan baik akan membantu mengoptimalkan stimulasi dan memperkuat proses belajar anak dalam memproduksi sikap dan perilaku positif, disamping menguatkan kedekatan psikologis antara orangtua dengan anak. Untuk praktik pengasuhan pada anak yang berusia remaja, sudah tentu keterbukaan dialog semacam ini sangat disarankan, sejalan dengan berbagai perkembangan kemampuan kognitif, emosi, maupun sosialnya.

*****

Beri Komentar